Purwokerto (ANTARA) - Budayawan Ahmad Tohari mengajak seluruh lapisan masyarakat khususnya warga Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, untuk menghormati larangan menggelar hajatan di bulan Sura pada kalender Jawa.
"Menurut saya, itu (larangan hajatan di bulan Sura, red.) harus dihormati. Namanya kepercayaan itu kan hak semua orang untuk meyakini sesuatu, jadi harus kita hargai," katanya saat dihubungi di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Senin.
Penulis novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk itu mengakui bagi orang yang benar-benar fanatik terhadap adat dan budaya Jawa tidak menggelar hajatan pada bulan Sura.
Dalam hal ini, mereka berkeyakinan akan menghadapi kesulitan di kemudian hari jika nekat menggelar hajatan pada bulan Sura.
"Saya sebagai budayawan menganjurkan itu dihargai karena keyakinan itu tidak bisa diotak-atik, tidak bisa disalah-salahkan, 'lha wong' keyakinannya begitu," kata budayawan asal Banyumas yang akrab disapa Kang Tohari itu.
Sebaliknya, kata dia, bagi masyarakat yang menganggap bulan Sura seperti bulan puasa juga tidak boleh diganggu.
"Kita ini yang menganggap bulan Sura itu seperti bulan puasa, seperti keyakinan saya, itu juga enggak boleh diganggu gugat, 'wong' itu keyakinan saya," katanya menegaskan.
Oleh karena itu, kata dia, tidak perlu ada semacam perselisihan terkait dengan adanya larangan hajatan pada bulan Sura.
Terkait dengan hal itu, pihaknya mengajak semua pihak untuk menghargai atau toleransi terhadap adat yang berkembang di masyarakat Jawa.
Disinggung mengenai dasar larangan menggelar hajatan pada bulan Sura yang notabene juga merupakan bulan Muharam pada kalender Hijriah yang digunakan umat Islam di seluruh dunia, Kang Tohari menduga hal itu berkaitan dengan tragedi Karbala yang menewaskan dua cucu kesayangan Nabi Muhammad SAW pada tanggal 10 Muharam 61 Hijriah.
"Sisi baik di bulan Sura juga banyak. Tapi bagi orang Jawa yang menghindari hajatan di bulan Sura mungkin karena tahu kalau pada bulan Muharam ada peristiwa mengerikan yang menewaskan Hasan dan Husen di Padang Karbala," katanya.
Dengan demikian, dia menduga larangan menggelar hajatan pada bulan Sura itu muncul sebagai bentuk penghormatan atas meninggalnya dua cucu kesayangan Nabi Muhammad SAW meskipun sebenarnya dasar pertimbangan atau penghitungan kalender Jawa berbeda dengan kalender Hijriah.
"Pasti berbeda pertimbangannya, cuma kebetulan (bulan Sura dan Muharam) sama, jadi disakralkan," kata Kang Tohari.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Budayawan Ahmad Tohari: Hormati larangan gelar hajatan pada bulan Sura
"Menurut saya, itu (larangan hajatan di bulan Sura, red.) harus dihormati. Namanya kepercayaan itu kan hak semua orang untuk meyakini sesuatu, jadi harus kita hargai," katanya saat dihubungi di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Senin.
Penulis novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk itu mengakui bagi orang yang benar-benar fanatik terhadap adat dan budaya Jawa tidak menggelar hajatan pada bulan Sura.
Dalam hal ini, mereka berkeyakinan akan menghadapi kesulitan di kemudian hari jika nekat menggelar hajatan pada bulan Sura.
"Saya sebagai budayawan menganjurkan itu dihargai karena keyakinan itu tidak bisa diotak-atik, tidak bisa disalah-salahkan, 'lha wong' keyakinannya begitu," kata budayawan asal Banyumas yang akrab disapa Kang Tohari itu.
Sebaliknya, kata dia, bagi masyarakat yang menganggap bulan Sura seperti bulan puasa juga tidak boleh diganggu.
"Kita ini yang menganggap bulan Sura itu seperti bulan puasa, seperti keyakinan saya, itu juga enggak boleh diganggu gugat, 'wong' itu keyakinan saya," katanya menegaskan.
Oleh karena itu, kata dia, tidak perlu ada semacam perselisihan terkait dengan adanya larangan hajatan pada bulan Sura.
Terkait dengan hal itu, pihaknya mengajak semua pihak untuk menghargai atau toleransi terhadap adat yang berkembang di masyarakat Jawa.
Disinggung mengenai dasar larangan menggelar hajatan pada bulan Sura yang notabene juga merupakan bulan Muharam pada kalender Hijriah yang digunakan umat Islam di seluruh dunia, Kang Tohari menduga hal itu berkaitan dengan tragedi Karbala yang menewaskan dua cucu kesayangan Nabi Muhammad SAW pada tanggal 10 Muharam 61 Hijriah.
"Sisi baik di bulan Sura juga banyak. Tapi bagi orang Jawa yang menghindari hajatan di bulan Sura mungkin karena tahu kalau pada bulan Muharam ada peristiwa mengerikan yang menewaskan Hasan dan Husen di Padang Karbala," katanya.
Dengan demikian, dia menduga larangan menggelar hajatan pada bulan Sura itu muncul sebagai bentuk penghormatan atas meninggalnya dua cucu kesayangan Nabi Muhammad SAW meskipun sebenarnya dasar pertimbangan atau penghitungan kalender Jawa berbeda dengan kalender Hijriah.
"Pasti berbeda pertimbangannya, cuma kebetulan (bulan Sura dan Muharam) sama, jadi disakralkan," kata Kang Tohari.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Budayawan Ahmad Tohari: Hormati larangan gelar hajatan pada bulan Sura