Semarang (ANTARA) - Tahapan Pemilu telah dimulai sejak KPU mengumumkan kick off pada tanggal 14 Juni 2022, yang artinya ajang kontestasi politik menuju 2024 segera dimulai. Berbeda dari Pemilu sebelumnya adalah pemilihan legislatif, DPD maupun pemilihan presiden dilaksanakan secara serentak pada 2024 mendatang.

Tahapan Pemilu 2024 diawali pada bulan Agustus 2022 sampai dengan Oktober 2024. Berdasarkan data BKN (Badan Kepegawaian Nasional) per Desember 2021, jumlah ASN (Aparatur Sipil Negara) di Indonesia berjumlah 3.995.634 orang.

Dengan jumlah tersebut, ASN menjadi salah satu pihak potensial yang dilirik oleh kontestan Pemilu untuk dijadikan lumbung suara. Hal tersebut dikarenakan ASN melalui kewenangannya memiliki kekuatan untuk mengarahkan dan memobilisasi masyarakat mendukung kontestan tertentu. Sementara di sisi lain, ASN tidak boleh terlibat dalam politik praktis karena diposisikan sebagai pihak yang netral dalam kontestasi Pemilu.

Asas Netralitas ASN secara tegas tercantum dalam Pasal 2 huruf f Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang dimensinya meliputi netral, tidak menunjukkan keberpihakan, bebas dari konflik kepentingan, bebas dari intervensi politik, adil, dan melayani. Artinya, jika ASN tersebut melanggar ketentuan, maka menurut pasal 87 ayat [4] huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 disebutkan bahwa PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena menjadi dan/atau pengurus partai politik.

Hal ini ditegaskan lebih lanjut dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, bahwa ASN dilarang memberikan dukungan kepada presiden/wakil presiden, calon kepala daerah/wakil kepala daerah, calon anggota DPR, DPD dan DPRD.

Bentuk dukungan tersebut antara lain berupa ikut kampanye, menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau atribut PNS, mengerahkan PNS lainnya, menggunakan fasilitas negara, mengarahkan kepada keberpihakan terhadap pasangan calon peserta Pemilu, memberikan surat dukungan disertai foto kopi KTP.

Namun kondisi riil menunjukkan bahwa ASN tidak seluruhnya mampu menjaga netralitasnya, karena banyak oknum ASN yang masih melakukan pelanggaran asas netralitas dalam Pemilu. Berdasarkan hasil survei Netralitas ASN pada Pilkada serentak Tahun 2020 yang dirilis oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) pada Desember 2021, menyebutkan bahwa ikatan persaudaraan (50,76 persen) dan motif ASN untuk mendapatkan karier yang lebih baik (49,72 persen) menjadi faktor dominan yang mempengaruhi netralitas ASN.

KASN juga mencatat bahwa pada Tahun 2020 terdapat 604 ASN dijatuhi hukuman disiplin akibat melanggar asas Netralitas pada Pilkada Tahun 2020 tersebut.

Pemerintah tidak tinggal diam dalam menghadapi fenomena pelanggaran asas netralitas ASN ini. Sebelumnya dalam Pilkada serentak Tahun 2020 Pemerintah telah mengeluarkan regulasi untuk mewujudkan penyelenggaraan Pilkada serentak yang netral, obyektif dan akuntabel serta untuk membangun sinergis, meningkatkan efektivitas dan efisiensi instansi pemerintah pusat dan daerah dalam melakukan pengawasan, penanganan pengaduan dan mewujudkan kepastian hukum terhadap penanganan pelanggaran asas netralitas pegawai ASN.

Melalui Keputusan Bersama Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Dalam Negeri, Kepala Badan Kepegawaian Negara, Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara dan Kepala Badan Pengawas Pemilihan Umum tentang Pedoman Pengawasan Netralitas Pegawai Aparatur Sipil Negara dalam Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Serentak Tahun 2020, pemerintah mengatur tentang upaya dan langkah pencegahan, penjatuhan sanksi, pembentukan Satuan Tugas Pengawasan dan tata cara penanganan atas laporan dugaan pelanggaran netralitas Pegawai ASN pada Pilkada serentak Tahun 2020.

Netralitas menjadi salah satu landasan utama untuk mewujudkan percepatan reformasi birokrasi sehingga harus dilakukan secara nyata oleh seluruh ASN untuk menjaga dan mencegah politisasi birokrasi.

Apabila terjadi politisasi birokrasi, akan menjauhkan ASN dari tujuan membangun birokrasi yang profesional sebagai key success factor bagi terciptanya tata kelola pemerintahan yang bersih dan berwibawa (good government and clean governance).

Pemilu 2024 menjadi tempat ujian bagi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 terkait netralitas ASN. Netralitas ASN merupakan hal yang sangat krusial, dikarenakan ASN menjadi aktor intelektual dalam mewujudkan birokrasi mandiri, bersih dan melayani serta memiliki akses terhadap kebijakan dan keuangan negara.

Langkah-langkah penting yang perlu dilakukan agar netralitas ASN tetap terjaga adalah dengan menciptakan mekanisme kontrol internal dalam menjaga netralitas ASN sehingga apabila terdapat silent operation ASN yang terstruktur, sistematis, dan massive namun sulit terdeteksi dapat dikendalikan.

Disamping itu, perlu sikap tegas dari pemerintah dalam menegakkan aturan penjatuhan sanksi ASN yang melanggar asas netralitas tersebut. Pengawasan publik juga diperlukan sebagai fungsi check and balances penerapan netralitas ASN.

Netralitas ASN menimbulkan manfaat bagi beberapa pihak seperti bagi kepala daerah yang membuat tercapainya target-target pemerintahan, bagi birokrasi meningkatkan penerapan sistem merit, bagi pegawai ASN dapat mengembangkan karir lebih terbuka, dan bagi masyarakat dapat lebih merasa dilayani dengan adil dan memuaskan. Disamping itu, dengan netralitas ASN diharapkan dapat membantu menghasilkan Pemilu yang jujur dan adil.

Pemilu seringkali menyebabkan adanya sekat-sekat dalam kehidupan masyarakat, termasuk ASN. Efek Pemilu baik pada masa kampanye atau sesudahnya dapat menimbulkan dampak yang mengancam keutuhan berbangsa dan bernegara, apabila kita tidak memiliki kesadaran bahwa Pemilu adalah pesta demokrasi untuk memilih pemimpin yang mampu bekerja untuk rakyat, bangsa dan negara. Siapapun pemenang dari hasil proses demokrasi harus mampu merangkul seluruh komponen bangsa untuk maju bersama menuju Indonesia yang bahagia, adil dan makmur.

 

Pewarta : PKA Angkatan III LAN Tahun 2022*/Teguh Imam Wibowo
Editor : Teguh Imam Wibowo
Copyright © ANTARA 2024