Purwokerto (ANTARA) - Sosiolog dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Tyas Retno Wulan mengatakan pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi undang-undang merupakan buah dari perjuangan panjang selama 10 tahun terakhir.
"Pengesahan ini merupakan buah perjuangan panjang berbagai elemen mulai dari Komnas perempuan, Asosiasi Pusat Studi Wanita/Gender dan Anak Indonesia hingga para aktivis perempuan," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Rabu.
Untuk itu, dia mengapresiasi seluruh pihak terkait dengan pengesahan RUU TPKS menjadi Undang-Undang dalam rapat Paripurna DPR RI Ke-19 masa sidang IV Tahun 2021-2022.
"Apresiasi bagi seluruh pihak yang telah mewujudkan pengesahan RUU TPKS menjadi Undang-Undang, termasuk juga bagi para aktivis perempuan dan berbagai elemen masyarakat yang terus mengawal dan telah peduli dengan nasib para korban kekerasan seksual di Indonesia," katanya.
Menurut dia, salah satu hal mendasar dalam UU TPKS adalah korban dapat memperoleh kompensasi baik dari pelaku ataupun negara dalam bentuk dana bantuan korban.
"Ini merupakan salah satu muatan yang sangat progresif, ini patut diapresiasi karena berpihak pada korban," katanya.
Kendati demikian, dia juga mengingatkan bahwa masih perlunya perjuangan panjang untuk terus mengawal implementasinya.
"Menurut saya, semua elemen masih perlu mengawal implementasinya karena seperti diketahui budaya patriarki masih hidup di tengah masyarakat. Dikhawatirkan masyarakat masih menggunakan kaca mata laki-laki dalam melihat relasi seksual antara laki-laki dan perempuan," katanya.
Pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unsoed mengatakan semua pihak harus mulai melakukan sosialisasi dan mengawal proses implementasinya di tengah masyarakat.
"Jika proses pengawalan tidak dilakukan dikhawatirkan akan terhenti begitu saja. Caranya antara lain para penegak hukum, termasuk juga insan pers harus memiliki perspektif gender," katanya.
Sementara itu, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2021-2022, Selasa (12/4) menyetujui Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual untuk disahkan menjadi Undang-undang.
Pertama kali, RUU TPKS digagas oleh Komnas Perempuan pada tahun 2012. Komnas Perempuan menyelesaikan penyusunan RUU tersebut bersama dengan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) dan Forum Pengada Layanan (FPL) pada tahun 2016. Setelah itu, RUU TPKS mulai dibahas di DPR RI.
"Pengesahan ini merupakan buah perjuangan panjang berbagai elemen mulai dari Komnas perempuan, Asosiasi Pusat Studi Wanita/Gender dan Anak Indonesia hingga para aktivis perempuan," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Rabu.
Untuk itu, dia mengapresiasi seluruh pihak terkait dengan pengesahan RUU TPKS menjadi Undang-Undang dalam rapat Paripurna DPR RI Ke-19 masa sidang IV Tahun 2021-2022.
"Apresiasi bagi seluruh pihak yang telah mewujudkan pengesahan RUU TPKS menjadi Undang-Undang, termasuk juga bagi para aktivis perempuan dan berbagai elemen masyarakat yang terus mengawal dan telah peduli dengan nasib para korban kekerasan seksual di Indonesia," katanya.
Menurut dia, salah satu hal mendasar dalam UU TPKS adalah korban dapat memperoleh kompensasi baik dari pelaku ataupun negara dalam bentuk dana bantuan korban.
"Ini merupakan salah satu muatan yang sangat progresif, ini patut diapresiasi karena berpihak pada korban," katanya.
Kendati demikian, dia juga mengingatkan bahwa masih perlunya perjuangan panjang untuk terus mengawal implementasinya.
"Menurut saya, semua elemen masih perlu mengawal implementasinya karena seperti diketahui budaya patriarki masih hidup di tengah masyarakat. Dikhawatirkan masyarakat masih menggunakan kaca mata laki-laki dalam melihat relasi seksual antara laki-laki dan perempuan," katanya.
Pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unsoed mengatakan semua pihak harus mulai melakukan sosialisasi dan mengawal proses implementasinya di tengah masyarakat.
"Jika proses pengawalan tidak dilakukan dikhawatirkan akan terhenti begitu saja. Caranya antara lain para penegak hukum, termasuk juga insan pers harus memiliki perspektif gender," katanya.
Sementara itu, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2021-2022, Selasa (12/4) menyetujui Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual untuk disahkan menjadi Undang-undang.
Pertama kali, RUU TPKS digagas oleh Komnas Perempuan pada tahun 2012. Komnas Perempuan menyelesaikan penyusunan RUU tersebut bersama dengan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) dan Forum Pengada Layanan (FPL) pada tahun 2016. Setelah itu, RUU TPKS mulai dibahas di DPR RI.