Kudus (ANTARA) - Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (DPN APTRI) mendesak pemerintah segera merevisi acuan harga pokok pembelian (HPP) maupun harga eceran tertinggi (HET) gula tani yang sudah enam tahun tidak naik.
"Desakan tersebut merupakan salah satu rekomendasi yang dihasilkan dalam Musyawarah Nasional V APTRI yang dibuka secara resmi oleh Wakil Presiden Kiai Haji Ma'ruf Amin di Yogyakarta baru-baru ini," kata Sekjen DPN APTRI M. Nur Khabsyin di Kudus, Jawa Tengah, Minggu.
Ia mengungkapkan bahwa HPP gula tani sebesar Rp9.100/kilogram dan HET gula sebesar Rp12.500/kg sudah enam tahun tidak naik dan ini sangat merugikan petani.
Bahkan, imbuh dia, HPP gula tani saat ini sudah jauh di bawah biaya pokok produksi (BPP) yang kini sudah berkisar pada angka Rp11.000 per kilogram. Idealnya HPP harus berada di atas BPP agar petani tebu bisa merasakan keuntungan.
"Dalam Munas, APTRI merekomendasikan ke pemerintah untuk menetapkan HPP sebesar Rp11.500/kg. Angka tersebut kami anggap wajar agar petani bisa untung dan tidak memberatkan konsumen. Kami minta kenaikan HPP karena bulan Mei 2022 sudah memasuki musim giling," ujarnya.
Sementara untuk besaran harga acuan HET, APTRI mengusulkan Rp14.000/kg atau HET dihapus saja.
Dalam rekomendasi Munas, APTRI juga menyoroti banyaknya gula rafinasi sering bocor di beberapa daerah. Hal ini menunjukkan bahwa ada kelebihan jumlah gula yang diimpor, sekaligus menunjukkan juga ada mekanisme dalam perdagangan gula rafinasi yang perlu dibenahi.
"Impor gula rafinasi dan juga gula konsumsi agar dibatasi," ujarnya.
Sementara terkait pupuk, APTRI juga menolak rencana pencabutan subsidi untuk pupuk jenis ZA karena pupuk ZA merupakan jenis pupuk yang sangat dibutuhkan petani tebu.
"Kami juga mendesak agar pemerintah memfasilitasi petani tebu untuk menyewa lahan HGU milik negara karena selama ini ratusan ribu hektare lahan HGU disewa oleh perusahaan gula baik BUMN maupun swasta dengan harga murah. Sedangkan petani tebu menyewa lahan milik masyarakat dengan harga lebih tinggi," ujarnya.
Pada musim giling tahun 2022 APTRI juga merekomendasikan agar pemerintah menugaskan perusahaan yang mendapat izin impor gula untuk membeli gula tani.
"Desakan tersebut merupakan salah satu rekomendasi yang dihasilkan dalam Musyawarah Nasional V APTRI yang dibuka secara resmi oleh Wakil Presiden Kiai Haji Ma'ruf Amin di Yogyakarta baru-baru ini," kata Sekjen DPN APTRI M. Nur Khabsyin di Kudus, Jawa Tengah, Minggu.
Ia mengungkapkan bahwa HPP gula tani sebesar Rp9.100/kilogram dan HET gula sebesar Rp12.500/kg sudah enam tahun tidak naik dan ini sangat merugikan petani.
Bahkan, imbuh dia, HPP gula tani saat ini sudah jauh di bawah biaya pokok produksi (BPP) yang kini sudah berkisar pada angka Rp11.000 per kilogram. Idealnya HPP harus berada di atas BPP agar petani tebu bisa merasakan keuntungan.
"Dalam Munas, APTRI merekomendasikan ke pemerintah untuk menetapkan HPP sebesar Rp11.500/kg. Angka tersebut kami anggap wajar agar petani bisa untung dan tidak memberatkan konsumen. Kami minta kenaikan HPP karena bulan Mei 2022 sudah memasuki musim giling," ujarnya.
Sementara untuk besaran harga acuan HET, APTRI mengusulkan Rp14.000/kg atau HET dihapus saja.
Dalam rekomendasi Munas, APTRI juga menyoroti banyaknya gula rafinasi sering bocor di beberapa daerah. Hal ini menunjukkan bahwa ada kelebihan jumlah gula yang diimpor, sekaligus menunjukkan juga ada mekanisme dalam perdagangan gula rafinasi yang perlu dibenahi.
"Impor gula rafinasi dan juga gula konsumsi agar dibatasi," ujarnya.
Sementara terkait pupuk, APTRI juga menolak rencana pencabutan subsidi untuk pupuk jenis ZA karena pupuk ZA merupakan jenis pupuk yang sangat dibutuhkan petani tebu.
"Kami juga mendesak agar pemerintah memfasilitasi petani tebu untuk menyewa lahan HGU milik negara karena selama ini ratusan ribu hektare lahan HGU disewa oleh perusahaan gula baik BUMN maupun swasta dengan harga murah. Sedangkan petani tebu menyewa lahan milik masyarakat dengan harga lebih tinggi," ujarnya.
Pada musim giling tahun 2022 APTRI juga merekomendasikan agar pemerintah menugaskan perusahaan yang mendapat izin impor gula untuk membeli gula tani.