Semarang (ANTARA) - Lembaga Riset Siber Indonesia CISSReC memandang penting melakukan pengecekan terkait dengan kebenaran informasi peretasan terhadap 10 kementerian dan lembaga di Tanah Air dengan menggunakan private ransomware (perangkat pemeras) bernama Thanos.
"Bisa saja ini baru klaim sepihak. Oleh karena itu, perlu menunggu buktinya seperti pada kasus e-HAC Kemenkes beberapa waktu lalu," kata Ketua Lembaga Riset Siber Indonesia CISSReC Dr. Pratama Persadha melalui percakapan WhatsApp kepada ANTARA di Semarang, Minggu.
Pakar keamanan siber ini mengemukakan hal itu terkait dengan informasi yang menyebutkan bahwa Mustang Panda Group, peretas asal Tiongkok, melakukan peretasan terhadap sejumlah kementerian/lembaga dengan menggunakan private ransomware bernama Thanos.
Kalau mereka sudah share bukti peretasannya seperti data dan biasanya upaya perusakan situs web (deface situs web), menurut Pratama, baru bisa menyimpulkan kebenaran terjadi peretasan. Apalagi, kesepuluh kementerian/lembaga mana saja yang diretas masih belum jelas.
Namun, bila ini spionase antarnegara, menurut dosen pascasarjana Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) ini, memang bukti akan lebih sulit untuk didapatkan karena motifnya bukan ekonomi maupun popularitas.
Dikatakan pula bahwa hal ini tetap bagus sebagai trigger (pemicu) semua kementerian/lembaga pemerintah di Indonesia untuk mulai mengecek sistem informasi dan jaringannya.
"Lakukan security assessment di sistemnya masing-masing. Perkuat pertahanannya, upgrade sumber daya manusianya, dan buat tata kelola pengamanan siber yang baik di institusinya masing-masing," kata pria asal Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini.
Pada pertengahan 2020, kata Pratama, juga terjadi isu serupa di lingkungan Kemenlu dan beberapa BUMN. Saat itu ada warning dari Australia bahwa email salah satu diplomat Indonesia mengirimkan malware aria body ke email salah satu pejabat di Australia Barat.
Menurut dia, email dari diplomat Indonesia sudah berhasil diambil alih oleh peretas, yang diperkirakan kelompok Naikon asal Tiongkok. Namun, hal ini juga belum diketahui persis hanya email saja atau sampai perangkat yang diretas.
"Masalahnya, banyak malware yang dibuat dengan tujuan menyamai kemampuan malware pegasus yang bisa melakukan take over smartphone," katanya.
Pratama memandang perlu melakukan deep vulnerability assessment atau kerentanan terhadap sistem yang mereka miliki, serta melakukan penetration test (tes penetrasi) secara berkala untuk mengecek kerentanan sistem informasi dan jaringan.
Ia juga menganjurkan menggunakan teknologi honeypot. Ketika terjadi serangan, hacker (peretas) akan terperangkap pada sistem honeypot ini sehingga tidak bisa melakukan serangan ke server yang sebenarnya.
Selain itu, perlu memasang sensor cyber threats intelligence untuk mendeteksi malware atau paket berbahaya yang akan menyerang ke sistem.
Menurut dia, yang paling penting adalah membuat tata kelola pengamanan siber yang baik dan mengimplementasikan standar-standar keamanan informasi yang sudah ada.
Terkait dengan info peretasan terhadap 10 kementerian/lembaga, CISSReC telah mencoba melakukan profiling threat actor (membuat profil aktor ancaman).
Dijelaskan pula bahwa Mustang Panda adalah hacker group yang sebagian besar anggota dari Tiongkok. Grup ini membuat private ransomware yang dinamakan Thanos.
Ransomeware ini dapat mengakses data dan credential login pada device (perangkat) PC, kemudian mengirimkannya ke command and control (CNC), bahkan hacker bisa mengontrol sistem operasi target.
"Private ransome Thanos mempunyai 43 konfigurasi yang berbeda untuk mengelabui firewall dan antivirus sehingga sangat berbahaya," katanya mengingatkan.
Pratama menekankan bahwa Pemerintah segera melakukan segala langkah untuk mengetahui apakah tindak spionase ini terkait dengan konflik Laut China Selatan atau tidak. Pasalnya, dalam beberapa tahun terakhir tensi terkait dengan isu ini memang meningkat di kawasan Asia Tenggara.
Ia lantas berharap semoga info terkait dengan hal itu menjadi momentum perbaikan keamanan siber di lembaga negara.
"Bisa saja ini baru klaim sepihak. Oleh karena itu, perlu menunggu buktinya seperti pada kasus e-HAC Kemenkes beberapa waktu lalu," kata Ketua Lembaga Riset Siber Indonesia CISSReC Dr. Pratama Persadha melalui percakapan WhatsApp kepada ANTARA di Semarang, Minggu.
Pakar keamanan siber ini mengemukakan hal itu terkait dengan informasi yang menyebutkan bahwa Mustang Panda Group, peretas asal Tiongkok, melakukan peretasan terhadap sejumlah kementerian/lembaga dengan menggunakan private ransomware bernama Thanos.
Kalau mereka sudah share bukti peretasannya seperti data dan biasanya upaya perusakan situs web (deface situs web), menurut Pratama, baru bisa menyimpulkan kebenaran terjadi peretasan. Apalagi, kesepuluh kementerian/lembaga mana saja yang diretas masih belum jelas.
Namun, bila ini spionase antarnegara, menurut dosen pascasarjana Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) ini, memang bukti akan lebih sulit untuk didapatkan karena motifnya bukan ekonomi maupun popularitas.
Dikatakan pula bahwa hal ini tetap bagus sebagai trigger (pemicu) semua kementerian/lembaga pemerintah di Indonesia untuk mulai mengecek sistem informasi dan jaringannya.
"Lakukan security assessment di sistemnya masing-masing. Perkuat pertahanannya, upgrade sumber daya manusianya, dan buat tata kelola pengamanan siber yang baik di institusinya masing-masing," kata pria asal Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini.
Pada pertengahan 2020, kata Pratama, juga terjadi isu serupa di lingkungan Kemenlu dan beberapa BUMN. Saat itu ada warning dari Australia bahwa email salah satu diplomat Indonesia mengirimkan malware aria body ke email salah satu pejabat di Australia Barat.
Menurut dia, email dari diplomat Indonesia sudah berhasil diambil alih oleh peretas, yang diperkirakan kelompok Naikon asal Tiongkok. Namun, hal ini juga belum diketahui persis hanya email saja atau sampai perangkat yang diretas.
"Masalahnya, banyak malware yang dibuat dengan tujuan menyamai kemampuan malware pegasus yang bisa melakukan take over smartphone," katanya.
Pratama memandang perlu melakukan deep vulnerability assessment atau kerentanan terhadap sistem yang mereka miliki, serta melakukan penetration test (tes penetrasi) secara berkala untuk mengecek kerentanan sistem informasi dan jaringan.
Ia juga menganjurkan menggunakan teknologi honeypot. Ketika terjadi serangan, hacker (peretas) akan terperangkap pada sistem honeypot ini sehingga tidak bisa melakukan serangan ke server yang sebenarnya.
Selain itu, perlu memasang sensor cyber threats intelligence untuk mendeteksi malware atau paket berbahaya yang akan menyerang ke sistem.
Menurut dia, yang paling penting adalah membuat tata kelola pengamanan siber yang baik dan mengimplementasikan standar-standar keamanan informasi yang sudah ada.
Terkait dengan info peretasan terhadap 10 kementerian/lembaga, CISSReC telah mencoba melakukan profiling threat actor (membuat profil aktor ancaman).
Dijelaskan pula bahwa Mustang Panda adalah hacker group yang sebagian besar anggota dari Tiongkok. Grup ini membuat private ransomware yang dinamakan Thanos.
Ransomeware ini dapat mengakses data dan credential login pada device (perangkat) PC, kemudian mengirimkannya ke command and control (CNC), bahkan hacker bisa mengontrol sistem operasi target.
"Private ransome Thanos mempunyai 43 konfigurasi yang berbeda untuk mengelabui firewall dan antivirus sehingga sangat berbahaya," katanya mengingatkan.
Pratama menekankan bahwa Pemerintah segera melakukan segala langkah untuk mengetahui apakah tindak spionase ini terkait dengan konflik Laut China Selatan atau tidak. Pasalnya, dalam beberapa tahun terakhir tensi terkait dengan isu ini memang meningkat di kawasan Asia Tenggara.
Ia lantas berharap semoga info terkait dengan hal itu menjadi momentum perbaikan keamanan siber di lembaga negara.