Semarang (ANTARA) - Sekelompok orang yang mencoba memancing pendapat publik mengenai Perubahan Kelima UUD NRI Tahun 1945, ibarat tinggal riak (ombak kecil) yang kemungkinan tidak akan mengganggu pelayaran.

Mereka mencoba membuka kotak pandora ketika ada rencana MPR RI menambah pasal mengenai kewenangan lembaga tinggi negara ini menetapkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).

Wacana masa jabatan presiden dan wakil presiden 3 periode, misalnya, sempat bergulir di akhir tahun 2019. Namun, kini nyaris tak terdengar. Begitu pula, isu penundaan Pemilu Serentak 2024 juga bernasib sama.

Baca juga: Pilih amendemen atau e-Voting terkait Pemilu 2024

Kedua isu itu disebut pakar hukum tata negara Dr. H. Hamdan Zoelva, S.H., M.H. didesain satu irama yang didendangkan oleh mereka yang berperan sebagai test the water (cek ombak).

Ini adalah pandangan politik (political view) atau gerakan politik yang berusaha keluar dari kerangka hukum dan ketatanegaraan. Namun, mereka akhirnya "gatot" alias gagal total karena tidak ada lampu hijau (green light) dari publik.

Seandainya ada green light, isu makin diperbesar, diperluas, dan bahkan terus menjadi wacana sehingga publik makin terpengaruh bahwa langkah itu memang menjadi sesuatu yang sangat diperlukan.

Tidak adanya respons serius dari masyarakat terkait dengan penundaan Pemilu 2024 dan penambahan masa jabatan presiden/wakil presiden, menurut Hamdan, menunjukkan rakyat Indonesia memiliki pemikiran yang sangat jernih dalam pandangan kehidupan bernegara.

Oleh karena itu, fenomena semacam ini harus ditolak jika anak bangsa ini masih mencintai Negara Kesatuan Republik Indonesia, cinta kehidupan yang stabil, dan cinta terhadap tegaknya NKRI yang berdasarkan konstitusi.

Tidak pelak lagi, sebagian besar dari rakyat Indonesia menolak isu tersebut pada saat ini. Sampai-sampai mereka menolak isu Perubahan Kelima UUD NRI Tahun 1945 karena kekhawatiran isu dari test the water itu melebar ke mana-mana.

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) RI periode 2013—2015 Hamdan Zoelva yakin rakyat akan terus mengawal penyelenggaraan negara yang hanya berdasarkan kepentingan politik yang sifatnya jangka pendek daripada keselamatan negara yang strategis dan jangka panjang.

Ketika tampil sebagai pemateri pada Kajian Islam dan Konstitusi bertema "Menyoal Wacana Pemilu 2024 Diundur ke 2027" yang disiarkan melalui YouTube Salam Radio Channel, Selasa (24/8), Hamdan menegaskan bahwa kultur konstitusi ini sangat penting dalam rangka ajeknya penyelenggaraan negara, atau tidak selalu berubah-ubah.

Jika ada pemikiran seperti ini, 5 tahun lagi orang berpikir seperti itu dengan pemegang kekuasaan berbeda. Kelak orang yang berkuasa lain lagi juga akan berpikiran sama.

Hamdan yang juga Ketua Umum Pimpinan Pusat/Lajnah Tanfiziah Syarikat Islam lantas mempertanyakan kapan selesainya. Oleh karena itu, etika dan budaya konstitusi menjadi sangat penting, tidak hanya melihat konstitusi dalam arti letterlijk (harfiah), tetapi etika penyelenggara negara itu menjadi sangat penting.

Isu Kian Redup

Aksi test the water ini tampaknya kian redup, apalagi ada pernyataan dari sejumlah kalangan wakil rakyat di Senayan. Mereka mengatakan bahwa pernyataan pimpinan MPR RI mengenai Perubahan Kelima UUD NRI 1945 belum merupakan representasi sikap lembaga negara itu.

Misalnya, pernyataan Ketua Fraksi Partai Golkar MPR RI Idris Laena kepada ANTARA di Jakarta, Rabu (25/8). Dia menegaskan bahwa pimpinan MPR belum mengadakan rapat gabungan dengan pimpinan fraksi-fraksi yang menjadi forum menyampaikan sikap resmi fraksi-fraksi dan kelompok DPD RI.

Tidak hanya seorang wakil rakyat, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) pun menggarisbawahi bahwa keputusan akhir apakah perlu amendemen terbatas UUD NRI Tahun 1945 atau tidak tergantung pada dinamika politik dan para pimpinan partai politik untuk mengambil keputusan.

Dengan demikian, pengembalian kewenangan MPR untuk menetapkan PPHN yang merupakan transformasi dari Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) hingga saat ini masih sebatas wacana.

Ditegaskan pula oleh Bamsoet usai menghadiri peringatan Hari Konstitusi dan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-76 MPR RI di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Rabu (25/8), bahwa semua itu bergantung pada dinamika politik dan pemangku kepentingan di gedung parlemen ini. Dalam hal ini, pimpinan partai politik, para cendekiawan, akademikus, dan praktisi yang dapat mewujudkan penambahan kewenangan MPR RI itu.

Baca juga: Memasukkan PPHN dalam UUD berpotensi buka kotak pandora

Sikap pimpinan partai politik akan tercermin dari para anggotanya di parlemen, baik di DPR maupun Badan Pekerja MPR RI, meski konon ada arus besar yang mendorong agar MPR memiliki kembali kewenangan menetapkan PPHN.

Arus besar tersebut, kata Bamsoet, menginginkan agar bangsa Indonesia memiliki arah dan bintang pengarah dalam jangka panjang. Masalahnya, selama ini PPHN hanya diatur dalam sebuah undang-undang.

Ditambah lagi, dalam rekomendasi MPR RI periode 2014—2019 meminta MPR RI periode 2019—2024 mendorong agar PPHN memiliki payung hukum lebih kuat, yaitu melalui ketetapan MPR.

Adapun alasannya, jika pasal terkait dengan PPHN ini masuk dalam Tap MPR RI, semua patuh dan tidak bisa "ditorpedo" oleh peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu).

Tidak hanya politikus dari Partai Golkar, Ketua Fraksi Partai NasDem MPR RI Taufik Basari kepada ANTARA di Jakarta, Selasa (24/8), juga menilai saat ini belum ada urgensi untuk amendemen konstitusi.

Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini sependapat bahwa amendemen konstitusi bukan merupakan agenda mendesak, bahkan cenderung bisa kontraproduktif dengan upaya penanganan pandemi COVID-19.

Pasalnya, isu amendemen sangat rentan untuk dipolitisasi dan diboncengi isu-isu ikutan, seperti masa jabatan presiden 3 periode, penundaan pemilu, maupun pemilihan presiden oleh MPR.

Isu-isu yang notabene bisa memancing kekisruhan berujung protes dan perlawanan publik. Kalau masyarakat sampai turun ke jalan, semua upaya penanggulangan pandemi bisa sia-sia.

Oleh karena itu, penting menjaga iklim kondusif dan situasi politik yang stabil. Elite tidak perlu melempar isu yang tidak krusial, apalagi sampai bisa memicu kontroversi di tengah masyarakat.

Fokus saja untuk bekerja optimal mengatasi pandemi dan membawa Indonesia keluar dari situasi krisis akibat COVID-19 saat ini. Intrik politik hanya akan membuat kacau.

Di lain pihak, menurut politikus Partai NasDem Taufik Basari, gagasan amandemen terbatas hanya untuk satu atau dua pasal akan sulit dilakukan karena norma konstitusi berkaitan antara yang satu dan lainnya.

Keinginan untuk melakukan amendemen terbatas atau hanya untuk memunculkan PPHN tidak bisa serta-merta begitu saja tanpa berdampak pada sistem ketatanegaraan saat ini, seperti kedudukan MPR sebagai lembaga negara serta kedudukan dan pertanggungjawaban Presiden.

Meski Pasal 37 UUD NRI 1945 memberikan peluang, keputusannya harus melibatkan publik secara luas, atau tidak bisa hanya pimpinan MPR atau sebagian fraksi di lembaga tinggi negara ini yang menentukan.

Perubahan amendemen konstitusi ini tentunya harus berbasiskan pada kebutuhan dengan keinginan yang kuat dari rakyat. Jadi, alangkah indahnya mendengar suara rakyat terlebih dahulu.

Baca juga: Capres perseorangan masih sebatas mimpi
 

Pewarta : D.Dj. Kliwantoro
Editor : Mahmudah
Copyright © ANTARA 2024