Batang (ANTARA) - Anggota DPR RI Arsul Sani menegaskan bahwa penundaan pelaksanaan Pemilihan Presiden 2024 menjadi 2027 yang diwacanakan oleh sebagian kalangan tidak mungkin terjadi karena hal itu melanggar konstitusi.
"Wacana itu muncul dari masyarakat, seperti munculnya wacana Presiden (dapat menjabat) tiga periode. Presiden maupun partai politik tidak setuju dengan wacana tersebut karena tujuan kita melakukan reformasi adalah membatasi masa periode jabatan Presiden," kata Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani di Batang, Jawa Tengah, Kamis.
Ia mengatakan setelah sempat ada wacana Presiden tiga periode kini dilemparkan lagi soal penundaan Pilpres 2024 untuk dilaksanakan pada 2027 dengan alasan sekarang ini masih dalam masa pandemi.
"Jika Pemilu 2024 dimundurkan maka bukan Presiden saja, DPR dan DPRD juga mundur. Itu konsekuensi jika pemilu dimundurkan dan jelas itu sangat sulit dilakukan," katanya.
Menurut Arsul Sani, penundaan pemilu juga jelas melanggar konstitusi karena Presiden itu menjabat hanya untuk 5 tahun.
"Jika tidak ada amendemen maka jelas penundaan pemilu itu melanggar konstitusi. Oleh karena, ketika ada wacana untuk melakukan amendemen UUD untuk memasukkan Pokok Pokok Haluan Negara (PPHN), dimunculkan wacana tersebut hingga ramai," katanya.
Anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan X (meliputi Kota Pekalongan, Kabupaten Pekalongan, Batang, dan Pemalang) itu mengungkapkan bahwa dirinya sudah bertemu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan sudah ditegaskan bahwa amendemen UUD dilakukan terbatas, hanya untuk PPHN.
"Presiden menegaskan bahwa amendemen merupakan domain MPR dan beliau minta agar dijelaskan pada masyarakat jika hal itu (amandemen, red.) dilakukan terbatas, hanya untuk PPHN. Jadi agar tidak ada prasangka kepada Presiden terkait penundaan pemilu ataupun masa jabatan Presiden," jelasnya.
Ia mengatakan usulan atau masukan untuk amendemen juga tidak bisa dilakukan dengan tiba-tiba atau mendadak tetapi semuanya harus diusulkan oleh minimal 1/3 anggota MPR dan apa yang akan diusulkan itu harus ditulis, serta dijelaskan.
"Untuk amendemen, tidak akan ada pasal boncengan atau 'selundupan' mengingat semua usulan tidak bisa muncul tiba-tiba karena harus diajukan secara tertulis sehingga bisa diketahui oleh masyarakat," kata Arsul Sani.
"Wacana itu muncul dari masyarakat, seperti munculnya wacana Presiden (dapat menjabat) tiga periode. Presiden maupun partai politik tidak setuju dengan wacana tersebut karena tujuan kita melakukan reformasi adalah membatasi masa periode jabatan Presiden," kata Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani di Batang, Jawa Tengah, Kamis.
Ia mengatakan setelah sempat ada wacana Presiden tiga periode kini dilemparkan lagi soal penundaan Pilpres 2024 untuk dilaksanakan pada 2027 dengan alasan sekarang ini masih dalam masa pandemi.
"Jika Pemilu 2024 dimundurkan maka bukan Presiden saja, DPR dan DPRD juga mundur. Itu konsekuensi jika pemilu dimundurkan dan jelas itu sangat sulit dilakukan," katanya.
Menurut Arsul Sani, penundaan pemilu juga jelas melanggar konstitusi karena Presiden itu menjabat hanya untuk 5 tahun.
"Jika tidak ada amendemen maka jelas penundaan pemilu itu melanggar konstitusi. Oleh karena, ketika ada wacana untuk melakukan amendemen UUD untuk memasukkan Pokok Pokok Haluan Negara (PPHN), dimunculkan wacana tersebut hingga ramai," katanya.
Anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan X (meliputi Kota Pekalongan, Kabupaten Pekalongan, Batang, dan Pemalang) itu mengungkapkan bahwa dirinya sudah bertemu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan sudah ditegaskan bahwa amendemen UUD dilakukan terbatas, hanya untuk PPHN.
"Presiden menegaskan bahwa amendemen merupakan domain MPR dan beliau minta agar dijelaskan pada masyarakat jika hal itu (amandemen, red.) dilakukan terbatas, hanya untuk PPHN. Jadi agar tidak ada prasangka kepada Presiden terkait penundaan pemilu ataupun masa jabatan Presiden," jelasnya.
Ia mengatakan usulan atau masukan untuk amendemen juga tidak bisa dilakukan dengan tiba-tiba atau mendadak tetapi semuanya harus diusulkan oleh minimal 1/3 anggota MPR dan apa yang akan diusulkan itu harus ditulis, serta dijelaskan.
"Untuk amendemen, tidak akan ada pasal boncengan atau 'selundupan' mengingat semua usulan tidak bisa muncul tiba-tiba karena harus diajukan secara tertulis sehingga bisa diketahui oleh masyarakat," kata Arsul Sani.