Purwokerto (ANTARA) - Akademisi dari Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP), Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Dr. Elly Hasan Sadeli MPd menilai Hari Konstitusi yang diperingati setiap tanggal 18 Agustus merupakan momentum untuk kembali pada Undang-Undang Dasar 1945.

"Kalau kita lihat ke belakang bahwa kemerdekaan Indonesia itu secara de facto tepatnya tanggal 17 Agustus 1945, secara de jure tahapan administratif dan sebagainya itu tanggal 18 Agustus 1945 bertepatan dengan disahkan serta ditetapkannya konstitusi kita, Undang-Undang Dasar 1945, sebagai kekuatan hukum dasar bangsa kita," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Rabu.

Ketua Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UMP itu mengatakan konstitusi jika dimaknai secara harfiah itu lebih luas dari undang-undang dasar.

Baca juga: Pakar minta MPR pertimbangkan urgensi amendemen UUD 1945

Dalam hal ini, kata dia, konstitusi merupakan segala hal baik peraturan tertulis maupun tidak tertulis, sedangkan undang-undang dasar hanya memuat aturan-aturan tertulis saja.

"Dalam hukum tata negara ada aturan tidak tertulis yang disebut dengan konvensi. Nah konvensi ini sebetulnya mengatur aturan-aturan yang tidak ditulis, namun karena sudah jadi tradisi hukum, maka ini seperti suatu yang perlu dilakukan, misalnya, kemarin (17/8) melaksanakan Upacara Kemerdekaan, kemudian pemasangan foto presiden dan wakil presiden di kantor-kantor atau sekolah," tuturnya.

Lebih lanjut, Eli mengatakan pascareformasi tahun 1998, bangsa Indonesia telah mengalami empat proses amendemen terhadap UUD 1945.

"Secara pribadi sih, bukan proses amendemennya tetapi bagaimana konstitusi itu juga harus dihasilkan dari prosedur yang baik," ucapnya.

Ia mengatakan selama ini banyak sekali rancangan aturan di bawah konstitusi. "Kalau konstitusi itu kan mempunyai kedudukan dan derajat lebih tinggi dari peraturan perundang-undangan lainnya," ujarnya menjelaskan.

Dengan demikian, kata dia, konstitusi itu hanya dilihat oleh mereka yang punya wewenang di aspek legislasi sebagai makalah simbolis.

"Saya melihat banyak sekali perubahan peraturan perundang-undangan yang inkonstitusional," katanya.

Dalam hal ini, Elly mencontohkan Rancangan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU KPK) yang telah disahkan dan ditetapkan sebagai Undang-Undang KPK.

Ia mengaku belum bisa menerima penetapan UU KPK tersebut karena pelibatan akademisi dalam penyusunan RUU KPK sangat rendah.

Padahal, kata dia, untuk menghasilkan suatu peraturan perundang-undangan bukan hanya melibatkan eksekutif dan legislatif, juga diperlukan masukan dari golongan kelompok masyarakat maupun akademisi.

"Kalau saya melihat, konstitusi itu mau diamendemen seperti apapun kalau kita taat prosedur konstitusi, ya hanya makalah simbolis saja, hanya formalitas saja," katanya.

Sebagai pengajar, dia mengaku sering kali kesulitan mengajarkan masalah konstitusi kepada mahasiswa karena bagaimanapun konstitusi itu semacam moral publik yang telah disepakati.

Akan tetapi ketidaktaatan, keteledoran, dan ketidakpatuhan terhadap konstitusi justru ditunjukkan oleh mereka yang menyusun atau membuat konstitusi itu sendiri.

"Persis seperti kenapa ideologi Pancasila terkesan lemah, karena salah satunya adalah dari beberapa riset saya di sini, kelemahan itu karena adanya ketidaktaatan dan ketidakpatuhan dari penyelenggara negara terhadap ideologi. Ini saya kira pembuat atau penyusun konstitusi itu juga harus memberikan satu nilai keteladanan, apa yang mereka buat itu harus betul-betul juga mereka lakukan," paparnya.

Ia mengatakan konstitusi secara hierarki yang pertama adalah sebagai pengertian politik, yakni bisa menggambarkan kondisi sosial politik bangsa atau negara Indonesia.

Sementara yang kedua, kata dia, konstitusi itu juga merupakan produk hukum, sehingga keputusan-keputusannya harus dipatuhi dan ditaati bersama.

"Saya khawatir apa yang dikatakan seorang filsuf, Cicero dulu pernah mengatakan justru semakin banyak aturan, katanya akan semakin banyak pelanggarannya. Kurang apa sih aturan di negara kita. Bahkan, kita memahami bahwa norma saja ada empat, yakni norma agama, norma kesopanan, norma kesusilaan, dan norma hukum, saya kira bukan sebagaimana banyak kuantitasnya tetapi seberapa tegasnya penegakan aturan itu tadi," tuturnya.

Ia mengatakan yang ketiga adalah konstitusi sebagai peraturan hukum yang tertulis dan tidak tertulis.

Baca juga: Siti Mukaromah: UUD 1945 merupakan sumber hukum formal tertinggi
Baca juga: Wacana amendemen UUD'45 kian redup

Pewarta : Sumarwoto
Editor : Mahmudah
Copyright © ANTARA 2024