Banjarmasin (ANTARA) - Wakil Sekretaris Jenderal Aliansi Akademisi Komunikasi untuk Pengendalian Tembakau (AAKPT) Sri Astuty menyatakan mengedukasi bahaya rokok bisa dilakukan lewat larangan iklan di media.
"Saatnya kita melindungi masyarakat, terutama kalangan anak-anak dan remaja, yang rentan terpapar ikut atau mulai coba-coba merokok dengan peniadaan iklan dalam bentuk apa pun," kata dia di Banjarmasin, Senin.
Diakui Sri Astuty, Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia Tenggara yang tidak memiliki kebijakan pelarangan iklan rokok di media berdasarkan laporan Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO).
Fakta tersebut, menurut dia, harus menjadi perhatian serius pemerintah terkait kebijakan yang mendorong upaya melindungi masyarakat dari bahaya rokok.
Diakui dia, Indonesia merupakan pasar rokok tertinggi ketiga di dunia setelah China dan India. Meskipun begitu, faktor ekonomi jangan sampai menjadi alasan mengesampingkan sisi kesehatan masyarakat yang juga wajib dilindungi.
"Prinsipnya jangan ada lagi terpaan iklan, promosi dan sponsor rokok dalam bentuk apa pun sebagai wujud komitmen pemerintah menekan penggunaan rokok. Di sisi lain, seluruh elemen masyarakat juga harus berperan dalam edukasi secara masif yang dimulai dari lingkungan terkecil, yaitu keluarga," ujar Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lambung Mangkurat (ULM) itu.
Ditegaskan Sri Astuty, saat ini perlu ada kerja sama dari berbagai pihak untuk melakukan advokasi kebijakan terkait pengendalian tembakau.
Salah satunya, menurut dia, akademisi komunikasi yang perlu mengambil peran dalam aksi komunikasi kesehatan untuk mewujudkan generasi emas yang cerdas dan sehat.
AAKPT merupakan organisasi beranggotakan para akademisi jurusan ilmu komunikasi dari berbagai perguruan tinggi yang didirikan pada 31 Mei 2021 bertepatan dengan peringatan Hari tanpa Tembakau Sedunia.
"Saatnya kita melindungi masyarakat, terutama kalangan anak-anak dan remaja, yang rentan terpapar ikut atau mulai coba-coba merokok dengan peniadaan iklan dalam bentuk apa pun," kata dia di Banjarmasin, Senin.
Diakui Sri Astuty, Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia Tenggara yang tidak memiliki kebijakan pelarangan iklan rokok di media berdasarkan laporan Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO).
Fakta tersebut, menurut dia, harus menjadi perhatian serius pemerintah terkait kebijakan yang mendorong upaya melindungi masyarakat dari bahaya rokok.
Diakui dia, Indonesia merupakan pasar rokok tertinggi ketiga di dunia setelah China dan India. Meskipun begitu, faktor ekonomi jangan sampai menjadi alasan mengesampingkan sisi kesehatan masyarakat yang juga wajib dilindungi.
"Prinsipnya jangan ada lagi terpaan iklan, promosi dan sponsor rokok dalam bentuk apa pun sebagai wujud komitmen pemerintah menekan penggunaan rokok. Di sisi lain, seluruh elemen masyarakat juga harus berperan dalam edukasi secara masif yang dimulai dari lingkungan terkecil, yaitu keluarga," ujar Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lambung Mangkurat (ULM) itu.
Ditegaskan Sri Astuty, saat ini perlu ada kerja sama dari berbagai pihak untuk melakukan advokasi kebijakan terkait pengendalian tembakau.
Salah satunya, menurut dia, akademisi komunikasi yang perlu mengambil peran dalam aksi komunikasi kesehatan untuk mewujudkan generasi emas yang cerdas dan sehat.
AAKPT merupakan organisasi beranggotakan para akademisi jurusan ilmu komunikasi dari berbagai perguruan tinggi yang didirikan pada 31 Mei 2021 bertepatan dengan peringatan Hari tanpa Tembakau Sedunia.