Purwokerto (ANTARA) - Pakar hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Profesor Hibnu Nugroho menilai vonis majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta kepada Djoko Soegiarto Tjandra merupakan peringatan bagi penegak hukum yang melakukan penuntutan terlalu rendah.
"Kalau dilihat dari kualitasnya, sebetulnya (vonis yang dijatuhkan) masih kurang karena yang dilakukan Djoko Tjandra ini 'memutarbalikkan' terkait dengan suap kepada penegak hukum. Artinya, di sini 'kan (Djoko Tjandra) orang yang betul-betul mempunyai suatu keahlian khusus bagaimana menjadikan penegak hukum itu luluh integritasnya," kata Prof. Hibnu Nugroho di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Selasa.
Ia mengatakan hal itu terkait dengan vonis 4,5 tahun penjara ditambah denda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan yang dijatuhkan Pengadilan Tipikor Jakarta kepada terpidana kasus cessie Bank Bali Djoko Soegiarto Tjandra (Djoko Tjandra) karena terbukti menyuap aparat penegak hukum dan melakukan pemukatan jahat.
Baca juga: Tak butuh waktu lama, ungkap raibnya tabungan nasabah Bank Mega
Baca juga: Pakar hukum: Indonesia lepas dari krisis akibat pandemik jika tertib hukum
Vonis tersebut lebih berat dibanding tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Agung yang meminta agar Djoko Tjandra divonis 4 tahun penjara ditambah denda Rp100 juta subsider 6 bulan.
"Inilah (suap kepada aparat penegak hukum) yang saya kira sebagai sesuatu yang memperberat. Harusnya putusannya lebih berat, artinya hakim mungkin bisa melompat dari tuntutan 4 tahun menjadi 8 tahun atau 9 tahun," kata Hibnu.
Menurut dia, masyarakat saat sekarang menghendaki adanya tuntutan dan vonis yang berat dalam kasus tindak pidana korupsi.
Dalam hal ini, kata dia, vonis yang dijatuhkan majelis hakim paling tidak lebih tinggi dua kali lipat dari tuntutan jaksa penuntut umum karena sekarang negara sedang gencar-gencarnya dalam pemberatasan tindak pidana korupsi, apalagi terkait dengan penegak hukum.
Kendati demikian, dia mengakui jika dilihat dari tataran norma, vonis 4,5 tahun penjara itu tergolong cukup karena sudah melebihi tuntutan yang diajukan jaksa.
"Akan tetapi, dalam tataran keinginan untuk menjadikan efek jera, ya, kurang. Itu jika dilihat dari berbagai sudut perspektif, tidak dari sudut pragmatis. Akan tetapi, dari sudut perspektif kaitannya dengan pemberantasan tindak pidana korupsi masih kurang," katanya menjelaskan
Akan tetapi, dari tataran formal penegakan hukum, kata dia, vonis yang dijatuhkan kepada Djoko Tjandra sudah melebihi dari tuntutan jaksa.
Oleh karena itu, lanjut dia, vonis tersebut memberikan suatu peringatan bagi penegak hukum yang menuntut terlalu rendah.
"Tuntutan jaksa penuntut umum 'kan 4 tahun. Itu (vonis tersebut, red.) artinya peringatan kepada penuntut umum untuk melakukan penuntutan yang betul-betul mencerminkan suatu bukti, mencerminkan suatu perkara yang sedang diperiksa, dan mencerminkan suatu kondisi Indonesia yang sedang gencar-gencarnya melakukan pemberantasan korupsi," katanya.
Kendati vonis yang dijatuhkan kepada Djoko Tjandra lebih tinggi daripada tuntutan jaksa, Hibnu mengatakan putusan tersebut masih jauh dari harapan masyarakat karena perkaranya bukan perkara biasa, melainkan berkaitan dengan penegak hukum yang notabene harus memberikan contoh kepada masyarakat.
Baca juga: Pakar hukum nilai Artidjo Alkostar merupakan sosok hakim berintegritas
"Kalau dilihat dari kualitasnya, sebetulnya (vonis yang dijatuhkan) masih kurang karena yang dilakukan Djoko Tjandra ini 'memutarbalikkan' terkait dengan suap kepada penegak hukum. Artinya, di sini 'kan (Djoko Tjandra) orang yang betul-betul mempunyai suatu keahlian khusus bagaimana menjadikan penegak hukum itu luluh integritasnya," kata Prof. Hibnu Nugroho di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Selasa.
Ia mengatakan hal itu terkait dengan vonis 4,5 tahun penjara ditambah denda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan yang dijatuhkan Pengadilan Tipikor Jakarta kepada terpidana kasus cessie Bank Bali Djoko Soegiarto Tjandra (Djoko Tjandra) karena terbukti menyuap aparat penegak hukum dan melakukan pemukatan jahat.
Baca juga: Tak butuh waktu lama, ungkap raibnya tabungan nasabah Bank Mega
Baca juga: Pakar hukum: Indonesia lepas dari krisis akibat pandemik jika tertib hukum
Vonis tersebut lebih berat dibanding tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Agung yang meminta agar Djoko Tjandra divonis 4 tahun penjara ditambah denda Rp100 juta subsider 6 bulan.
"Inilah (suap kepada aparat penegak hukum) yang saya kira sebagai sesuatu yang memperberat. Harusnya putusannya lebih berat, artinya hakim mungkin bisa melompat dari tuntutan 4 tahun menjadi 8 tahun atau 9 tahun," kata Hibnu.
Menurut dia, masyarakat saat sekarang menghendaki adanya tuntutan dan vonis yang berat dalam kasus tindak pidana korupsi.
Dalam hal ini, kata dia, vonis yang dijatuhkan majelis hakim paling tidak lebih tinggi dua kali lipat dari tuntutan jaksa penuntut umum karena sekarang negara sedang gencar-gencarnya dalam pemberatasan tindak pidana korupsi, apalagi terkait dengan penegak hukum.
Kendati demikian, dia mengakui jika dilihat dari tataran norma, vonis 4,5 tahun penjara itu tergolong cukup karena sudah melebihi tuntutan yang diajukan jaksa.
"Akan tetapi, dalam tataran keinginan untuk menjadikan efek jera, ya, kurang. Itu jika dilihat dari berbagai sudut perspektif, tidak dari sudut pragmatis. Akan tetapi, dari sudut perspektif kaitannya dengan pemberantasan tindak pidana korupsi masih kurang," katanya menjelaskan
Akan tetapi, dari tataran formal penegakan hukum, kata dia, vonis yang dijatuhkan kepada Djoko Tjandra sudah melebihi dari tuntutan jaksa.
Oleh karena itu, lanjut dia, vonis tersebut memberikan suatu peringatan bagi penegak hukum yang menuntut terlalu rendah.
"Tuntutan jaksa penuntut umum 'kan 4 tahun. Itu (vonis tersebut, red.) artinya peringatan kepada penuntut umum untuk melakukan penuntutan yang betul-betul mencerminkan suatu bukti, mencerminkan suatu perkara yang sedang diperiksa, dan mencerminkan suatu kondisi Indonesia yang sedang gencar-gencarnya melakukan pemberantasan korupsi," katanya.
Kendati vonis yang dijatuhkan kepada Djoko Tjandra lebih tinggi daripada tuntutan jaksa, Hibnu mengatakan putusan tersebut masih jauh dari harapan masyarakat karena perkaranya bukan perkara biasa, melainkan berkaitan dengan penegak hukum yang notabene harus memberikan contoh kepada masyarakat.
Baca juga: Pakar hukum nilai Artidjo Alkostar merupakan sosok hakim berintegritas