Kudus (ANTARA) - Banjir yang sering melanda Kabupaten Kudus dan kabupaten sekitarnya menjadi indikasi upaya penanggulangan bencana alam belum maksimal sehingga perlu pengkajian ulang atas kebijakan penanganan bencana selama ini, kata Anggota DPRD Jateng Mawahib Afkar.

"Kami pastikan, pemerintah juga sudah menyiapkan regulasi dengan segenap konsiderasinya. Namun dalam praktiknya masih saja belum maksimal," ujar Anggota Komisi E DPRD Jateng itu menanggapi bencana banjir yang masih sering terjadi, di Kudus, Selasa.

Bahkan, kata dia, di Jateng bencana alam seperti banjir dan tanah longsor selalu saja menjadi tradisi rutin selain erupsi Merapi yang masih selalu mengintai. Untuk itu, harus dilakukan pengkajian ulang atas kebijakan secara mendesak untuk pemetaan skala prioritas.

Baca juga: Mulai berkurang, jumlah pengungsi akibat banjir di Kudus
Baca juga: 3 3.010 hektare tanaman padi di Kudus tergenang banjir

Apalagi, lanjut politikus Partai Golkar itu, saat keadaan memaksa senantiasa menjadi tanggung jawab bersama. Dalam hal ini pemerintah di semua tingkatan dan segenap pemangku kepentingan harus selalu hadir dengan penanganan tercepatnya.

Dalam dimensi skala prioritas ketika sudah terjadi bencana alam, secara agama adalah memelihara jiwa (hifdzun nafs) sehingga upaya penyelamatkan manusianya harus diutamakan baru yang lain.

Bencana banjir yang terjadi di Kabupaten Kudus dan sekitarnya pada awal tahun 2021, katanya, bertubi-tubi melanda disusul bencana tanah longsor di Kecamatan Gebog. Hulu hilir banjir selama ini selalu menjadi kegelisahan masyarakat yang terlintasi genangan banjir baik antardesa antarkecamatan maupun antarkota.

"Sudah saatnya penanganan banjir hulu sampai hilir menjadi skala prioritas kebijakan pembangunan dan langkah persuasif di semua tingkat pemerintah agar banjir terurai," ujar Mawahib Afkar yang juga aktivis GP Ansor.

Ia menganggap program desa tangguh bencana (Destana) sesuai Perka BNPB nomor 01/2012, belum tersosialisasi dengan baik hingga ke tingkat pemerintahan desa. Padahal program ini sangat baik, setidaknya resiko bencana di tingkat lokal bisa diminimalkan.

Sementara di Kabupaten Kudus juga sudah ada Perda Nomor 4/2011 dan Perbup Nomor 13/2015 tentang Pedoman Umum Penanganan Bencana. Diharapkan bisa mengarah ke fasilitasi pembentukan Destana yang hanya meliputi daerah-daerah yang menjadi hotspot bencana.

Perda kerja sama daerah dan kerja sama desa juga perlu dilaksanakan untuk memetakan klaster bencana dan memperkuat kebijakan mendesak terkait insfrastruktur irigasi, normalisasi sungai maupun pembuatan embung-embung kewilayahan. Pasalnya bencana banjir tidak berdiri sendiri karena semua ada hulu dan hilirnya.

Perusahaan-perusahaan besar juga diharapkan senantiasa bersinergi dengan pemerintah dalam pananganan bencana karena pemasukan perusahaan juga dari fasilitas publik yang menyerap tenaga kerja massal. Industri di Kabupaten Kudus yang berskala multinasional juga cukup banyak sehingga diharapkan turut serta dalam setiap penanganan bencana kemanusiaan.

"Menjadi ironi Tanggulangin yang menjadi maskot Gerbang Kota Kretek Kudus masih saja tergenang banjir. Yang terbaru justru bercampur limbah industri yang belum juga ada solusi nyata. Pemompaan yang harus dilakukan sedini mungkin demi meyelamatkan ribuan nyawa di pemukiman hanya sebatas pemandangan tradisi tahunan," ujarnya.

Untuk itu, dibutuhkan sinergisitas para pemangku kepentingan baik pemerintah, komponen masyarakat dan perusahaan-perusahaan dalam menangani secara cepat dan tepat. Bencana memang menjadi hukum alam, tetapi antisipasi bencana adalah tindakan mulia.

Baca juga: Ratusan korban banjir di Kudus bertahan di pengungsian

Pewarta : Akhmad Nazaruddin
Editor : Antarajateng
Copyright © ANTARA 2024