Purwokerto (ANTARA) - Di Kalimanah, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, dua warga yang rumahnya saling membelakangi dan hanya dibatasi oleh tembok, justru berseteru sejak tahun 2019.
Perseteruan yang dipicu oleh tiga kaleng cat tembok itu, mengakibatkan Sunyoto dan Pujiono tidak saling bertegur sapa selama dua tahun. Dalam hal ini, Pujiono yang telah bekerja pada Sunyoto selama tujuh tahun diketahui mengambil tiga kaleng cat tembok milik majikannya.
Bahkan, perseteruan antara keduanya pun makin memanas sehingga, Sunyoto akhirnya melaporkan Pujiono ke Kepolisian Sektor Kalimanah, Purbalingga, pada tanggal 6 Februari 2021.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolian Resor Purbalingga Inspektur Polisi Satu Gurbacov yang sedang melakukan analisis dan evaluasi kasus di Polsek Kalimanah, langsung meminta Unit Reskrim Kalimanah untuk segera menindakanjuti laporan Sunyoto tersebut.
Unit Reskrim Polsek Kalimanah mengundang para pihak guna bicara bersama-sama. Semua pihak dipertemukan pada malam hari, mulai sekitar pukul 18.30 WIB.
Pada awalnya sempat terjadi perdebatan, namun aparat kepolisian tidak kehilangan akal. Mereka menyampaikan bahwa semua itu dilakukan untuk mencari jalan terbaik guna memberikan keadilan kepada para pihak.
Jalan damai tampak di depan mata. Terlapor atas nama Pujiono akhirnya mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada Sunyoto. Akhirnya kedua belah pihak saling memaklumi dan dengan besar hati saling memaafkan hingga bersalaman.
Kedua belah pihak menyampaikan bahwa mereka sudah lama menantikan hubungan damai seperti ini, akan tetapi bingung siapa yang harus duluan menyapa, kata Kasatreskrim.
Setelah kedua belah pihak sepakat untuk membuat kesepakatan damai, Sunyoto pun akhirnya bersedia untuk mencabut laporannya. Alhasil perkara tersebut tidak perlu diselesaikan di pengadilan.
Upaya yang dilakukan untuk mendamaikan Sunyoto dan Pujiono itu sejalan dengan poin ketujuh dalam 8 Komitmen Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo, yakni mengedepankan pencegahan permasalahan pelaksanaan keadilan, restorative justice, dan problem solving.
Perseteruan yang terjadi antara Sunyoto dan Pujiono hanya segelintir kasus yang dipicu oleh permasalahan sepele. Masih banyak kasus-kasus serupa yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia.
Padahal, bangsa Indonesia selama ini dikenal guyub rukun dan mengedepankan musyawarah untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Lalu, apa yang sebenarnya terjadi pada bangsa Indonesia, sehingga permasalahan sepele akhirnya memicu perselisihan, perseteruan, atau keributan, baik perorangan maupun antarkelompok.
Sumbu pendek
Sosiolog dari Unversitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Dr Tri Wuryaningsih mengakui jika saat sekarang, sebagian masyarakat cenderung "bersumbu pendek", sehingga emosinya mudah terpancing oleh permasalahan-permasalahan yang sebenarnya sepele.
Hal ini karena masyarakat semakin dihadapkan pada persoalan yang sangat kompleks, sulit menemukan solusi. Selain itu ikatan-ikatan sosialnya mulai mengendur, sehingga orang itu cenderung merasa hidup masing-masing.
Oleh karena kondisi tersebut tidak mudah diselesaikan, sehingga orang cenderung emosional.
Perseteruan karena hal sepele sebenarnya dapat diredam jika ada peran dari tokoh-tokoh masyarakat yang masih bisa dipercaya dan dituruti perkataannya.
Tokoh masyarakat itu bisa mengambil peran di dalam mengembalikan ikatan-ikatan sosial dalam kehidupan masyarakat.
"Itu yang sebetulnya secara sosiologis penting, peran tokoh-tokoh itu yang kemudian mengembalikan kegiatan-kegiatan bersama, sehingga suasana kembali cair," kata perempuan yang akrab disapa Triwur itu.
Sementara dari sisi budaya, perseteruan atau perselisihan antarwarga maupun antarkelompok dinilai tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia, khususnya budaya Banyumas yang dikenal dengan cablaka atau apa adanya.
Budayawan Banyumas Ahmad Tohari mengatakan budaya cablaka itu sebenarnya berintikan rasa kebersamaan dan rasa kesetaraan. Itulah sebenarnya inti budaya Banyumas.
Akan tetapi jika budaya Banyumas itu terintrusi oleh budaya asing yang serba bersaing, budaya panginyongan dan cablaka tersebut bisa hilang.
Penulis novel trilogi "Ronggeng Dukuh Paruk" itu mengatakan tekanan faktor eksternal yang begitu tinggi dapat memengaruhi tradisi bangsa Indonesia
Oleh karena itu, perseteruan antarwarga seperti yang terjadi di Purbalingga maupun daerah lainnya merupakan bentuk penyimpangan dari tradisi budaya bangsa Indonesia khususnya Banyumas.
"Tradisi kita kan guyub rukun, bertetangga dengan baik, gotong royong, itu tradisi kita. Mengapa bisa menyimpang atau berubah? Menurut saya, karena masyarakat sekarang ini berada dalam kondisi stres yang serius," katanya.
Secara umum stres di bidang ekonomi, politik, dan kebudayaan di mana persaingan antarpribadi maupun antarkelompok tinggi sekali.
Kondisi tersebut menyebabkan banyak sekali orang yang tertekan. Termasuk para pemudanya, ujar pria yang akrab disapa Kang Tohari itu.
Menurut dia banyak pemuda yang seperti tidak melihat masa depan yang cerah tentang pekerjaan yang bisa didapat atau pendidikan yang bisa dicapai.
Kondisi yang tertekan atau stres menjadi penyebab utama dari pecahnya tradisi guyub rukun bangsa Indonesia.
Hal itu menjadi tugas para pemimpin untuk memberikan solusi, anjuran, atau pengajaran supaya bangsa Indonesia jangan sampai kehilangan tradisi guyub rukun.
"Segala persoalan yang terjadi sebaiknya dikembalikan kepada perasaan guyub rukun kita. Kalau guyub rukun kita dikedepankan, saya kira penyimpangan tradisi ini bisa dikembalikan lagi," katanya.
Restorative justice
Upaya yang dilakukan Polres Purbalingga dalam menyelesaikan perseteruan antarwarga, menurut pakar hukum dari Unsoed Purwokerto Prof Hibnu Nugroho merupakan bagian dari pendekatan restorative justice.
Dalam pedoman penerapan restorative justice di lingkungan peradilan umum, restorative justice merupakan alternatif penyelesaian tindak pidana yang dalam tata cara mekanisme peradilan pidana berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait, untuk bersama-sama menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku dengan mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat.
Restorative justice itu adalah suatu penyelesaian perkara dengan pemulihan keadaan si korban dan ditujukan untuk perkara-perkara para pihak, bukan merupakan perkara delik umum yang merugikan kepentingan umum.
Menurut Hibnu, dalam hal ini, para pihak tersebut terdapat pada kasus-kasus pencurian, penipuan, penggelapan, kekerasan dalam rumah tangga, dan sebagainya yang pelaku dan korbannya sudah jelas.
Pendekatan restorative justice dilakukan agar jangan sampai perkara tersebut masuk ke pengadilan yang berorientasi pada pidana penjara yang saat sekarang kondisinya sedang penuh atau daya tampungnya melebihi kapasitas.
Dengan demikian, kejelian dan kejernihan seorang anggota Polri dalam memahami suatu perkara itu sangat menentukan.
Hibnu menambahkan, masalah melaporkan itu hak setiap orang di era demokrasi dan keterbukaan. Namun demikian perlu melihat legal standing-nya dan kualitas perkaranya, apakah perkara ini bersinggungan antara pidana dan perdata ataukah pidana murni.
Jika pidana murni, harus diketahui siapa korbannya, berapa, dan alasannya apa. Polisi harus menggali terus perkembangannya, sehingga perkara dapat diselesaikan dengan pendekatan restorative justice.
Pendekatan restorative justice dapat menjadi langkah untuk mengurangi beban sistem peradilan pidana yang berorientasi pada pidana penjara.
Untuk mendorong penerapan tersebut, Kejaksaan Agung telah menerbitkan Peraturan Kejaksaan Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif pada Juli 2020.
Mahkamah Agung juga telah menerbitkan pedoman pelaksanaan keadilan restoratif yang tercantum dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum MA Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) yang ditandatangani 22 Desember 2020.
Perseteruan yang dipicu oleh tiga kaleng cat tembok itu, mengakibatkan Sunyoto dan Pujiono tidak saling bertegur sapa selama dua tahun. Dalam hal ini, Pujiono yang telah bekerja pada Sunyoto selama tujuh tahun diketahui mengambil tiga kaleng cat tembok milik majikannya.
Bahkan, perseteruan antara keduanya pun makin memanas sehingga, Sunyoto akhirnya melaporkan Pujiono ke Kepolisian Sektor Kalimanah, Purbalingga, pada tanggal 6 Februari 2021.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolian Resor Purbalingga Inspektur Polisi Satu Gurbacov yang sedang melakukan analisis dan evaluasi kasus di Polsek Kalimanah, langsung meminta Unit Reskrim Kalimanah untuk segera menindakanjuti laporan Sunyoto tersebut.
Unit Reskrim Polsek Kalimanah mengundang para pihak guna bicara bersama-sama. Semua pihak dipertemukan pada malam hari, mulai sekitar pukul 18.30 WIB.
Pada awalnya sempat terjadi perdebatan, namun aparat kepolisian tidak kehilangan akal. Mereka menyampaikan bahwa semua itu dilakukan untuk mencari jalan terbaik guna memberikan keadilan kepada para pihak.
Jalan damai tampak di depan mata. Terlapor atas nama Pujiono akhirnya mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada Sunyoto. Akhirnya kedua belah pihak saling memaklumi dan dengan besar hati saling memaafkan hingga bersalaman.
Kedua belah pihak menyampaikan bahwa mereka sudah lama menantikan hubungan damai seperti ini, akan tetapi bingung siapa yang harus duluan menyapa, kata Kasatreskrim.
Setelah kedua belah pihak sepakat untuk membuat kesepakatan damai, Sunyoto pun akhirnya bersedia untuk mencabut laporannya. Alhasil perkara tersebut tidak perlu diselesaikan di pengadilan.
Upaya yang dilakukan untuk mendamaikan Sunyoto dan Pujiono itu sejalan dengan poin ketujuh dalam 8 Komitmen Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo, yakni mengedepankan pencegahan permasalahan pelaksanaan keadilan, restorative justice, dan problem solving.
Perseteruan yang terjadi antara Sunyoto dan Pujiono hanya segelintir kasus yang dipicu oleh permasalahan sepele. Masih banyak kasus-kasus serupa yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia.
Padahal, bangsa Indonesia selama ini dikenal guyub rukun dan mengedepankan musyawarah untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Lalu, apa yang sebenarnya terjadi pada bangsa Indonesia, sehingga permasalahan sepele akhirnya memicu perselisihan, perseteruan, atau keributan, baik perorangan maupun antarkelompok.
Sumbu pendek
Sosiolog dari Unversitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Dr Tri Wuryaningsih mengakui jika saat sekarang, sebagian masyarakat cenderung "bersumbu pendek", sehingga emosinya mudah terpancing oleh permasalahan-permasalahan yang sebenarnya sepele.
Hal ini karena masyarakat semakin dihadapkan pada persoalan yang sangat kompleks, sulit menemukan solusi. Selain itu ikatan-ikatan sosialnya mulai mengendur, sehingga orang itu cenderung merasa hidup masing-masing.
Oleh karena kondisi tersebut tidak mudah diselesaikan, sehingga orang cenderung emosional.
Perseteruan karena hal sepele sebenarnya dapat diredam jika ada peran dari tokoh-tokoh masyarakat yang masih bisa dipercaya dan dituruti perkataannya.
Tokoh masyarakat itu bisa mengambil peran di dalam mengembalikan ikatan-ikatan sosial dalam kehidupan masyarakat.
"Itu yang sebetulnya secara sosiologis penting, peran tokoh-tokoh itu yang kemudian mengembalikan kegiatan-kegiatan bersama, sehingga suasana kembali cair," kata perempuan yang akrab disapa Triwur itu.
Sementara dari sisi budaya, perseteruan atau perselisihan antarwarga maupun antarkelompok dinilai tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia, khususnya budaya Banyumas yang dikenal dengan cablaka atau apa adanya.
Budayawan Banyumas Ahmad Tohari mengatakan budaya cablaka itu sebenarnya berintikan rasa kebersamaan dan rasa kesetaraan. Itulah sebenarnya inti budaya Banyumas.
Akan tetapi jika budaya Banyumas itu terintrusi oleh budaya asing yang serba bersaing, budaya panginyongan dan cablaka tersebut bisa hilang.
Penulis novel trilogi "Ronggeng Dukuh Paruk" itu mengatakan tekanan faktor eksternal yang begitu tinggi dapat memengaruhi tradisi bangsa Indonesia
Oleh karena itu, perseteruan antarwarga seperti yang terjadi di Purbalingga maupun daerah lainnya merupakan bentuk penyimpangan dari tradisi budaya bangsa Indonesia khususnya Banyumas.
"Tradisi kita kan guyub rukun, bertetangga dengan baik, gotong royong, itu tradisi kita. Mengapa bisa menyimpang atau berubah? Menurut saya, karena masyarakat sekarang ini berada dalam kondisi stres yang serius," katanya.
Secara umum stres di bidang ekonomi, politik, dan kebudayaan di mana persaingan antarpribadi maupun antarkelompok tinggi sekali.
Kondisi tersebut menyebabkan banyak sekali orang yang tertekan. Termasuk para pemudanya, ujar pria yang akrab disapa Kang Tohari itu.
Menurut dia banyak pemuda yang seperti tidak melihat masa depan yang cerah tentang pekerjaan yang bisa didapat atau pendidikan yang bisa dicapai.
Kondisi yang tertekan atau stres menjadi penyebab utama dari pecahnya tradisi guyub rukun bangsa Indonesia.
Hal itu menjadi tugas para pemimpin untuk memberikan solusi, anjuran, atau pengajaran supaya bangsa Indonesia jangan sampai kehilangan tradisi guyub rukun.
"Segala persoalan yang terjadi sebaiknya dikembalikan kepada perasaan guyub rukun kita. Kalau guyub rukun kita dikedepankan, saya kira penyimpangan tradisi ini bisa dikembalikan lagi," katanya.
Restorative justice
Upaya yang dilakukan Polres Purbalingga dalam menyelesaikan perseteruan antarwarga, menurut pakar hukum dari Unsoed Purwokerto Prof Hibnu Nugroho merupakan bagian dari pendekatan restorative justice.
Dalam pedoman penerapan restorative justice di lingkungan peradilan umum, restorative justice merupakan alternatif penyelesaian tindak pidana yang dalam tata cara mekanisme peradilan pidana berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait, untuk bersama-sama menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku dengan mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan mengembalikan pola hubungan baik dalam masyarakat.
Restorative justice itu adalah suatu penyelesaian perkara dengan pemulihan keadaan si korban dan ditujukan untuk perkara-perkara para pihak, bukan merupakan perkara delik umum yang merugikan kepentingan umum.
Menurut Hibnu, dalam hal ini, para pihak tersebut terdapat pada kasus-kasus pencurian, penipuan, penggelapan, kekerasan dalam rumah tangga, dan sebagainya yang pelaku dan korbannya sudah jelas.
Pendekatan restorative justice dilakukan agar jangan sampai perkara tersebut masuk ke pengadilan yang berorientasi pada pidana penjara yang saat sekarang kondisinya sedang penuh atau daya tampungnya melebihi kapasitas.
Dengan demikian, kejelian dan kejernihan seorang anggota Polri dalam memahami suatu perkara itu sangat menentukan.
Hibnu menambahkan, masalah melaporkan itu hak setiap orang di era demokrasi dan keterbukaan. Namun demikian perlu melihat legal standing-nya dan kualitas perkaranya, apakah perkara ini bersinggungan antara pidana dan perdata ataukah pidana murni.
Jika pidana murni, harus diketahui siapa korbannya, berapa, dan alasannya apa. Polisi harus menggali terus perkembangannya, sehingga perkara dapat diselesaikan dengan pendekatan restorative justice.
Pendekatan restorative justice dapat menjadi langkah untuk mengurangi beban sistem peradilan pidana yang berorientasi pada pidana penjara.
Untuk mendorong penerapan tersebut, Kejaksaan Agung telah menerbitkan Peraturan Kejaksaan Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif pada Juli 2020.
Mahkamah Agung juga telah menerbitkan pedoman pelaksanaan keadilan restoratif yang tercantum dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum MA Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) yang ditandatangani 22 Desember 2020.