Semarang (ANTARA) - Sejumlah desainer muda asal Jawa Tengah rela melepas penghasilan besar demi mewujudkan mimpi menjadi perancang busana, salah satunya Ferry Setiawan.

Saat mengisi acara Dinas Koperasi UKM Jawa Tengah "UKM Virtual Expo" di Semarang, Jumat, Ferry mengatakan awalnya bekerja sebagai awak di salah satu kapal pesiar. Dari pekerjaan tersebut, pria asal Kota Semarang ini setiap bulan memperoleh pendapatan sekitar 5.000-6.000 dolar Amerika Serikat (AS).

"Saya bekerja di kapal pesiar selama empat tahun, sering keluar negeri tetapi saya merasa otak saya 'nggak' berkembang," katanya.

Baca juga: Anna Avantie berbagi kisah sukses di UKM Virtual Expo
Baca juga: Fokuskan fesyen, 152 toko online Jateng ramaikan UKM Virtual Expo II

Hingga suatu hari, saat kembali ke Semarang dia berkenalan dengan salah satu desainer lokal. Dari perkenalan tersebut dia belajar tentang desain.

"Lama-lama saya merasa ini 'passion' saya, terus akhirnya memutuskan tidak naik kapal pesiar lagi," katanya.

Meski demikian, konsekuensi dari keputusan tersebut tidak mudah karena selama dia bekerja pada desainer tersebut hanya memperoleh upah sebesar Rp250.000/bulan.

"Tetapi tetap saya tekuni. Setahun kemudian saya pindah ke Jakarta ikut desainer juga terus kerja di salah satu stasiun televisi mengurusi 'wardrobe' artis untuk keperluan 'syuting'. Meski hanya beberapa bulan tetapi ini cukup mengasah saya di bidang fashion," katanya.

Sampai kemudian dia kembali ke Semarang dan mulai menerima permintaan desain baju oleh sejumlah teman dan kerabat.

"Salah satunya adalah baju pengantin karena saya memang lebih ke baju pengantin. Setelah itu saya menjahitkan ke penjahit langganan saya, awalnya satu dua sampai kemudian saya kewalahan, akhirnya saya meng'hire' (mempekerjakan) beberapa karyawan," katanya.

Ia yang dulu hanya melemparkan jahitan ke tempat lain saat ini berhasil memiliki 35 penjahit.

Perjalanan yang sama juga dialami oleh desainer Indria Aryanto pemilik Khazanah Cilacap. Wanita asal Kabupaten Klaten ini mengaku tidak memiliki dasar ilmu sebagai seorang perancang busana.

Bahkan, dulunya wanita tersebut adalah seorang pegawai salah satu perusahaan di BUMN. Meski demikian, karena merasa pekerjaan tersebut tidak sesuai dengan keinginan, akhirnya dia memutuskan untuk berhenti.

"'Basic' saya sekolah di jurusan ekonomi tetapi memang saya sudah terbiasa dengan 'fashion' sejak kecil. Nenek saya adalah seorang penenun, setiap hari saya melihat beliau maupun pekerjanya menenun dan melakukan pewarnaan," katanya.

Ia mengatakan apa yang dilakukan oleh neneknya pada saat itu memberikan inspirasi, yaitu dari material yang berkualitas biasa, ternyata perajin bisa menjadikannya luar biasa.

"PR saya di situ, 'value'-nya ada. Saya pernah menggunakan bahan rumput dijadikan benang, ini membuat saya ketagihan berekspresi. Desain saya juga kami buat dengan sistem 'handmade', batik pun lebih ke pewarna alam, sedangkan yang tenun dikombinasikan dengan ecoprint," katanya.

Baca juga: Jateng mulai bangkitkan fesyen dimulai dari Batik Lasem
Baca juga: 2.595 produk fesyen ramaikan UKM Virtual Expo II

Pewarta : Aris Wasita
Editor : Mahmudah
Copyright © ANTARA 2024