Semarang (ANTARA) - Pakar keamanan siber dan komunikasi CISSReC Doktor Pratama Persadha mengatakan peran buzzer pada masa kampanye pemilihan kepala daerah yang akan berakhir 5 Desember 2020, antara lain 'menggoreng' isu untuk kepentingan kontestan bersangkutan.
Dalam kondisi pandemik COVID-19, kata Pratama Persadha, buzzer atau pendengung memang sangat dibutuhkan oleh pasangan calon, apalagi para peserta Pilkada 2020 makin kesulitan untuk turun ke lapangan langsung menyapa masyarakat.
"Artinya, buzzing atau mendengungkan isu dari timses lewat medsos dan platform lain di internet sangat dibutuhkan keberadaan-nya," kata Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi CISSReC ini menjawab pertanyaan ANTARA di Semarang melalui melalui percakapan WhatsApp, Selasa malam.
Pratama yang pernah sebagai Ketua Tim Lembaga Sandi Negara (sekarang BSSN) Pengamanan Teknologi Informasi (TI) KPU pada Pemilu 2014 lantas menyebutkan kegiatan buzzer meliputi kampanye positif, kampanye negatif terhadap lawan, bahkan juga ada operasi untuk mengangkat black campaign (kampanye hitam).
Oleh karena itu, lanjut Pratama, Komisi Pemilihan Umum membatasi gerak pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah di media sosial dengan melarang adanya iklan politik lewat medsos meskipun hal ini sulit dicegah, terutama jika timses kontestan menggunakan akun nonpolitik untuk beriklan.
Ia mencontohkan Facebook yang membatasi iklan politik dengan mewajibkan pengiklan menyertakan nomor induk kependudukan (NIK) dan nomor pokok wajib pajak (NPWP). Tanpa meng-input data tersebut pengiklan tidak bisa mengakses dashboard dan fitur iklan di Facebook maupun Instagram.
Terkait dengan seberapa efektif peran buzzer di media sosial untuk menaikkan tingkat keterpilihan peserta pilkada, menurut Pratama, untuk masyarakat perkotaan sangat efektif dalam men-drive isu.
Namun yang perlu diketahui, kata Pratama, buzzer tidak selalu seperti akun triomacan2000, tetapi juga bisa dilakukan oleh para artis maupun orang yang punya nama di media sosial.
"Ada pesan yang dituju dalam setiap kegiatan ataupun postingan mereka sesuai dengan kesepakatan dengan klien," kata pria kelahiran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini.
Menyinggung soal buzzer anonim, Pratama mengatakan bahwa mereka tidak selalu melakukan kerja-kerja negatif. Bahkan, banyak yang sebatas melakukan share ulang maupun melakukan retweet, kemudian banyak pula buzzer untuk menambah engagement, seperti melakukan komentar maupun likes.
Menjawab soal pelacakan terhadap akun anonim, menurut Pratama, nisbi mudah dilacak dan dipetakan karena biasanya aktivitas mereka bertautan dengan akun-akun lain yang masih satu kelompok. Mereka ini biasanya memiliki banyak klien yang berbeda sehingga lebih mudah ditelusuri dari sisi klien.
"Artinya, untuk tahu siapa pemilik akun nisbi mudah, apalagi jika mereka tidak menggunakan VPN (virtual private network) atau jaringan pribadi virtual dalam aksinya," tutur Pratama.
Baca juga: "Buzzer" belum diatur, Perludem: PKPU perlu lebih progresif
Baca juga: Awal Keterlibatan Buzzer dalam Peristiwa Politik Saat Pemilihan Gubernur DKI 2012
Dalam kondisi pandemik COVID-19, kata Pratama Persadha, buzzer atau pendengung memang sangat dibutuhkan oleh pasangan calon, apalagi para peserta Pilkada 2020 makin kesulitan untuk turun ke lapangan langsung menyapa masyarakat.
"Artinya, buzzing atau mendengungkan isu dari timses lewat medsos dan platform lain di internet sangat dibutuhkan keberadaan-nya," kata Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi CISSReC ini menjawab pertanyaan ANTARA di Semarang melalui melalui percakapan WhatsApp, Selasa malam.
Pratama yang pernah sebagai Ketua Tim Lembaga Sandi Negara (sekarang BSSN) Pengamanan Teknologi Informasi (TI) KPU pada Pemilu 2014 lantas menyebutkan kegiatan buzzer meliputi kampanye positif, kampanye negatif terhadap lawan, bahkan juga ada operasi untuk mengangkat black campaign (kampanye hitam).
Oleh karena itu, lanjut Pratama, Komisi Pemilihan Umum membatasi gerak pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah di media sosial dengan melarang adanya iklan politik lewat medsos meskipun hal ini sulit dicegah, terutama jika timses kontestan menggunakan akun nonpolitik untuk beriklan.
Ia mencontohkan Facebook yang membatasi iklan politik dengan mewajibkan pengiklan menyertakan nomor induk kependudukan (NIK) dan nomor pokok wajib pajak (NPWP). Tanpa meng-input data tersebut pengiklan tidak bisa mengakses dashboard dan fitur iklan di Facebook maupun Instagram.
Terkait dengan seberapa efektif peran buzzer di media sosial untuk menaikkan tingkat keterpilihan peserta pilkada, menurut Pratama, untuk masyarakat perkotaan sangat efektif dalam men-drive isu.
Namun yang perlu diketahui, kata Pratama, buzzer tidak selalu seperti akun triomacan2000, tetapi juga bisa dilakukan oleh para artis maupun orang yang punya nama di media sosial.
"Ada pesan yang dituju dalam setiap kegiatan ataupun postingan mereka sesuai dengan kesepakatan dengan klien," kata pria kelahiran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini.
Menyinggung soal buzzer anonim, Pratama mengatakan bahwa mereka tidak selalu melakukan kerja-kerja negatif. Bahkan, banyak yang sebatas melakukan share ulang maupun melakukan retweet, kemudian banyak pula buzzer untuk menambah engagement, seperti melakukan komentar maupun likes.
Menjawab soal pelacakan terhadap akun anonim, menurut Pratama, nisbi mudah dilacak dan dipetakan karena biasanya aktivitas mereka bertautan dengan akun-akun lain yang masih satu kelompok. Mereka ini biasanya memiliki banyak klien yang berbeda sehingga lebih mudah ditelusuri dari sisi klien.
"Artinya, untuk tahu siapa pemilik akun nisbi mudah, apalagi jika mereka tidak menggunakan VPN (virtual private network) atau jaringan pribadi virtual dalam aksinya," tutur Pratama.
Baca juga: "Buzzer" belum diatur, Perludem: PKPU perlu lebih progresif
Baca juga: Awal Keterlibatan Buzzer dalam Peristiwa Politik Saat Pemilihan Gubernur DKI 2012