Magelang (ANTARA) - Penggunaan dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT) seharusnya lebih fokus untuk petani dan buruh tembakau, kata Ketua Muhammadiyah Tobacco Control Center (MTTC) Universitas Muhammadiyah Magelang (Unimma) Retno Rusdjijati.
"MTCC Unimma sebagai organisasi yang concern pada kesejahteraan petani berupaya untuk menyuarakan aspirasi petani di tengah polemik cukai," kata Retno dalam konferensi pers di Magelang, Jateng, Jumat.
Ia menyampaikan dari petani dampingan MTCC Unimma yang tergabung dalam forum petani multikultur, pihaknya menganalisis masalah cukai dari perspektif alokasi pemanfaatan DBHCHT.
Mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7 tahun 2020, alokasi DBHCHT tersebut digunakan dalam lima kegiatan, meliputi peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi kebutuhan di bidang cukai, dan pemberantasan barang cukai ilegal.
Menurut dia, DBHCHT seharusnya kembali pada pemangku kepentingan dan peruntukannya lebih fokus untuk petani dan buruh tembakau.
"Oleh karena itu, para petani memberi dukungan pada kenaikan cukai rokok dengan tuntutan bahwa semestinya pemerintah merumuskan rencana strategis yang berbasis kesejahteraan petani, tidak semata menonjolkan peran industri hasil tembakau," katanya.
Ia menuturkan berdasarkan fakta sampai saat ini petani tembakau selalu dalam pihak yang dirugikan, bahkan harga tembakau tahun 2020 dinyatakan petani sebagai harga terburuk selama 10 tahun terakhir.
Demikian juga petani multikultur, harga panen sayuran berbagai jenis sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa belum ada dukungan kebijakan yang sinergis untuk peningkatan kesejahteraan petani.
Retno menyitir pendapat peneliti dari Center for Health Economics and Healt Policy Hasbullah Thabrany menyarankan pemerintah mengalokasikan 5-10 persen pendapatan cukai rokok untuk program pendampingan petani tembakau beralih profesi.
Kebijakan itu bisa selaras dengan keinginan pemerintah untuk menurunkan konsumsi rokok seperti yang dilakukan negara-negara di dunia.
Dicontohkan, jika rata-rata pendapatan negara dari cukai rokok per tahun sekitar Rp140 triliun, maka setidaknya Rp14 triliun bisa dialokasikan untuk program pendampingan petani.
Dana tersebut bisa dialokasikan untuk Kementerian Pertanian sebagai lembaga negara yang langsung membina petani. Selain itu, dana tersebut juga bisa digunakan untuk bantuan manajemen petani dalam membudidayakan komoditas yang berpeluang ekspor.
"Pemerintah semestinya mengakomodasi kebijakan tersebut dalam aturan yang memprioritaskan kebutuhan petani. Tidak hanya berkisar pada pemberian pupuk atau bibit pada awal tanam," katanya.
"MTCC Unimma sebagai organisasi yang concern pada kesejahteraan petani berupaya untuk menyuarakan aspirasi petani di tengah polemik cukai," kata Retno dalam konferensi pers di Magelang, Jateng, Jumat.
Ia menyampaikan dari petani dampingan MTCC Unimma yang tergabung dalam forum petani multikultur, pihaknya menganalisis masalah cukai dari perspektif alokasi pemanfaatan DBHCHT.
Mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7 tahun 2020, alokasi DBHCHT tersebut digunakan dalam lima kegiatan, meliputi peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi kebutuhan di bidang cukai, dan pemberantasan barang cukai ilegal.
Menurut dia, DBHCHT seharusnya kembali pada pemangku kepentingan dan peruntukannya lebih fokus untuk petani dan buruh tembakau.
"Oleh karena itu, para petani memberi dukungan pada kenaikan cukai rokok dengan tuntutan bahwa semestinya pemerintah merumuskan rencana strategis yang berbasis kesejahteraan petani, tidak semata menonjolkan peran industri hasil tembakau," katanya.
Ia menuturkan berdasarkan fakta sampai saat ini petani tembakau selalu dalam pihak yang dirugikan, bahkan harga tembakau tahun 2020 dinyatakan petani sebagai harga terburuk selama 10 tahun terakhir.
Demikian juga petani multikultur, harga panen sayuran berbagai jenis sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa belum ada dukungan kebijakan yang sinergis untuk peningkatan kesejahteraan petani.
Retno menyitir pendapat peneliti dari Center for Health Economics and Healt Policy Hasbullah Thabrany menyarankan pemerintah mengalokasikan 5-10 persen pendapatan cukai rokok untuk program pendampingan petani tembakau beralih profesi.
Kebijakan itu bisa selaras dengan keinginan pemerintah untuk menurunkan konsumsi rokok seperti yang dilakukan negara-negara di dunia.
Dicontohkan, jika rata-rata pendapatan negara dari cukai rokok per tahun sekitar Rp140 triliun, maka setidaknya Rp14 triliun bisa dialokasikan untuk program pendampingan petani.
Dana tersebut bisa dialokasikan untuk Kementerian Pertanian sebagai lembaga negara yang langsung membina petani. Selain itu, dana tersebut juga bisa digunakan untuk bantuan manajemen petani dalam membudidayakan komoditas yang berpeluang ekspor.
"Pemerintah semestinya mengakomodasi kebijakan tersebut dalam aturan yang memprioritaskan kebutuhan petani. Tidak hanya berkisar pada pemberian pupuk atau bibit pada awal tanam," katanya.