Jakarta (ANTARA) - Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri menyoroti wacana pembentukan Dewan Moneter untuk membantu pemerintah dan Bank Indonesia (BI) dalam merencanakan dan menetapkan kebijakan moneter.
“Rencananya DPR hendak mengubah Undang-Undang (UU) tentang Bank Indonesia. Akan dibentuk Dewan Moneter diketuai oleh Menteri Keuangan sehingga BI menjadi subordinasi dari pemerintah,” kata Faisal Basri dalam diskusi daring di Jakarta, Kamis.
Faisal mengatakan revisi Undang Undang Nomor 23 Tahun1999 tentang Bank Indonesia sebagai respons atas pelambatan ekonomi akibat pandemi COVID-19, bertentangan dengan UUD 1945 pasal 23D.
UUD 1945 pasal 23D menyebutkan negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur oleh UU.
Hal itu kemudian diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 1999 pasal 4 ayat 2 yaitu Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan pemerintah dan atau pihak-pihak lainnya, kecuali hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini.
Faisal menuturkan DPR memiliki pemahaman yang salah dalam memberi respons terhadap krisis yang diakibatkan oleh pandemi COVID-19 karena sebenarnya sektor keuangan masih berada pada kondisi yang baik.
“Apa salahnya moneter ini? Semua kita lihat tadi kan enggak ada salah moneter karena yang salah tax ratio kecil, turun terus, gagal menarik pajak dari sektor ekonomi yang terus tumbuh,” kata Faisal Basri.
Faisal menyarankan agar DPR dapat fokus pada upaya-upaya pemerintah dalam menangani COVID-19 karena akan memberikan dampak berantai pada berbagai sektor dan pertumbuhan ekonomi.
“Sektor-sektor lain tidak semakin buruk kalau COVID-19 nya bisa diselesaikan dengan cepat,” tegas Faisal Basri.
Ia menegaskan semakin cepatnya pemerintah memberi kepastian terkait berakhirnya COVID-19 maka akan semakin cepat juga masyarakat menggunakan uangnya untuk melakukan konsumsi.
Ia menyebutkan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) di perbankan masih sangat tinggi yaitu 8 persen yang mengindikasikan bahwa masyarakat lebih banyak menabung untuk berjaga-jaga daripada melakukan konsumsi.
“Itu karena masyarakat menghadapi ketidakpastian selesainya COVID-19. Masalahnya di fiskal dan kementerian teknis, tapi ini moneter yang diobok-obok solusinya,” kata Faisal.
“Rencananya DPR hendak mengubah Undang-Undang (UU) tentang Bank Indonesia. Akan dibentuk Dewan Moneter diketuai oleh Menteri Keuangan sehingga BI menjadi subordinasi dari pemerintah,” kata Faisal Basri dalam diskusi daring di Jakarta, Kamis.
Faisal mengatakan revisi Undang Undang Nomor 23 Tahun1999 tentang Bank Indonesia sebagai respons atas pelambatan ekonomi akibat pandemi COVID-19, bertentangan dengan UUD 1945 pasal 23D.
UUD 1945 pasal 23D menyebutkan negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur oleh UU.
Hal itu kemudian diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 1999 pasal 4 ayat 2 yaitu Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan pemerintah dan atau pihak-pihak lainnya, kecuali hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini.
Faisal menuturkan DPR memiliki pemahaman yang salah dalam memberi respons terhadap krisis yang diakibatkan oleh pandemi COVID-19 karena sebenarnya sektor keuangan masih berada pada kondisi yang baik.
“Apa salahnya moneter ini? Semua kita lihat tadi kan enggak ada salah moneter karena yang salah tax ratio kecil, turun terus, gagal menarik pajak dari sektor ekonomi yang terus tumbuh,” kata Faisal Basri.
Faisal menyarankan agar DPR dapat fokus pada upaya-upaya pemerintah dalam menangani COVID-19 karena akan memberikan dampak berantai pada berbagai sektor dan pertumbuhan ekonomi.
“Sektor-sektor lain tidak semakin buruk kalau COVID-19 nya bisa diselesaikan dengan cepat,” tegas Faisal Basri.
Ia menegaskan semakin cepatnya pemerintah memberi kepastian terkait berakhirnya COVID-19 maka akan semakin cepat juga masyarakat menggunakan uangnya untuk melakukan konsumsi.
Ia menyebutkan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) di perbankan masih sangat tinggi yaitu 8 persen yang mengindikasikan bahwa masyarakat lebih banyak menabung untuk berjaga-jaga daripada melakukan konsumsi.
“Itu karena masyarakat menghadapi ketidakpastian selesainya COVID-19. Masalahnya di fiskal dan kementerian teknis, tapi ini moneter yang diobok-obok solusinya,” kata Faisal.