Semarang (ANTARA) - Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat menegaskan
pentingnya dukungan semua elemen masyarakat untuk melahirkan UU Penghapusan Kekerasan Seksual, agar dapat mewujudkan lingkungan yang aman dan nyaman, bebas dari kekerasan seksual.

"Di saat ini hukum tidak mampu lagi menjangkau pemulihan korban kekerasan seksual dari traumanya. Bahkan, korban-korban kekerasan seksual dibiarkan menyelesaikan masalahnya sendiri, saya kira perlu adanya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual," kata Lestari Moerdijat dalam keterangan tertulis yang diterima di Semarang, Rabu.

Pernyataan Lestari tersebut menanggapi hasil diskusi daring bertema Tarik Ulur RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang digelar Forum Diskusi Denpasar12 bekerja sama dengan DPP Partai NasDem Koordinator Bidang Kebijakan Publik dan Isu Strategis, Rabu (8/7).

Dalam diskusi yang dipandu Arimbi Heroepoetri, L.LM (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu, menghadirkan narasumber Taufik Basyari (Komisi III DPR RI Periode 2019 - 2024), Dr. Livia Iskandar (Wakil Ketua LPSK RI), dan Sri Wiyanti Eddyono, Ph.D (dosen dan Ketua Law Gender and Society (LGS) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

Hadir sebagai panelis dalam diskusi tersebut, 
Dr. Atang Irawan (pakar hukum tata negara Universitas Pasundan) dan Justina Rostiawati (Ketua  Presidium DPP WKRI, Komisioner Komnas Perempuan Periode 2007-2014).

Pada kesempatan itu, menurut Rerie, sapaan akrab Lestari, dengan kondisi masyarakat yang rawan mengalami kekerasan seksual penting lahir sebuah undang-undang yang mengatur secara komprehensif sejumlah upaya untuk menekan terjadinya korban kekerasan seksual.

Pengaturan dalam undang-undang tersebut, tambah legislator Partai NasDem itu, mencakup upaya pencegahan, penanganan, penindakan, sampai pemulihan.

"Upaya lahirnya UU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah bentuk nyata tanggung jawab negara untuk melindungi warga," tegas Rerie.

Dalam diskusi tersebut baik Wakil Ketua LPSK RI,  Livia Iskandar dan Ketua Law Gender and Society (LGS) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Sri Wiyanti Eddyono, mengungkapkan adanya peningkatan kasus kekerasan seksual pada 2018-2019.

Data Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyebutkan dari 3.365 kasus pada 2018-2019 yang memohon perlindungan, 400 hingga 500 kasus terkait kekerasan seksual.

Sementara itu, Komnas Perempuan mencatat pada 2018 menerima laporan 406.178 kasus dan pada 2019 menerima laporan 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan yang sebagian besar merupakan kekerasan seksual.

Selain itu, menurut Sri Wiyanti, saat ini ada kekosongan perlindungan hukum terhadap korban kekerasan seksual. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tambah dia, tidak berorientasi kepada hak korban, tetapi terhadap tersangka/terdakwa.

"RUU Penghapusan Kekerasan Seksual hadir sebagai afirmasi terhadap kesenjangan hukum dalam perlindungan korban dan upaya pemanusiaan yang bermartabat," ujarnya.

Saat ini proses pengajuan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ke dalam Prolegnas 2020 DPR RI, terganjal aturan administratif pengajuan usulan. 

Taufik Basari, anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai NasDem menegaskan Fraksi Partai NasDem akan terus mengawal RUU Penghapusan Kekerasan Seksual untuk menjadi undang-undang.

 "Upaya-upaya lobi antarfraksi akan terus kami lakukan untuk mengegolkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi undang-undang," demikian Taufik Basari. ***

Pewarta : Zaenal
Editor : Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024