Magelang (ANTARA) - Hari Pers Nasional (HPN) jatuh setiap 9 Februari. Di Kota Magelang peringatan itu tak hanya dilakukan insan pers yang bertugas di daerah itu.
Sekelompok masyarakat di luar persuratkabaran ikut merayakan HPN, sebagaimana sejak beberapa tahun terakhir Padepokan Gunung Tidar di Kampung Potrosaran, Kelurahan Potrobangsan, Kecamatan Magelang Utara pimpinan penyair Kota Magelang Es Wibowo, melakukannya.
Pada Rabu (5/2) lalu, mereka mengemas peringatan HPN 2020 melalui kirab budaya dan pentas seni. Mereka yang terlibat acara itu, antara lain pemuda, pelajar, mahasiswa, dan warga setempat. Sejumlah pejabat hadir. Tentu saja kalangan pers Kota Magelang hadir, terlibat, dan melakukan peliputan.
Es Wibowo mengemukakan warga memperingati HPN karena menyadari pentingnya kehadiran pers bagi perkembangan dan kemajuan bangsa.
Pers membuat penerbitan media massa secara berkala. Secara etimologis, kata "pers" (bahasa Belanda), "press" (Inggris), atau "presse" (Prancis) berasal dari bahasa Latin, "perssare" dari kata "premere", yang berarti “tekan” atau “cetak”. Definisi terminologisnya “media massa cetak”.
Menengok sejarah, pada 9 Februari 1946, atas prakarsa beberapa wartawan yang mengadakan Kongres Wartawan di Solo, dibentuk Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Dalam kongres itu, Sumanang terpilih sebagai ketua PWI yang pertama. Peristiwa pembentukan PWI ini dijadikan patokan HPN.
Meski kota kecil, Magelang memiliki jejak sejarah perkembangan persuratkabaran. Sebagai basis militer di Jawa bagian tengah, Magelang menjadi kota penting. Tercatat pada 1930, orang Eropa yang tinggal di kota yang kala itu berjuluk “de Tuin van Java” itu, sejumlah 4.189 jiwa. Angka terbanyak urutan kesembilan di wilayah Hindia Belanda.
Sejak pertengahan abad ke-18, Belanda memperkenalkan penerbitan surat kabar di Indonesia. Pemerintah mengekang pertumbuhan pers meskipun penerbitnya orang-orang Belanda. Surat kabar pertama di Hindia Belanda adalah Bataviase Nouvelles, terbit pada Agustus 1744 dan tutup pada Juni 1746.
Baca juga: Hari Pers di Magelang diwarnai kirab budaya
Pada 1855, di Surakarta terbit surat kabar pertama berbahasa Jawa, yaitu Bromartani, sedangkan surat kabar pertama berbahasa Melayu adalah Soerat Chabar Bahasa Melajoe pada 1856 di Surabaya. Selanjutnya, ada Soerat Chabar Betawi di Jakarta (1858), Selompret Melajoe di Semarang (1860), Bintang Timoer di Surabaya (1862), dan Djoeroe Martani di Surakarta (1864).
Beberapa surat kabar pernah terbit di Magelang pada era 1917-1948. Pangkal Kemadjoean terbit dwimingguan. Koran ini didirikan pada 1917 oleh sejumlah prajurit militer asal Minahasa yang bertugas di Magelang, yang berhimpun dalam Perserikatan Minahasa (PM).
Surat kabar ini menghidupi diri dengan membuka ruang iklan. Tarifnya cukup tinggi, 1,5 sen, untuk satu perkataan, tetapi tidak boleh kurang dari satu gulden. Untuk masyarakat umum yang ingin berlangganan dikenakan tarif lima gulden per tahun, sedangkan kalangan militer mendapat potongan biaya pemasangan iklan menjadi empat gulden.
Koran dengan jargon “Soeara Kaoem Minahasa, Kepoelaoean Sangir dan lain-lain Pendoedoek dalam Karesidenan Manado” ini, senantiasa menyiarkan berita-berita seputar Minahasa dan terutama perkembangan PM.
Teddy Harnawan dalam skripsinya berjudul "Di Bawah Bayang-bayang Modernitas: Orang-orang Indo di Kota Magelang (1906-1942)" menuliskan pada era 1930-an di Magelang terbit Mardi Hoetomo, Mardirahardja, dan De Zaaier.
Surat kabar itu bersaing dengan banyak surat kabar harian terbitan kota-kota besar yang lebih populer dan diminati pembaca, seperti De Locomotief, yang membuka agen di Grooteweg Noord Pontjol (sekarang Jln. Ahmad Yani di kawasan Poncol).
Baca juga: Wali kota: Pers berperan vital kawal pembangunan
Sayangnya, surat kabar tersebut kurang mempresentasikan kondisi Magelang sebagai objek kajian. Agen koran De Locomotief di Magelang dipegang H.J. Sjouke.
Surat kabar Mardi Hoetomo yang terbit pada 1922, didirikan seorang pribumi dengan kantor pusat di Muntilan. Pendirinya bernama Mardi Hoetomo, mantan aktivis perhimpunan politik.
Dengan biaya dan kemampuan sendiri, dia berusaha keras mendirikan percetakan yang menekankan tujuan politisnya. Wacana yang ditulis di dalamnya sangat romantik dan nasionalistik. Dari sumber lain disebutkan bahwa Mardi Hoetomo diterbitkan Perserikatan Personeel Pegadean Hindia Olanda pada 1921.
Surat kabar lokal lainnya, Mardirahardja, ditulis menggunakan bahasa Jawa dan tulisan Jawa. Mardirahardja yang terbit di Magelang pada 1922–1925, termasuk suratkabar khusus kalangan umat Kristen di Jawa Tengah. Mardirahardja terbit setiap hari empat halaman.
Sebelum bernama Mardirahardja, koran ini bernama Ngoedi Slamet. Awal penerbitannya, dicetak 1.000 lembar dan disebarkan secara gratis kepada orang-orang di kampung-kampung oleh guru Injil, pembantu rumah tangga, dan colporteur (semacam toko buku).
Penyebaran ini menjadi perhatian orang banyak dan di mana saja dibaca orang-orang yang menerimanya. Hal ini dapat dilihat dari oplah surat kabar tersebut yang mencapai 80.000 eksemplar pada 1937.
Hal yang barangkali menarik, redaksi koran ini dipegang orang-orang Jawa. Untuk mempromosikan koran ini, Mardirahardja memasang iklan dalam surat kabar Darmo Kondo, koran yang diterbitkan Boedi Oetomo di Surakarta dan berdiri pada 1908.
Jika ada pembaca yang berminat dengan isi berita, bisa menghubungi Ds. A. Merkelijn, pendeta dari Gereformeede Kerk (sekarang Gereja Kristen Jawa Bayeman).
Tampilan Majalah "Magelang Vooruit" (1935) diterbitkan perkumpulan Magelang Vooruit yang banyak menulis tentang Kota Magelang. ANTARA/HO-Bagus Priyana
Surat kabar De Zaaier dicetak untuk orang-orang yang dapat membaca tulisan berbahasa Belanda. Anggotanya adalah orang Eropa yang agamis. Surat kabar ini sebenarnya berpusat di Batavia, namun membuka cabang percetakan di Magelang dan kota-kota lainnya.
Pimpinan redaksi dipegang Mr. De Vries, beralamat di Bajemanweg Nomor 15 (sekarang Jln. Tentara Pelajar Nomor 15), sedangkan urusan administrasi dipimpin T. Massink di Wetan Karesidenan (kemungkinan yang dimaksud di Residentielaan atau Jln. Pungkuran atau Jln. Veteran sekarang).
Kedoe-Bode menjadi koran lokal yang eksis pada era 1930-an. Alamat redaksi di Badaan Noord Nomor 10 (sekarang Jln. Pahlawan Kelurahan Potrobangsan). Pemberitaannya banyak memuat tentang peristiwa di Magelang dan terbit dengan memakai bahasa Belanda.
Pada kolom berita, dimuat juga berbagai informasi tentang jadwal pemutaran film di bioskop di Kota Magelang.
Surat kabar tak sekadar penyampai berita, tetapi juga mempropagandakan semangat nasionalisme dan perjuangan melawan penjajahan.
Hal demikian seperti dimuat Penerbitan Militer dan Para Militer Masa Revolusi Fisik (per 15 Juli 1948), yakni Soeara Lasjkar, diterbitkan Markas Besar Lasjkar Rakjat Magelang.
Pada era ini, berbagai surat kabar bermunculan, seperti Penghela Rakjat (harian), Bangkit (mingguan), Taman Wisata Moeda (berkala), dan Berontak (berkala).
Dalam buku berjudul "Magelang Berjuang", Moehkardi menulis bahwa pada era 1949 ada koran Tidar yang terbit seminggu sekali, setiap Sabtu, dan beredar di wilayah Kedu. Majalah Elang Tidar diterbitkan pasukan Elang Rajawali dengan tujuan memelihara semangat republikan di kalangan warga di Kota Magelang, yang saat itu dikuasai Belanda.
Uniknya, majalah ini sebagai ilegal dengan pembuatannya hanya diketik, bukan proses percetakan.
Selain surat kabar, di Magelang juga beredar majalah, di antaranya Magelang Vooruit yang diterbitkan oleh Perkumpulan Magelang Vooruit. Perkumpulan ini dibentuk pada 1935, dipimpin Nessel van Lisaa, Wali Kota/Burgemeester Magelang saat itu.
Tujuan perkumpulan ini mempromosikan kondisi, potensi, dan hasil pembangunan di Kota Magelang, di antaranya tentang industri, perdagangan, dan pariwisata.
Baca juga: "Tajuk Wartawan" untuk Jurnalis Magelang yang Rayakan HPN
Majalah lainnya Maandblad Vereeniging van Huisvrouwen diterbitkan perkumpulan wanita Vereeniging van Huisvrouwen Magelang, salah satu cabang perkumpulan dengan pusatnya di Bandung.
Pada masa kini, dunia persuratkabaran terlihat mengalami tantangan teramat berat. Dengan kemajuan teknologi, surat kabar bisa dinikmati melalui genggaman tangan dengan telepon pintar.
Transformasi media global membuat ladang informasi berita yang awalnya cetakan kertas beralih ke media dalam jaringan. Pengguna media ini bukan hanya kalangan muda, tetapi merambah berbagai usia.
Pers sekarang menyampaikan berita melalui media dalam jaringan (daring). Hampir semua media massa, baik cetak, elektronik, bahkan televisi, mengembangkan layanan pemberitaan melalui media daring.
Masyarakat semakin surut menikmati surat kabar melalui lembaran-lembaran koran. Seiring dengan itu, di media sosial berlimpah informasi dan pemberitaan. Bahkan, sering disebut sebagai tsunami informasi, termasuk hoaks.
Bisa jadi, koran-koran yang kini masih beredar di Kota Magelang segera masuk lemari kenangan, karena digantikan penyebaran berita melalui telepon pintar.
Kebiasaan orang membaca sambil berdiri di koran-koran dinding yang bertebaran di setiap balai kelurahan dan kantor perwakilan surat kabar di kota ini, barangkali tak lagi terlihat.
Demikian pula, aktivitas para pengecer koran akan tinggal memori. Teriakannya, "Koran... koran… koranne mas, mbak, bude, pakde…!", tinggallah kisah.
*) Bagus Priyana, Koordinator Komunitas Kota Toea Magelang
Baca juga: Peringati HPN, masyarakat-wartawan di Magelang "Kirab Dharma Warta" (VIDEO)
Baca juga: Wartawan-Forkompimda Kota Magelang Rayakan HPN lewat Sepak Bola
Sekelompok masyarakat di luar persuratkabaran ikut merayakan HPN, sebagaimana sejak beberapa tahun terakhir Padepokan Gunung Tidar di Kampung Potrosaran, Kelurahan Potrobangsan, Kecamatan Magelang Utara pimpinan penyair Kota Magelang Es Wibowo, melakukannya.
Pada Rabu (5/2) lalu, mereka mengemas peringatan HPN 2020 melalui kirab budaya dan pentas seni. Mereka yang terlibat acara itu, antara lain pemuda, pelajar, mahasiswa, dan warga setempat. Sejumlah pejabat hadir. Tentu saja kalangan pers Kota Magelang hadir, terlibat, dan melakukan peliputan.
Es Wibowo mengemukakan warga memperingati HPN karena menyadari pentingnya kehadiran pers bagi perkembangan dan kemajuan bangsa.
Pers membuat penerbitan media massa secara berkala. Secara etimologis, kata "pers" (bahasa Belanda), "press" (Inggris), atau "presse" (Prancis) berasal dari bahasa Latin, "perssare" dari kata "premere", yang berarti “tekan” atau “cetak”. Definisi terminologisnya “media massa cetak”.
Menengok sejarah, pada 9 Februari 1946, atas prakarsa beberapa wartawan yang mengadakan Kongres Wartawan di Solo, dibentuk Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Dalam kongres itu, Sumanang terpilih sebagai ketua PWI yang pertama. Peristiwa pembentukan PWI ini dijadikan patokan HPN.
Meski kota kecil, Magelang memiliki jejak sejarah perkembangan persuratkabaran. Sebagai basis militer di Jawa bagian tengah, Magelang menjadi kota penting. Tercatat pada 1930, orang Eropa yang tinggal di kota yang kala itu berjuluk “de Tuin van Java” itu, sejumlah 4.189 jiwa. Angka terbanyak urutan kesembilan di wilayah Hindia Belanda.
Sejak pertengahan abad ke-18, Belanda memperkenalkan penerbitan surat kabar di Indonesia. Pemerintah mengekang pertumbuhan pers meskipun penerbitnya orang-orang Belanda. Surat kabar pertama di Hindia Belanda adalah Bataviase Nouvelles, terbit pada Agustus 1744 dan tutup pada Juni 1746.
Baca juga: Hari Pers di Magelang diwarnai kirab budaya
Pada 1855, di Surakarta terbit surat kabar pertama berbahasa Jawa, yaitu Bromartani, sedangkan surat kabar pertama berbahasa Melayu adalah Soerat Chabar Bahasa Melajoe pada 1856 di Surabaya. Selanjutnya, ada Soerat Chabar Betawi di Jakarta (1858), Selompret Melajoe di Semarang (1860), Bintang Timoer di Surabaya (1862), dan Djoeroe Martani di Surakarta (1864).
Beberapa surat kabar pernah terbit di Magelang pada era 1917-1948. Pangkal Kemadjoean terbit dwimingguan. Koran ini didirikan pada 1917 oleh sejumlah prajurit militer asal Minahasa yang bertugas di Magelang, yang berhimpun dalam Perserikatan Minahasa (PM).
Surat kabar ini menghidupi diri dengan membuka ruang iklan. Tarifnya cukup tinggi, 1,5 sen, untuk satu perkataan, tetapi tidak boleh kurang dari satu gulden. Untuk masyarakat umum yang ingin berlangganan dikenakan tarif lima gulden per tahun, sedangkan kalangan militer mendapat potongan biaya pemasangan iklan menjadi empat gulden.
Koran dengan jargon “Soeara Kaoem Minahasa, Kepoelaoean Sangir dan lain-lain Pendoedoek dalam Karesidenan Manado” ini, senantiasa menyiarkan berita-berita seputar Minahasa dan terutama perkembangan PM.
Teddy Harnawan dalam skripsinya berjudul "Di Bawah Bayang-bayang Modernitas: Orang-orang Indo di Kota Magelang (1906-1942)" menuliskan pada era 1930-an di Magelang terbit Mardi Hoetomo, Mardirahardja, dan De Zaaier.
Surat kabar itu bersaing dengan banyak surat kabar harian terbitan kota-kota besar yang lebih populer dan diminati pembaca, seperti De Locomotief, yang membuka agen di Grooteweg Noord Pontjol (sekarang Jln. Ahmad Yani di kawasan Poncol).
Baca juga: Wali kota: Pers berperan vital kawal pembangunan
Sayangnya, surat kabar tersebut kurang mempresentasikan kondisi Magelang sebagai objek kajian. Agen koran De Locomotief di Magelang dipegang H.J. Sjouke.
Surat kabar Mardi Hoetomo yang terbit pada 1922, didirikan seorang pribumi dengan kantor pusat di Muntilan. Pendirinya bernama Mardi Hoetomo, mantan aktivis perhimpunan politik.
Dengan biaya dan kemampuan sendiri, dia berusaha keras mendirikan percetakan yang menekankan tujuan politisnya. Wacana yang ditulis di dalamnya sangat romantik dan nasionalistik. Dari sumber lain disebutkan bahwa Mardi Hoetomo diterbitkan Perserikatan Personeel Pegadean Hindia Olanda pada 1921.
Surat kabar lokal lainnya, Mardirahardja, ditulis menggunakan bahasa Jawa dan tulisan Jawa. Mardirahardja yang terbit di Magelang pada 1922–1925, termasuk suratkabar khusus kalangan umat Kristen di Jawa Tengah. Mardirahardja terbit setiap hari empat halaman.
Sebelum bernama Mardirahardja, koran ini bernama Ngoedi Slamet. Awal penerbitannya, dicetak 1.000 lembar dan disebarkan secara gratis kepada orang-orang di kampung-kampung oleh guru Injil, pembantu rumah tangga, dan colporteur (semacam toko buku).
Penyebaran ini menjadi perhatian orang banyak dan di mana saja dibaca orang-orang yang menerimanya. Hal ini dapat dilihat dari oplah surat kabar tersebut yang mencapai 80.000 eksemplar pada 1937.
Hal yang barangkali menarik, redaksi koran ini dipegang orang-orang Jawa. Untuk mempromosikan koran ini, Mardirahardja memasang iklan dalam surat kabar Darmo Kondo, koran yang diterbitkan Boedi Oetomo di Surakarta dan berdiri pada 1908.
Jika ada pembaca yang berminat dengan isi berita, bisa menghubungi Ds. A. Merkelijn, pendeta dari Gereformeede Kerk (sekarang Gereja Kristen Jawa Bayeman).
Surat kabar De Zaaier dicetak untuk orang-orang yang dapat membaca tulisan berbahasa Belanda. Anggotanya adalah orang Eropa yang agamis. Surat kabar ini sebenarnya berpusat di Batavia, namun membuka cabang percetakan di Magelang dan kota-kota lainnya.
Pimpinan redaksi dipegang Mr. De Vries, beralamat di Bajemanweg Nomor 15 (sekarang Jln. Tentara Pelajar Nomor 15), sedangkan urusan administrasi dipimpin T. Massink di Wetan Karesidenan (kemungkinan yang dimaksud di Residentielaan atau Jln. Pungkuran atau Jln. Veteran sekarang).
Kedoe-Bode menjadi koran lokal yang eksis pada era 1930-an. Alamat redaksi di Badaan Noord Nomor 10 (sekarang Jln. Pahlawan Kelurahan Potrobangsan). Pemberitaannya banyak memuat tentang peristiwa di Magelang dan terbit dengan memakai bahasa Belanda.
Pada kolom berita, dimuat juga berbagai informasi tentang jadwal pemutaran film di bioskop di Kota Magelang.
Surat kabar tak sekadar penyampai berita, tetapi juga mempropagandakan semangat nasionalisme dan perjuangan melawan penjajahan.
Hal demikian seperti dimuat Penerbitan Militer dan Para Militer Masa Revolusi Fisik (per 15 Juli 1948), yakni Soeara Lasjkar, diterbitkan Markas Besar Lasjkar Rakjat Magelang.
Pada era ini, berbagai surat kabar bermunculan, seperti Penghela Rakjat (harian), Bangkit (mingguan), Taman Wisata Moeda (berkala), dan Berontak (berkala).
Dalam buku berjudul "Magelang Berjuang", Moehkardi menulis bahwa pada era 1949 ada koran Tidar yang terbit seminggu sekali, setiap Sabtu, dan beredar di wilayah Kedu. Majalah Elang Tidar diterbitkan pasukan Elang Rajawali dengan tujuan memelihara semangat republikan di kalangan warga di Kota Magelang, yang saat itu dikuasai Belanda.
Uniknya, majalah ini sebagai ilegal dengan pembuatannya hanya diketik, bukan proses percetakan.
Selain surat kabar, di Magelang juga beredar majalah, di antaranya Magelang Vooruit yang diterbitkan oleh Perkumpulan Magelang Vooruit. Perkumpulan ini dibentuk pada 1935, dipimpin Nessel van Lisaa, Wali Kota/Burgemeester Magelang saat itu.
Tujuan perkumpulan ini mempromosikan kondisi, potensi, dan hasil pembangunan di Kota Magelang, di antaranya tentang industri, perdagangan, dan pariwisata.
Baca juga: "Tajuk Wartawan" untuk Jurnalis Magelang yang Rayakan HPN
Majalah lainnya Maandblad Vereeniging van Huisvrouwen diterbitkan perkumpulan wanita Vereeniging van Huisvrouwen Magelang, salah satu cabang perkumpulan dengan pusatnya di Bandung.
Pada masa kini, dunia persuratkabaran terlihat mengalami tantangan teramat berat. Dengan kemajuan teknologi, surat kabar bisa dinikmati melalui genggaman tangan dengan telepon pintar.
Transformasi media global membuat ladang informasi berita yang awalnya cetakan kertas beralih ke media dalam jaringan. Pengguna media ini bukan hanya kalangan muda, tetapi merambah berbagai usia.
Pers sekarang menyampaikan berita melalui media dalam jaringan (daring). Hampir semua media massa, baik cetak, elektronik, bahkan televisi, mengembangkan layanan pemberitaan melalui media daring.
Masyarakat semakin surut menikmati surat kabar melalui lembaran-lembaran koran. Seiring dengan itu, di media sosial berlimpah informasi dan pemberitaan. Bahkan, sering disebut sebagai tsunami informasi, termasuk hoaks.
Bisa jadi, koran-koran yang kini masih beredar di Kota Magelang segera masuk lemari kenangan, karena digantikan penyebaran berita melalui telepon pintar.
Kebiasaan orang membaca sambil berdiri di koran-koran dinding yang bertebaran di setiap balai kelurahan dan kantor perwakilan surat kabar di kota ini, barangkali tak lagi terlihat.
Demikian pula, aktivitas para pengecer koran akan tinggal memori. Teriakannya, "Koran... koran… koranne mas, mbak, bude, pakde…!", tinggallah kisah.
*) Bagus Priyana, Koordinator Komunitas Kota Toea Magelang
Baca juga: Peringati HPN, masyarakat-wartawan di Magelang "Kirab Dharma Warta" (VIDEO)
Baca juga: Wartawan-Forkompimda Kota Magelang Rayakan HPN lewat Sepak Bola