Semarang (ANTARA) - Akademisi Universitas Diponegoro Teguh Yuwono memandang perlu ada batasan utusan golongan terlebih dahulu terkait dengan wacana publik untuk menghadirkan kembali utusan golongan di Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
"Ide adanya utusan golongan itu 'kan sebetulnya sudah lama karena merasa belum terwakili. Cuma konsepsi golongan sendiri juga masih bermasalah, masih kontroversial," kata Dr. Drs. Teguh Yuwono, M.Pol.Admin. di Semarang, Kamis malam.
Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Undip itu mengemukakan hal itu ketika merespons pernyataan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo yang menyatakan bahwa usulan PP Muhammadiyah bisa membuka ruang dialektika lain dalam wacana amendemen kelima UUD 1945.
Oleh karena itu, kata Bamsoet dalam diskusi "Refleksi Akhir Tahun MPR RI" di Jakarta, Rabu (18/12), pemikiran PP Muhammadiyah mengenai utusan golongan ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh.
Baca juga: Teguh Yuwono: Perlu pendidikan politik cegah eks koruptor jadi kepala daerah
Namun, lanjut analisis politik Teguh Yuwono, utusan golongan itu harus jelas basisnya. Misalnya, apakah berbasis jenis kelamin, kelompok organisasi, kelompok keagamaan, atau suku-suku terpencil.
Utusan golongan berbasis agama, misalnya wakil Nahdlatul Ulama (NU) dan wakil Muhammadiyah. Padahal, lanjut dia, anggota NU dan Muhammadiyah ini sudah banyak juga di partai politik.
"Kalau di luar negeri itu perwakilan golongan itu, ya, perwakilan golongan-golongan yang lemah. Golongan-golongan yang kira-kira dipilih dengan proses politik dia tidak akan bisa, pasti kalah," kata alumnus Flinders University Australia ini.
Ia mencontohkan utusan golongan dari suku minoritas tertentu dan agama tertentu. Kalau dilepas, mereka tidak akan bisa mendapatkan kursi kekuasaan. Oleh karena itu, perlu diwakili dengan golongan tertentu itu.
"Jadi, saya kira ini juga masih ramai. Pengertian golongan sendiri itu apakah golongan berbasis agama, golongan masyarakat terpencil (misalnya golongan anak-anak, golongan kaum perempuan), atau suku terasing. Itu yang saya kira masih debatable," katanya.
Adanya wacana utusan golongan juga bagian untuk menyeimbangkan antara utusan daerah dan utusan politik, menurut Teguh Yuwono, hal ini patut untuk dicatat sebagai pertimbangan yang bagus.
Baca juga: Teguh Yuwono: Referendum tak dikenal dalam sistem hukum nasional
Baca juga: Teguh Yuwono: Daerah berpotensi konflik jangan pilkada langsung
"Ide adanya utusan golongan itu 'kan sebetulnya sudah lama karena merasa belum terwakili. Cuma konsepsi golongan sendiri juga masih bermasalah, masih kontroversial," kata Dr. Drs. Teguh Yuwono, M.Pol.Admin. di Semarang, Kamis malam.
Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Undip itu mengemukakan hal itu ketika merespons pernyataan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo yang menyatakan bahwa usulan PP Muhammadiyah bisa membuka ruang dialektika lain dalam wacana amendemen kelima UUD 1945.
Oleh karena itu, kata Bamsoet dalam diskusi "Refleksi Akhir Tahun MPR RI" di Jakarta, Rabu (18/12), pemikiran PP Muhammadiyah mengenai utusan golongan ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh.
Baca juga: Teguh Yuwono: Perlu pendidikan politik cegah eks koruptor jadi kepala daerah
Namun, lanjut analisis politik Teguh Yuwono, utusan golongan itu harus jelas basisnya. Misalnya, apakah berbasis jenis kelamin, kelompok organisasi, kelompok keagamaan, atau suku-suku terpencil.
Utusan golongan berbasis agama, misalnya wakil Nahdlatul Ulama (NU) dan wakil Muhammadiyah. Padahal, lanjut dia, anggota NU dan Muhammadiyah ini sudah banyak juga di partai politik.
"Kalau di luar negeri itu perwakilan golongan itu, ya, perwakilan golongan-golongan yang lemah. Golongan-golongan yang kira-kira dipilih dengan proses politik dia tidak akan bisa, pasti kalah," kata alumnus Flinders University Australia ini.
Ia mencontohkan utusan golongan dari suku minoritas tertentu dan agama tertentu. Kalau dilepas, mereka tidak akan bisa mendapatkan kursi kekuasaan. Oleh karena itu, perlu diwakili dengan golongan tertentu itu.
"Jadi, saya kira ini juga masih ramai. Pengertian golongan sendiri itu apakah golongan berbasis agama, golongan masyarakat terpencil (misalnya golongan anak-anak, golongan kaum perempuan), atau suku terasing. Itu yang saya kira masih debatable," katanya.
Adanya wacana utusan golongan juga bagian untuk menyeimbangkan antara utusan daerah dan utusan politik, menurut Teguh Yuwono, hal ini patut untuk dicatat sebagai pertimbangan yang bagus.
Baca juga: Teguh Yuwono: Referendum tak dikenal dalam sistem hukum nasional
Baca juga: Teguh Yuwono: Daerah berpotensi konflik jangan pilkada langsung