Semarang (ANTARA) - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Prof. Barda Nawawi Arief menilai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia saat ini belum terintegrasi dengan nilai-nilai Pancasila.
"Ironis, nilai Pancasila tidak diintegrasikan dengan KUHP-nya," kata Barda saat menjadi pembicara dalam Seminar "Urgensi Perwujudan Nilai-nilai Pancasila Dalam Kerangka Pembaruan Hukum" di Semarang, Selasa.
KUHP warisan Belanda itu, kata dia, tidak mengandung asas kemanusiaan dan keadilan, tetapi hanya asas legalitas.
"Oleh karena itu, KUHP tidak bisa memaafkan," kata pakar hukum pidana itu dalam seminar yang diselenggarakan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) itu.
Baca juga: Praktisi sebut RKUHP tanpa mental kuat aparat akibatkan korupsi lebih besar
Ia mengambil contoh berbagai kasus tindak pidana yang sangat ringan. Misalnya, ambil kapas sisa perayaan panen raya masuk ke Pasal 362, bahkan 363.
Perbuatan yang sangat ringan, lanjut dia, tetap akan dijatuhi pidana walau hanya didasarkan pada syarat formal, bersifat melawan hukum, serta memenuhi unsur dalam undang-undang.
Oleh karena itu, dia mengharapkan terbentuknya masyarakat Pancasila melalui hukum pidana.
Salah satunya, melalui penerapan RUU KUHP baru yang akan menggantikan KUHP warisan Belanda.
Ia menyebut pemerintah Belanda sudah mengubah KUHP mereka hingga 455 kali.
"Kita, baru sekali saja sudah diprotes," kata Prof. Barda.
Baca juga: Dinilai menimbulkan gejolak, mahasiswa IAIN Kudus tuntut RUU KUHP dievaluasi
Baca juga: Mahasiswa Bandung Raya tolak RUU KPK dan KUHP
Menurut dia, perlu waktu bertahun-tahun untuk menjadikan KUHP baru ini nanti sebagai "rumah" baru yang ideal, lengkap, dan tidak bermasalah.
"Terima dahulu walau tidak sempurna. Kalau ada yang kurang, diperbaiki," pungkasnya.
"Ironis, nilai Pancasila tidak diintegrasikan dengan KUHP-nya," kata Barda saat menjadi pembicara dalam Seminar "Urgensi Perwujudan Nilai-nilai Pancasila Dalam Kerangka Pembaruan Hukum" di Semarang, Selasa.
KUHP warisan Belanda itu, kata dia, tidak mengandung asas kemanusiaan dan keadilan, tetapi hanya asas legalitas.
"Oleh karena itu, KUHP tidak bisa memaafkan," kata pakar hukum pidana itu dalam seminar yang diselenggarakan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) itu.
Baca juga: Praktisi sebut RKUHP tanpa mental kuat aparat akibatkan korupsi lebih besar
Ia mengambil contoh berbagai kasus tindak pidana yang sangat ringan. Misalnya, ambil kapas sisa perayaan panen raya masuk ke Pasal 362, bahkan 363.
Perbuatan yang sangat ringan, lanjut dia, tetap akan dijatuhi pidana walau hanya didasarkan pada syarat formal, bersifat melawan hukum, serta memenuhi unsur dalam undang-undang.
Oleh karena itu, dia mengharapkan terbentuknya masyarakat Pancasila melalui hukum pidana.
Salah satunya, melalui penerapan RUU KUHP baru yang akan menggantikan KUHP warisan Belanda.
Ia menyebut pemerintah Belanda sudah mengubah KUHP mereka hingga 455 kali.
"Kita, baru sekali saja sudah diprotes," kata Prof. Barda.
Baca juga: Dinilai menimbulkan gejolak, mahasiswa IAIN Kudus tuntut RUU KUHP dievaluasi
Baca juga: Mahasiswa Bandung Raya tolak RUU KPK dan KUHP
Menurut dia, perlu waktu bertahun-tahun untuk menjadikan KUHP baru ini nanti sebagai "rumah" baru yang ideal, lengkap, dan tidak bermasalah.
"Terima dahulu walau tidak sempurna. Kalau ada yang kurang, diperbaiki," pungkasnya.