Magelang (ANTARA) - Kota Magelang secara kewilayahan merupakan daerah yang dikelilingi sejumlah wilayah di Kabupaten Magelang. 

Kota dengan tiga kecamatan itu, seakan menjadi etalase bagi beragam produk kekayaan daerah sekitarnya yaitu desa-desa di wilayah kabupaten. 

Dengan pusatnya di gunung Tidar, Kota Magelang, dikaruniai Sang Pencipta dengan pemandangan alam yang indah, yaitu daerah pertanian dan perkebunan sepanjang lembah-lembah gunung dan pegunungan yang mengelilinginya. 

Dengan pemandangan indah dan produktif dalam pertanian, menurut Soekimin Adiwiratmoko, mantan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, dalam catatannya berjudul "Magelang Indah Dulu dan Sekarang", Kota Magelang dikenal sebagai "Het Central Park van Java", 

Sebutan ini muncul karena Kota Magelang di samping menjadi tujuan mobilitas, terutama terkait produk-produk daerah sekitar, juga adanya perpaduan antara beragam kebudayaan yang melingkupi warga setempat. 

Oleh karena keragaman kebudayaan dan warganya, lingkungan kota memiliki fungsi penting dengan berbagai kelebihan yang menjadi daya tarik tertentu bagi daerah-daerah di sekitarnya, termasuk terkait dengan bidang pertanian.

Komposisi warga Kota Magelang sejak dahulu merupakan daerah yang dihuni berbagai etnis, dengan beragam latar belakang pekerjaannya. 

Dalam "Encyclopedie van Nederlandsch Indie, Tweede Deel H-M, Gravenhage-Leiden" karangan  Martinus Nijhoff  yang terbit pada 1918 disebutkan jumlah warga Kota Magelang pada 1905 tercatat 68.625 orang dengan rincian orang Eropa 800 orang, Timur Asing seperti China, Arab, India 2.825 orang, dan warga pribumi 65.000 orang. 

Dari komposisi warga tersebut, tentu Kota Magelang membutuhkan produk-produk daerah sekitarnya, terutama kebutuhan bahan pangan dan kebutuhan pokok lainnya. 

Dengan adanya saling ketergantungan antara warga kota dan desa itu terjalin hubungan yang saling menguntungkan. 

Pertanian menjadi mata pencaharian yang dibudidayakan dan menjadi tumpuan ekonomi masyarakat lingkup pedesaan, sedangkan masyarakat perkotaan menyediakan kebutuhan kebutuhan sekunder warga desa. 

Jalinan ini terjadi bahkan sebelum era kolonial datang ke Jawa, di mana dalam prasasti Mantyasih yang bertarikh 907 Masehi disebutkan beragam hasil pertanian, seperti beras dan palawija. 

Justru rempah-rempah (perkebunan) merupakan salah satu faktor penarik kehadiran para pedagang-pedagang Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda. Sejak masa kolonial tersebut antara pertanian tanaman pangan dan pertanian tanaman ekspor biasanya dibedakan.

Tanaman ekspor adalah tanaman pertanian dengan hasil tanaman dagang, seperti tebu, kopi, dan tembakau, sedangkan pertanian tanaman pangan berupa palawija, padi, buah-buahan, dan sayur-sayuran untuk mencukupi kebutuhan pangan masyarakat.

Kondisi pertanian sebagai penyokong ekonomi rakyat tidak dapat lepas dari kebijakan yang diterapkan penguasa sesuai eranya. 

Baca juga: Pasar Rejowinangun berkumandang lagi

Dalam suatu penelitian berjudul "Pengaruh Pendudukan Jepang terhadap Masyarakat Magelang" yang dimuat dalam Jurnal Paramita Vol. 20, No. 2 pada Juli 2010, oleh peneliti Nugroho Adi Perdana dinyatakan ketertarikan Jepang terhadap Magelang karena potensi sumber daya alam daerah itu yang melimpah. 

Ada beberapa hal strategis yang menjadikan Magelang perlu dikuasai, yakni Magelang pusat produksi hasil pertanian (pangan) berupa padi, sayuran, buah-buahan, serta tanaman komoditi (tembakau). 

Dengan menguasai Magelang maka pemerintahan Jepang tidak perlu khawatir berkaitan
dengan pemenuhan keperluan logistik pasukan mereka dalam perang, baik masalah konsumsi pasukannya maupun bahan baku persenjataan. 

Magelang juga pusat pemerintahan Keresidenan Kedu yang meliputi Temanggung, Wonosobo, Purworejo, Kebumen, dan Magelang sendiri. 

Dengan menguasai Magelang berarti Jepang mudah mengontrol dan menggunakan potensi-potensi daerah-daerah yang termasuk dalam lingkup Keresidenan Kedu secara mudah, misal politik beras dan perekrutan para pemuda untuk dijadikan pasukan perang, membantu perang Asia Timur Raya. 

Dengan datangnya Jepang ke Magelang terjadi berbagai perubahan masyarakat. Masa Jepang terkenal sebagai masa paling pahit, termasuk bidang pertanian. 

Pada era 1970 dan 1980-an sebetulnya masing-masing desa di kabupaten memiliki kekhasan, yang tidak jarang dijadikan ciri khas sektor strategis, yang paling utama sektor pertanian. 

Beras Bandongan, beras Sawangan, bawang putih Kaliangkrik, kopi Windusari, kopi Grabag, tembakau Borobudur dan Kaliangkrik, sayur mayur Kaliangkrik, Windusari, dan Ngablak menjadi ikon pertanian yang terkenal hingga sekarang. 
  Seorang pedagang menunggu barang dagangannya di Pasar Rejowinangun Kota Magelang (ANTARA/HO/Muhammad Nafi)

Tidak bisa dimungkiri, Kota Magelang dengan Pasar Rejowinangun dan Pasar Gotong Royongnya menjadi salah satu titik utama, etalase produk pertanian desa-desa di wilayah Kabupaten Magelang. 

Dalam profil Pasar Rejowinangun yang dimuat di laman Dinas Pasar Kota Magelang dinyatakan pasar seluas 24.435 meter persegi itu mempunyai beberapa fasilitas umum dan fasilitas penunjang dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi Kota Magelang.

Pasar Rejowinangun merupakan pasar harian dengan jam buka pukul 05.00 sampai 17.00 WIB. Pasar Rejowinangun termasuk pasar heterogen, menyediakan berbagai macam dagangan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat Kota Magelang maupun luar daerah itu. 

Berbagai jenis dagangan yang diperjualbelikan, antara lain sembako, tekstil, dan peralatan rumah tangga. 

Pedagang Pasar Rejowinangun Magelang berasal dari Kota Magelang dan Kabupaten Magelang serta wilayah sekitar lainnya, yaitu Yogyakarta dan Temanggung. Akan tetapi, mayoritas berasal dari Kabupaten Magelang, sedangkan pembeli rata-rata berasal dari wilayah Kota dan Kabupaten Magelang.

Demikianlah kota menjadi ruang pamer produk-produk, terutama pertanian pedesaan sekitarnya, sedangkan desa, terutama di sekitar Magelang sekarang ini ruang komunal yang kian senantiasa dinamis, bahkan sudah hampir sama dengan kota dari sisi aksesibilitasnya. 

Hal itu, bisa dilihat pada infrastruktur yang semakin membaik dan akses komunikasi yang semakin mudah. 

Tetapi, di sisi lain beragam aktivitas sosial kemasyarakatan yang lahir dari tradisi serta kebiasaan yang hidup sejak turun temurun terlihat juga masih terus berlangsung di Kota Magelang. 

Secara geografis, masyarakat pedesaan adalah masyarakat agraris. Karakteristiknya adanya pola hidup gotong royong. Budaya kolektif menjadi identitas utama warga desa. 

Jika diperhatikan lagi, laju hilir-mudik lalu lintas masyarakat Kota Magelang tatkala bekerja, datang dari daerah-daerah pedesaan, yang beberapa di antaranya masih menganut pola hidup pedesaan. 

Memang beberapa wilayah desa di sekitar Kota Magelang banyak terkontaminasi budaya cepat ala masyarakat perkotaan. Namun, jika dilihat secara saksama, akan ada perbedaan yang kentara antara warga perkotaan dan pedesaan.

Desa bisa diibaratkan sebagai tempat tidur yang empuk bagi setiap orang yang kembali dari pekerjaannya. Banyak orang mengidamkan memiliki rumah yang tenteram, sepi dari nuansa serba ramai akan lalu lalang manusia, serta kendaraan bermotor. 

Mereka memilih menempati rumah di kawasan urban, yakni daerah pedesaan yang dekat dengan perkotaan. 

Hal utama yang paling diperhatikan, adalah kemudahan akses dari dan ke tempat pekerjaan. 

Tingginya animo warga memiliki rumah ini mengundang para developer serta pemborong membangun perumahan yang ekonomis serta menjanjikan keuntungan berupa akses jalan yang mudah serta setumpuk kelebihan lainnya.

Dampaknya, marak pembangunan perumahan di kawasan pedesaan-pedesaan. Kawasan yang semula mempertahankan citra aslinya, perlahan pembangunan demi pembangunan menggeser ruang publik masyarakat setempat, ke wilayah yang lebih jauh ke dalam. 

Akibatnya, kawasan yang semula dikenal sebagai pedesaan, misalnya Desa Banyurojo, Desa Bulurejo, Desa Pending, dan Desa Trasan --di kawasan Kabupaten Magelang yang berbatasan langsung dengan Kota Magelang-- mulai tumbuh banyak perumahan dan hunian para pekerja di kota. 

Desa yang semula merupakan benteng utama ketersediaan bahan pangan dari produk pertanian pasti juga terpengaruh tidak lepas dari pola kehidupan warganya. 

Semakin sempitnya lahan pertanian karena berubah menjadi lahan perumahan, tentunya mempunyai korelasi dengan produksi bahan pangan.

Pertanian sebagai mata pencaharian secara umum akan dipengaruhi oleh empat variator, yaitu ekologi, pengaturan produksi, tenaga kerja, dan teknologi. 

Sistem produksi terkait dengan produsen dan mobilisasi produksi, sedangkan ekologi dipengaruhi lingkungan dan alam. Ketersediaan tenaga kerja menentukan hasil dan pendapatan, didorong teknologi yang akan menentukan produksi.

Di desa-desa sekitar Kota Magelang, setidaknya ada sistem persawahan, sistem kebun, dan sistem tegalan. Dari semua sistem pertanian tersebut, membutuhkan keberlangsungan produktivitas dan ketersediaan tenaga kerja untuk memastikan produksi terus berlangsung. 

Untuk itu, diperlukan perencanaan yang matang terkait dengan penyediaan tenaga kerja dalam bidang pertanian ini. 

Baca juga: Pasar Rejowinangun Magelang Dikembangkan Jadi Tujuan Wisata

Rilis terbaru pada Maret 2018 tentang Publikasi Profil Ketenagakerjaan Kabupaten Magelang Hasil Sakernas Agustus 2017-2018 oleh Badan Pelayanan Statistik (BPS) Kabupaten Magelang menyebutkan angkatan kerja di daerah itu 722.290 orang, didominasi mereka yang berpendidikan rendah (SMP ke bawah) 71,64 persen, sementara penduduk yang bekerja dengan pendidikan tinggi ke atas 8,04 persen. 

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) di Kabupaten Magelang pada Agustus 2018 tercatat 71,28  persen. Hal ini berarti bahwa dari 100 orang penduduk usia kerja, sekitar 72 orang termasuk angkatan kerja. 

Apabila dibandingkan dengan 2017, TPAK Kabupaten Magelang mengalami penurunan 3,21 persen. Dengan data tersebut, pertanian di kabupaten Magelang mengalami penurunan jumlah pekerjanya dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Selain kemungkinan adanya problem dalam ketenagakerjaan bidang pertanian, ada faktor lain yang mempunyai peranan penting (khususnya sawah), yaitu air. Persediaan air sedikit banyak dapat dilihat dari aliran sungai di daerah tersebut. 

Ada dua sungai besar melintas di Kota dan Kabupaten Magelang, yaitu sisi timur Kali Elo dan di sisi barat Kota Magelang masih mengalir dengan deras Sungai Progo. Apakah dengan masih derasnya aliran sungai-sungai tersebut pertanda masih baik produk pertanian dari daerah di sekitar Magelang? 

Kota Magelang sebagai etalase produk daerah sekitar juga perlu berbenah untuk menyongsong tantangan ekonomi pada masa yang akan datang. 

Bisa jadi, produk pertanian yang dikonsumsi akan semakin sulit didapatkan dari daerah sekitar. 

Kenyataannya banyaknya buah impor di berbagai toko modern, bahkan masuk pasar-pasar rakyat, dan semakin langka didapat produk khas, seperti bawang lanang Kaliangkrik yang tajam bau dan rasanya, beras Bandongan yang terkenal pulen, dan sebagainya. 

Apakah itu semua merupakan tanda tanda perubahan sedang berlangsung dalam bidang pertanian sekitar kita. Kiranya perlu penelitian tersendiri yang lebih mendalam tentang hal tersebut.

*) Muhammad Nafi, Koordinator Komunitas Pinggir Kali Kota Magelang

Baca juga: Ada Pusat Kuliner di Pasar Rejowinangun Magelang
Baca juga: Ramaikan Pasar, Pegawai Diminta Belanja di Rejowinangun
 

Pewarta : Muhammad Nafi *)
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024