Magelang (ANTARA) - Dunia fotografi makin berkembang pesat. Kemudahan dalam menggunakan telepon pintar dan gaya hidup masyarakat yang berubah, menjadikan dunia foto terasa mudah dilakukan oleh siapapun.
Dunia fotografi tidak hanya menjadi milik para fotografer, tetapi telah menjadi milik masyarakat awam yang gandrung potret-memotret.
Apalagi, jika fotografi dipadukan untuk mengabadikan cagar budaya, tentu akan makin menarik. Bukan saja sekadar melampiaskan hasrat memfoto tetapi juga memungkinkan untuk mendorong upaya promosi kepariwisataan melalui aset cagar budaya.
Apalagi di Kota Magelang memiliki banyak bangunan tua, peninggalan era kolonial, seperti Menara Air Minum, Masjid Agung Kauman, gereja-gereja, sekolahan, perkantoran pemerintahan, rumah sakit, rumah tinggal, Plengkung, dan saluran air.
Melihat peluang ini, Bagian Humas Pemerintah Kota Magelang pada Minggu (13/10) mengadakan lomba foto "on the spot" bertema “Cagar Budaya Kota Magelang”. Tercatat sekitar 237 peserta dengan 400 foto yang disajukan oleh peserta untuk dilombakan. Peserta tidak hanya datang dari wilayah Magelang dan sekitarnya, tetapi juga datang dari luar Jawa Tengah, yakni Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung.
Ketua panitia sekaligus Kasubbag Pemberitaan dan Publikasi Bagian Humas Pemerintah Kota Magelang Anggit Pamungkas mengatakan bahwa lomba foto ini bertujuan memperkenalkan potensi yang dimiliki kota setempat, khususnya menyangkut cagar budaya, sebagai salah satu upaya menguatkan Gerakan Ayo ke Magelang.
Kegiatan ini sekaligus sebagai persiapan untuk acara serupa yang lebih besar pada 2020 bertemakan, “Beauty of Heritage”.
Sekretaris Daerah Pemkot Magelang Joko Budiyono yang hadir menyerahkan hadiah kepada pemenang mengapresiasi lomba ini.
Menurut dia, melalui lomba ini, masyarakat Magelang akan mengetahui lebih dalam tentang cagar budaya yang ada di daerah dengan julukan "Kota Sejuta Bunga" ini.
Para pemenang lomba foto cagar budaya berfoto bersama Sekda Kota Magelang Joko Budiyono, Kabag Humas Al Ludin Idris, panitia, dan dewan juri di Museum BPK RI di Kota Magelang, Minggu (13/10/2019). (ANTARA/HO/Humas Pemkot Magelang)
Upaya-upaya promosi pariwisata di wilayah Magelang sebenarnya sudah dilakukan sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu.
Hal itu, sebagaimana dilakukan oleh Perkumpulan “Magelang Vooruit” yang berdiri pada 15 Oktober 1935. Perkumpulan dengan ketua Nessel van Lissa (Wali Kota/Burgemeester Magelang saat itu) memiliki tujuan memajukan kesejahteraan masyarakat Magelang dalam arti seluas-luasnya.
Bidang-bidang yang dikerjakan oleh “Magelang Vooruit” dalam berbagai hal, antara lain di pendidikan, kesehatan, tata kota, propaganda Magelang, kebudayaan, olahraga, kerajinan, dan pariwisata.
Perkumpulan ini berusaha mengembangkan kepariwisataan, seperti membuat akses jalan menuju lokasi pariwisata, papan petunjuk, peta wisata, tempat peristirahatan, bangku-bangku pemberhentian, pondok perlindungan, dan rumah perhentian (hotel).
Hal ini penting mengingat di wilayah Magelang banyak memiliki objek wisata, baik alam (air terjun) dan budaya (candi-candi).
Jauh sebelumnya, pesona keindahan Magelang juga telah membuat takjub seorang ahli botani dari Jerman, Franz Junghuhn. Pada 1838, saat Junghuhn berkunjung di rumah Residen Kedu, ia terpesona dengan pemandangan Gunung Sumbing dan Perbukitan Giyanti di barat Kota Magelang.
Keindahan sawah-sawah, desa-desa, dan Sungai Progo diabadikan dalam karya lythografi yang dimuat dalam sebuah buku berjudul “Java-Album” terbitan 1853. Pada lythografi tersebut, di latar depan tergambar bebatuan peninggalan Hindu-Buddha, seperti lingga, yoni, dan arca-arca yang tergeletak di halaman rumah residen ini.
Baca juga: Wisata cagar budaya Kota Magelang dipromosikan lewat lomba foto
Sementara itu, Tedy Harnawan dalam skripsinya yang berjudul “Di bawah Bayang-bayang Modernitas: Orang-orang Indo di Kota Magelang (1906-1942)” menuliskan bahwa sebelum abad ke-20, pemilik foto sebagian besar dimiliki orang Eropa, namun mulai akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, imigran dari China yang banyak datang dari Kanton, menguasai usaha studio foto di Hindia Belanda.
Studio foto milik orang China menawarkan harga yang lebih murah dibandingkan dengan yang dimiliki orang Eropa. Salah satu studio foto milik orang China yang terkenal adalah Lee Brothers Studio yang berpusat di Singapura dan memiliki tiga cabang di Hindia Belanda, yakni di Batavia, Magelang, dan Bandung. Hal ini membuktikan jika Magelang sudah menjadi bagian penting di bidang perfotoan dan studio foto.
Selain itu, di kota berjuluk “de Tuin van Java” ini juga terdapat studio foto “Lie Jauw Ming” di Poncol, “Wahson” dan “Oen Liem” di Pecinan. “Lie Jauw Ming” sendiri tidak hanya melayani pemotretan, tetapi juga melayani penjualan kamera, rol film, filmpacks, platen, dan cine film.
Selain dimiliki oleh orang Eropa dan China, orang Jepang juga menawarkan jasa di bidang foto, seperti Toko Oizumi dan Studio Foto Midori di Pecinan (kini Toko Buku & ATK “Lan” Jln. Pemuda 116). Toko yang eksis pada era 1930-an ini sangat terkenal. Pemilik studio foto ini adalah T. Akiyama.
Di Kota Magelang, pada era tahun tersebut sudah terdapat beberapa studio foto, misalnya Gan Hien & Co, N. Ley, H. Kits van Heyningen, dan van Wingen. Hasil-hasil fotografi tersebut beberapa ada yang dijadikan sebagai album foto keluarga dan untuk dijadikan sebagai kartu pos bergambar.
Kartu pos bergambar merupakan cara yang efektif dalam mempromosikan sebuah kota atau aktivitas. Tercatat ada beberapa perusahaan, studio foto, maupun perseorangan yang memproduksi kartu pos bergambar. Misalnya NV Maresch & Co di Poncol, Studio Foto Midori di Pecinan, Toko PM Johannes di timur alun-alun, Toko Oizumi di Pecinan, dan Van Eijck di timur laut alun-alun.
Perkembangan dunia foto dan minat masyarakat memengaruhi keberadaan studio foto. Puncak kejayaan studio foto ada pada era 1980 hingga pertengahan 1990-an. Pada masa itu, berbagai studio foto bermunculan di Kota Magelang, seperti Kawanku, Kwan, Bagus, Tepat, Artha Foto di Pecinan, Poncol di Poncol , Abadi di timur laut alun-aluon, Konica di depan Bioskop Magelang Theater, Whana Foto di Kauman, Yuki Foto di Jln. Sriwijaya, dan Prima Foto di Bayeman.
Bebagai studio foto ini selain menerima order foto dan kelengkapannya, juga menerima pesanan pigura foto. Foto-foto yang diberi pigura akan menambah kecantikan dari foto tersebut.
Sampai saat ini, salah satu pusat perbelanjaan modern ternama di kawasan alun-alun menjadikan foto-foto tentang Magelang Tempo Doeloe karya fotografer ternama Magelang, Yusuf Kusuma (alm), menghiasi salah satu sudut dindingnya. Hal ini membuktikan bahwa upaya promosi tentang cagar budaya bisa dilakukan di mana saja.
Baca juga: Wali Kota: Warga Magelang Jaga Cagar Budaya
Dunia pariwisata tak terlepas dari bidikan kamera dan salah satu cara mengabadikan objek wisata adalah melalui foto.
Objek wisata yang paling populer adalah Candi Borobudur. Candi ini selalu menjadi tujuan utama wisata.
Setelah berkeliling candi dengan naik dokar atau berjalan kaki, para wisatawan akan beristirahat di puncak candi. Di stupa mereka akan bergaya di depan kamera untuk difoto bersama. Hasil foto akan dipamerkan ke kerabat dan siapa saja yang belum pernah berwisata ke candi ini.
Adanya candi-candi di wilayah Magelang, menjadikan wilayah ini menjadi bagian penting dalam dunia pariwisata pada era Hindia Belanda.
Achmad Sunjayadi dalam disertasinya berjudul “Dari Vreemdelingenverkeer ke Toeristenverkeer: Dinamika Pariwisata di Hindia Belanda 1891-1942” menuliskan bahwa Kedu sudah menjadi bagian penting dalam dunia pariwisata di Hindia Belanda.
Pada 13 April 1908, Perhimpunan Pariwisata (Vereeniging Toeristenverkeer atau VTV) didirikan di Batavia. Perhimpunan pertama di wilayah Hindia Belanda ini bertujuan mengembangkan “vreemdelingenverkeer” (lalu lintas orang asing) di Hindia Belanda.
VTV memiliki cabang dan perwakilan, baik di dalam maupun luar negeri. Kemunculannya turut mendorong munculnya berbagai organisasi pariwisata di tingkat lokal, seperti di Padang, Bandung, Magelang, Malang, Lawang, Yogyakarta, dan Batavia.
Dunia fotografi, cagar budaya, dan pariwisata saling memiliki keterkaitan. Ketiganya bisa saling bersinergi jika didukung oleh pihak-pihak terkait, yakni masyarakat, komunitas, dan pemerintah.
Dengan saling mendukung, diharapkan bisa turut melestarikan cagar budaya dan sekaligus meningkatkan kepariwisataan.
Tanpa upaya pelestarian cagar budaya, mustahil dunia pariwisata di Kota Magelang bisa terangkat dengan baik, mengingat salah satu potensi pariwisata di kota ini adalah bangunan tua dan cagar budaya.
Mari lestarikan cagar budaya untuk kita wariskan kepada anak cucu kelak. (hms).
*) Bagus Priyana, Koordinator Komunitas Kota Toea Magelang
Baca juga: Pemkot Magelang bangkitkan wisata sejarah
Baca juga: Pengelolaan museum dukung wisata Kota Magelang
Dunia fotografi tidak hanya menjadi milik para fotografer, tetapi telah menjadi milik masyarakat awam yang gandrung potret-memotret.
Apalagi, jika fotografi dipadukan untuk mengabadikan cagar budaya, tentu akan makin menarik. Bukan saja sekadar melampiaskan hasrat memfoto tetapi juga memungkinkan untuk mendorong upaya promosi kepariwisataan melalui aset cagar budaya.
Apalagi di Kota Magelang memiliki banyak bangunan tua, peninggalan era kolonial, seperti Menara Air Minum, Masjid Agung Kauman, gereja-gereja, sekolahan, perkantoran pemerintahan, rumah sakit, rumah tinggal, Plengkung, dan saluran air.
Melihat peluang ini, Bagian Humas Pemerintah Kota Magelang pada Minggu (13/10) mengadakan lomba foto "on the spot" bertema “Cagar Budaya Kota Magelang”. Tercatat sekitar 237 peserta dengan 400 foto yang disajukan oleh peserta untuk dilombakan. Peserta tidak hanya datang dari wilayah Magelang dan sekitarnya, tetapi juga datang dari luar Jawa Tengah, yakni Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung.
Ketua panitia sekaligus Kasubbag Pemberitaan dan Publikasi Bagian Humas Pemerintah Kota Magelang Anggit Pamungkas mengatakan bahwa lomba foto ini bertujuan memperkenalkan potensi yang dimiliki kota setempat, khususnya menyangkut cagar budaya, sebagai salah satu upaya menguatkan Gerakan Ayo ke Magelang.
Kegiatan ini sekaligus sebagai persiapan untuk acara serupa yang lebih besar pada 2020 bertemakan, “Beauty of Heritage”.
Sekretaris Daerah Pemkot Magelang Joko Budiyono yang hadir menyerahkan hadiah kepada pemenang mengapresiasi lomba ini.
Menurut dia, melalui lomba ini, masyarakat Magelang akan mengetahui lebih dalam tentang cagar budaya yang ada di daerah dengan julukan "Kota Sejuta Bunga" ini.
Upaya-upaya promosi pariwisata di wilayah Magelang sebenarnya sudah dilakukan sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu.
Hal itu, sebagaimana dilakukan oleh Perkumpulan “Magelang Vooruit” yang berdiri pada 15 Oktober 1935. Perkumpulan dengan ketua Nessel van Lissa (Wali Kota/Burgemeester Magelang saat itu) memiliki tujuan memajukan kesejahteraan masyarakat Magelang dalam arti seluas-luasnya.
Bidang-bidang yang dikerjakan oleh “Magelang Vooruit” dalam berbagai hal, antara lain di pendidikan, kesehatan, tata kota, propaganda Magelang, kebudayaan, olahraga, kerajinan, dan pariwisata.
Perkumpulan ini berusaha mengembangkan kepariwisataan, seperti membuat akses jalan menuju lokasi pariwisata, papan petunjuk, peta wisata, tempat peristirahatan, bangku-bangku pemberhentian, pondok perlindungan, dan rumah perhentian (hotel).
Hal ini penting mengingat di wilayah Magelang banyak memiliki objek wisata, baik alam (air terjun) dan budaya (candi-candi).
Jauh sebelumnya, pesona keindahan Magelang juga telah membuat takjub seorang ahli botani dari Jerman, Franz Junghuhn. Pada 1838, saat Junghuhn berkunjung di rumah Residen Kedu, ia terpesona dengan pemandangan Gunung Sumbing dan Perbukitan Giyanti di barat Kota Magelang.
Keindahan sawah-sawah, desa-desa, dan Sungai Progo diabadikan dalam karya lythografi yang dimuat dalam sebuah buku berjudul “Java-Album” terbitan 1853. Pada lythografi tersebut, di latar depan tergambar bebatuan peninggalan Hindu-Buddha, seperti lingga, yoni, dan arca-arca yang tergeletak di halaman rumah residen ini.
Baca juga: Wisata cagar budaya Kota Magelang dipromosikan lewat lomba foto
Sementara itu, Tedy Harnawan dalam skripsinya yang berjudul “Di bawah Bayang-bayang Modernitas: Orang-orang Indo di Kota Magelang (1906-1942)” menuliskan bahwa sebelum abad ke-20, pemilik foto sebagian besar dimiliki orang Eropa, namun mulai akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, imigran dari China yang banyak datang dari Kanton, menguasai usaha studio foto di Hindia Belanda.
Studio foto milik orang China menawarkan harga yang lebih murah dibandingkan dengan yang dimiliki orang Eropa. Salah satu studio foto milik orang China yang terkenal adalah Lee Brothers Studio yang berpusat di Singapura dan memiliki tiga cabang di Hindia Belanda, yakni di Batavia, Magelang, dan Bandung. Hal ini membuktikan jika Magelang sudah menjadi bagian penting di bidang perfotoan dan studio foto.
Selain itu, di kota berjuluk “de Tuin van Java” ini juga terdapat studio foto “Lie Jauw Ming” di Poncol, “Wahson” dan “Oen Liem” di Pecinan. “Lie Jauw Ming” sendiri tidak hanya melayani pemotretan, tetapi juga melayani penjualan kamera, rol film, filmpacks, platen, dan cine film.
Selain dimiliki oleh orang Eropa dan China, orang Jepang juga menawarkan jasa di bidang foto, seperti Toko Oizumi dan Studio Foto Midori di Pecinan (kini Toko Buku & ATK “Lan” Jln. Pemuda 116). Toko yang eksis pada era 1930-an ini sangat terkenal. Pemilik studio foto ini adalah T. Akiyama.
Di Kota Magelang, pada era tahun tersebut sudah terdapat beberapa studio foto, misalnya Gan Hien & Co, N. Ley, H. Kits van Heyningen, dan van Wingen. Hasil-hasil fotografi tersebut beberapa ada yang dijadikan sebagai album foto keluarga dan untuk dijadikan sebagai kartu pos bergambar.
Kartu pos bergambar merupakan cara yang efektif dalam mempromosikan sebuah kota atau aktivitas. Tercatat ada beberapa perusahaan, studio foto, maupun perseorangan yang memproduksi kartu pos bergambar. Misalnya NV Maresch & Co di Poncol, Studio Foto Midori di Pecinan, Toko PM Johannes di timur alun-alun, Toko Oizumi di Pecinan, dan Van Eijck di timur laut alun-alun.
Perkembangan dunia foto dan minat masyarakat memengaruhi keberadaan studio foto. Puncak kejayaan studio foto ada pada era 1980 hingga pertengahan 1990-an. Pada masa itu, berbagai studio foto bermunculan di Kota Magelang, seperti Kawanku, Kwan, Bagus, Tepat, Artha Foto di Pecinan, Poncol di Poncol , Abadi di timur laut alun-aluon, Konica di depan Bioskop Magelang Theater, Whana Foto di Kauman, Yuki Foto di Jln. Sriwijaya, dan Prima Foto di Bayeman.
Bebagai studio foto ini selain menerima order foto dan kelengkapannya, juga menerima pesanan pigura foto. Foto-foto yang diberi pigura akan menambah kecantikan dari foto tersebut.
Sampai saat ini, salah satu pusat perbelanjaan modern ternama di kawasan alun-alun menjadikan foto-foto tentang Magelang Tempo Doeloe karya fotografer ternama Magelang, Yusuf Kusuma (alm), menghiasi salah satu sudut dindingnya. Hal ini membuktikan bahwa upaya promosi tentang cagar budaya bisa dilakukan di mana saja.
Baca juga: Wali Kota: Warga Magelang Jaga Cagar Budaya
Dunia pariwisata tak terlepas dari bidikan kamera dan salah satu cara mengabadikan objek wisata adalah melalui foto.
Objek wisata yang paling populer adalah Candi Borobudur. Candi ini selalu menjadi tujuan utama wisata.
Setelah berkeliling candi dengan naik dokar atau berjalan kaki, para wisatawan akan beristirahat di puncak candi. Di stupa mereka akan bergaya di depan kamera untuk difoto bersama. Hasil foto akan dipamerkan ke kerabat dan siapa saja yang belum pernah berwisata ke candi ini.
Adanya candi-candi di wilayah Magelang, menjadikan wilayah ini menjadi bagian penting dalam dunia pariwisata pada era Hindia Belanda.
Achmad Sunjayadi dalam disertasinya berjudul “Dari Vreemdelingenverkeer ke Toeristenverkeer: Dinamika Pariwisata di Hindia Belanda 1891-1942” menuliskan bahwa Kedu sudah menjadi bagian penting dalam dunia pariwisata di Hindia Belanda.
Pada 13 April 1908, Perhimpunan Pariwisata (Vereeniging Toeristenverkeer atau VTV) didirikan di Batavia. Perhimpunan pertama di wilayah Hindia Belanda ini bertujuan mengembangkan “vreemdelingenverkeer” (lalu lintas orang asing) di Hindia Belanda.
VTV memiliki cabang dan perwakilan, baik di dalam maupun luar negeri. Kemunculannya turut mendorong munculnya berbagai organisasi pariwisata di tingkat lokal, seperti di Padang, Bandung, Magelang, Malang, Lawang, Yogyakarta, dan Batavia.
Dunia fotografi, cagar budaya, dan pariwisata saling memiliki keterkaitan. Ketiganya bisa saling bersinergi jika didukung oleh pihak-pihak terkait, yakni masyarakat, komunitas, dan pemerintah.
Dengan saling mendukung, diharapkan bisa turut melestarikan cagar budaya dan sekaligus meningkatkan kepariwisataan.
Tanpa upaya pelestarian cagar budaya, mustahil dunia pariwisata di Kota Magelang bisa terangkat dengan baik, mengingat salah satu potensi pariwisata di kota ini adalah bangunan tua dan cagar budaya.
Mari lestarikan cagar budaya untuk kita wariskan kepada anak cucu kelak. (hms).
*) Bagus Priyana, Koordinator Komunitas Kota Toea Magelang
Baca juga: Pemkot Magelang bangkitkan wisata sejarah
Baca juga: Pengelolaan museum dukung wisata Kota Magelang