Purwokerto (ANTARA) - Akhir bulan September 2019 lalu, Pemerintah Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah menggelar Shalat Istisqa di Alun-Alun Kota Purwokerto.
Bupati Banyumas Achmad Husein beserta unsur muspida dan para aparatur sipil negara mengikuti shalat yang berlangsung tepat pada pertengahan hari di bawah terik mentari.
Usai pelaksanaan shalat, terlibat bibir-bibir yang terus merapal doa, harapannya tentu sama, memohon kepada Allah SWT agar menurunkan hujan.
Sudah sejak bulan Agustus lalu, hujan sudah jarang sekali mengguyur wilayah ini, bahkan rintiknya pun seakan enggan muncul.
Tentu saja penurunan curah hujan yang berkepanjangan mengakibatkan sejumlah wilayah mengalami kekeringan dan mengalami krisis air bersih.
Menurut data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Banyumas, hingga saat ini 73 desa dari 19 kecamatan yang mengalami kekeringan dan krisis air bersih.
Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Banyumas, Ariono Poerwanto mengatakan kecamatan yang mengalami krisis air bersih tersebut antara lain, Patikraja, Sumpiuh, Karanglewas, Rawalo, Kalibagor, Jatilawang, Purwojati, Cilongok, Tambak, Kebasen, Gumelar, Somagede, Lumbir, Kemranjen, Banyumas, Pekuncen, Kedungbanteng, Ajibarang dan Wangon.
Dia juga mengatakan bahwa berdasarkan laporan terkini, ada 17.241 keluarga di wilayah Kabupaten Banyumas yang alami kekeringan dan krisis air bersih.
Sejak awal penanganan kekeringan hingga saat ini BPBD Banyumas telah menyalurkan 1.454 tanki atau setara dengan 7.273.000 liter air bersih dengan harapan dapat membantu warga yang membutuhkan.
Menurut Ariono, jumlah wilayah yang terdampak kekeringan pada tahun 2019 ini meningkat dibandingkan dengan tahun 2018 yang lalu.
Pada tahun ini, kata dia, sudah ada 19 kecamatan yang terdampak kekeringan, sementara pada tahun 2018 lalu jumlahnya sembilan kecamatan yaitu Tambak, Sumpiuh, Banyumas, Somagede, Kalibagor, Cilongok, Purwojati, Kebasen, dan Karanglewas.
BPBD Banyumas memperkirakan bahwa meningkatnya jumlah wilayah yang terdampak kekeringan merupakan akibat dari panjangnya musim kemarau pada tahun 2019 ini.
"Musim kemarau tahun ini menurut kami lebih panjang dan lebih kering dibandingkan tahun lalu. Tahun ini kita sudah memulai distribusi air bersih pada akhir bulan Mei 2019 sementara pada tahun lalu kita baru memulai penyaluran air bersih pada pertengahan bulan Juli," katanya.
Kendati demikian, BPBD Banyumas menyatakan kesiapan untuk terus melakukan distribusi air bersih ke wilayah terdampak kekeringan hingga kemarau berlalu.
"Distribusi akan terus dilakukan, persediaan air bersih Insya Allah mencukupi hingga akhir musim kemarau," katanya.
Baca juga: Kekeringan masing berlangsung, 73 desa di Banyumas krisis air bersih
Sumber Air
PDAM Tirta Satria Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah juga menginformasikan bahwa penurunan curah hujan yang signifikan telah mengakibatkan penurunan debit air di sumber-sumber air.
Bahkan, penurunan debit air dinilai cukup drastis dan lebih parah bila dibandingkan dengan tahun 2018 lalu.
Direktur Teknik PDAM Tirta Satria Kabupaten Banyumas, Wipi Supriyanto mengakui bahwa penurunan debit air cukup drastis hingga mencapai 70 persen.
Sumber air yang mengalami penurunan debit, antara lain Kawung Carang, Kedung Pete, Curug Telu, Slada, Karang Tengah, Pugak, dan lain sebagainya.
Kendati demikian, pihaknya terus berusaha melakukan sejumlah upaya guna menanggulangi permasalahan penurunan debit air tersebut.
"Kami sudah mengupayakan optimalisasi di semua sumber air yang ada, menghidupkan pompa-pompa cadangan sumur dalam hingga menambah kapasitas pompa," katanya.
Dia menyebutkan penambahan kapasitas pompa telah dilakukan di wilayah Kaliori, Sudagaran, dan Sidabowa. Selain itu pihaknya juga telah memaksimalkan penanganan kebocoran-kebocoran serta melakukan pemerataan aliran dan memanfaatkan sumur-sumur cadangan.
Selain itu, PDAM Banyumas juga terus mendata penurunan debit yang terjadi di sejumlah sumber air selama musim kemarau ini.
"Pasalnya penurunan debit air telah mengganggu aliran air ke pelanggan," katanya.
Baca juga: Kekeringan, petani bikin sumur bor berbiaya Rp5 juta
Cegah kekeringan
Menyoal permasalahan kekeringan yang terjadi beberapa waktu belakangan, pakar air tanah dari Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Adi Candra, MT mengatakan upaya mencegah kekeringan dapat dilakukan dengan meningkatkan ketersediaan sumber air.
Meningkatkan ketersediaan sumber air, menurut dia, bisa menjadi solusi jangka menengah untuk mengantisipasi kekeringan pada masa yang akan datang.
Dosen teknik geologi Unsoed tersebut menjelaskan, peningkatan ketersediaan sumber air bisa dilakukan dengan membangun sumur gali, sumur pantek, sumur air bor dalam, sumur resapan dan juga embung.
Upaya jangka menengah lainnya untuk mencegah kekeringan, tambah dia, dengan meningkatkan kualitas sarana dan prasarana air bersih.
Selain itu, dapat juga dilakukan dengan melaksanakan kegiatan penelitian dalam rangka mencari potensi sumber-sumber air.
Alumni Magister Teknik Air Tanah ITB itu menambahkan kekeringan juga dapat dicegah dengan penanggulangan jangka panjang, misalnya dengan melakukan reboisasi kawasan sabuk hijau sekitar waduk.
Selain itu melakukan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah lahan kritis, juga pengelolaan hutan bersama masyarakat hingga pembangunan demplot sumur resapan di wilayah rawan kekeringan.
Untuk menjaga ketersediaan air, tambah dia, diperlukan bangunan-bangunan penunjang yang dapat menampung air hujan seperti embung dan sumur bor resapan.
Hal tersebut, diharapkan bisa menjadi inspirasi bagi semua pihak guna melakukan langkah antisipasi kekeringan pada tahun-tahun mendatang.
Terutama bila melihat fakta yang terjadi pada tahun ini, di mana wilayah yang mengalami kekeringan terus meluas.
Dengan melakukan upaya antisipasi, baik berupa jangka pendek maupun jangka panjang, tentu hasilnya akan dirasakan seluruh masyarakat.
Baca juga: Boyolali droping 768 tangki air ke daerah kekeringan
Berharap kekeringan di Banyumas segera berlalu
Sholat minta hujan yang digelar di Purwokerto, Banyumas. (ANTARA/wuryanti Puspitasari)