Magelang (ANTARA) - Pernikahan merupakan hal yang sakral dalam perjalanan hidup seseorang. Dalam beragam latar belakang budaya, ada berbagai tahapan tertentu terkait dengan prosesi pernikahan sesuai dengan kepercayaan dan adat istiadat masing-masing. 

Biasanya, prosesi sudah dipersiapkan sejak awal. Ada yang dilakukan secara komunal dengan kepanitiaan tertentu yang dibentuk oleh keluarga. Ada pula yang dipasrahkan kepada pengelola jasa penyelenggaraan pernikahan atau "wedding organizer". 

Dari segi pembiayaan, ada yang dilaksanakan secara sederhana, akan tetapi ada pula yang bisa menelan biaya hingga ratusan, bahkan miliaran rupiah. Hal itu tergantung dengan kemampuan si empunya hajat. 

Ada hal yang menarik dalam kirab atau arak-arakan pesta pernikahan dengan nama "Pancering Urip Bebrayan" pada Minggu (8/9). 

Kirab pesta pernikahan diadakan di sepanjang jalan di kawasan pinggiran Kota Magelang. Beberapa komunitas mengikuti kirab tersebut untuk merayakan pernikahan seniman serba bisa, Andri Setyo Martopo Ristanto (Andritopo) dengan belahan hatinya, Nurul Aeni Santriwati.   
 
Kirab dimulai dari pos masing-masing komunitas yang telah diatur oleh panitia, kemudian mereka bersama-sama menuju satu titik, yaitu di Kampung Sekaran. Kampung di pinggiran Kota Magelang yang berbatasan langsung dengan Kompleks Akademi Militer di kawasan lembah Gunung Tidar Kota Magelang.

Area yang dilewati atau menjadi jalur kirab adalah daerah sub-urban, daerah-daerah di pinggiran kota yang berusaha masih menjaga sistem komunalnya, akan tetapi terdampak pembangunan kota yang lebih menampakkan sisi individualnya.

Baca juga: Bukan Lagi Pesta Nikah, Tapi Peristiwa Budaya

Menurut Paul Barker dalam bukunya "The Freedoms of Suburbia" yang terbit pada 1999, sub-urbanisasi terjadi karena adanya pengaruh perubahan dalam struktur ekonomi. 

Perubahan struktur ekonomi ini mendorong terjadinya perubahan pada komposisi pekerjaan penduduk antara pertanian dan industri, di mana sektor industri menjadi sangat berkembang dan mendorong penduduk beralih mata pencaharian. 

Kawasan industri yeng terletak di perkotaan ini menarik penduduk pedesaan melakukan migrasi ke perkotaan.

Sub-urbanisasi terjadi sebagai implikasi terhadap kondisi sosial dan ekonomi masyarakat yang rendah, yang sulit untuk bertempat tinggal di pusat kota. 

Sub-urbanisasi merupakan proses kelanjutan dari urbanisasi, di mana sub-urbanisasi ini terjadi pada wilayah pinggiran kota sebagai dampak perkembangan kota. 

Akibatnya, wilayah pinggiran yang awalnya bersifat pedesaan mengalami transisi menjadi perkotaan. 

Perubahan karakteristik juga terjadi dalam kebiasaan keseharian, tradisi, dan adat istiadat masyarakat setempat, termasuk dalam penyelenggaraan perayaan pernikahan. 

Pernikahan dalam masyarakat pedesaan biasanya dilakukan dengan sistem komunal, yaitu merupakan kerja bersama antara keluarga, kerabat, dan tetangga sekitar dalam satu kepanitiaan yang bersifat "sambatan" atau kesukarelawan. 

Sedangkan lazimnya yang terjadi di daerah perkotaan, acara pernikahan sudah merupakan kerja bisnis atau usaha dari suatu jasa pernikahan dan berbagai jasa terkait lainnya, seperti katering, "video shooting", foto, dan lain sejenisnya. 

Pernikahan menjadi sesuatu yang bisa diukur dengan kapital. Pernikahan pun banyak digelar di berbagai gedung pertemuan dan hotel-hotel berbintang. Begitu pula terjadi di Kota Magelang.

Semakin besar dan semakin megah acara pernikahan yang diselenggarakan si empunya hajat, akan semakin mahal biaya yang dikeluarkan, semakin sedikit orang yang bisa menjangkau harganya. 

Belum soal biaya hidup yang semakin tinggi, pernikahan bisa jadi akan semakin tidak terjangkau. 

Dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing, kedua pola tersebut memengaruhi cara pandang dan pola pikir masyarakatnya. 

Kenyataan tersebut membuat pernikahan menjadi salah satu puncak kebudayaan yang terlihat dan mencerminkan masyarakatnya. 
  Kirab budaya "Pancering Urip Bebrayan" untuk merayakan secara kontemporer pernikahan seniman Andritopo-Nurul di Magelang, Minggu (8/9/2019). (ANTARA/Dokumen Muhammad Nafi)

Andritopo, yang juga salah satu "penggawa" inti dari Pameran Magelang Tempo Doeloe --salah satu kegiatan kultural yang terkenal di Kota Magelang-- didukung dengan daya jangkau dan aktivitas seniman serba bisa ini yang sangat luas, membuatnya mempunyai jejaring dalam beragam aktivitas kehidupan, dari jejaring antarseniman sampai komunitas kesukarelawan dan hobi. 

Oleh karena itu, saat Andritopo yang juga master tanaman bonsai ini menikah, banyak jejaringnya turut juga berbahagia, mendukung kedua mempelai dalam merayakan acara pesta pernikahannya. 

Tanpa dilakukan koordinasi yang rumit, saat acara "ngundhuh mantu" atau boyongan pengantin, mereka dengan sukarela merayakan pernikahan Andritopo dengan mengadakan kirab dari Kampung Bojong di pinggir barat Kota Magelang menuju Kampung Sekaran, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang. 

Mereka, antara lain ada dari komunitas sepeda ontel, penggemar motor antik, dan pengemudi ojek dalam jaringan atau "online". 

Dari komunitas kesenian, ada puluhan kelompok kesenian turut dalam kirab dengan berjalan kaki, mengantarkan pengantin menuju pelaminan, sedangkan pengatur barisan dari komunitas relawan tanggap bencana dan komunitas hobi lainnya. 

Terhitung 18 komunitas yang beraanggotakan ratusan orang dalam berbagai bidang dengan penuh sukarela terlibat memeriahkan pesta pernikahan Andritopo-Nurul itu. 

Ribuan orang menyaksikan peristiwa budaya yang unik, langka, dan membawa pesan akan nilai-nilai kebersamaan dan kegotongroyongan di Kota Magelang dan sekitarnya itu. Nilai-nilai yang tidak bisa diukur dengan kapital, terlebih pada era global sekarang ini.

Seorang warga Kampung Sekaran, Rahmat Prawoto, menyampaikan bahwa belum pernah terjadi peristiwa pesta pernikahan dalam kemasan yang unik seperti itu terjadi di kampungnya. Semua orang terlibat, bekerja bersama penuh sukarela, untuk menyemarakkan acara tersebut. 

Tamu-tamu yang hadir pun dari beragam kalangan, baik dari tetangga sekitar, kerabat dan relasi kedua pengantin, anggota komunitas, seniman, budayawan, sampai para pejabat.  

Bahkan, dengan sukarela seorang anggota kepolisian turut mendorong kereta yang dipakai pengantin untuk kirab keliling kampung.

Bisa jadi, fenomena unik pesta pernikahan seniman Magelang itu merupakan panggilan hati bersama atas kerinduan masyarakat sub-urban terhadap nilai kebersamaan, nilai nilai komunal kegotongroyongan sebagaimana lazim masih ada di desa-desa, namun semakin langka ditemukan di daerah perkotaan. (hms)


*) Muhammad Nafi, Koordinator Komunitas Pinggir Kali Kota Magelang, Sekretaris Dewan Kesenian Kota Magelang (2010-2014), dan Ketua Forum Komunikasi Media Tradisional (FK-Metra) Kota Magelang (2016-2019).

Baca juga: 17 pasangan nikah unik di UMM, ada yang di arena panjat dinding
 

Pewarta : Muhammad Nafi *)
Editor : Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024