Semarang (ANTARA) - "Neither a wise man nor a brave man lies down on the tracks of history to wait for the train of the future to run over him" (Anonymous)
 
Mungkin tidak banyak waktu kita gunakan selama ini untuk berpikir kembali tentang masa ketika para tokoh dan pendahulu kita menanam fondasi dan mendirikan bangunan peradaban bangsa ini. 

Mungkin juga kita abai atau kadang menerima begitu saja semua berita dan cerita kisah kehidupan para tokoh yang digambarkan dengan penuh liku, bahkan dengan  tambahan gambaran yang makin membesarkan ketokohannya.

Masa berganti,  zaman  berputar. Terciptalah jarak  dan kesenjangan waktu yang kemudian bisa mengubur pemahaman kita tentang masa lalu. 

Absurditas hadir di tengah kita dan memporakporandakan kehidupan. Kebaikan lebih sering dilupakan ketimbang keburukan dan keonaran. Kita - manusia - menjadi segerombolan makhluk yang lebih gemar mencaci, meratap, dan menangis ketimbang menghargai, tertawa, dan bernyanyi.
 
Persis seperti saat ini. Tiba-tiba saja kita dikejutkan oleh  pernyataan yang menyangkut keberadaan Raden Patah. Oleh karena itu, untuk meluruskannya kita harus mengingat kembali dan membaca ulang untuk memperkuat pemahaman kita tentang tokoh pendiri kerajaan Islam pertama di Jawa, Raden Patah. 

Raden Patah atau Praba atau Raden Bagus Kasan (Hasan) alias Jin Bun (atau Jìn Wén) bergelar Senapati Jimbun atau Panembahan Jimbun lahir di Palembang 1455, dan kemudian wafat di Demak pada 1518. Dia adalah pendiri dan sultan Demak pertama yang memerintah tahun 1500-1518. 
Menurut kronik Tiongkok dari Kuil Sam Po Kong Semarang, nama Tionghoa Jin Bun itu tidak disertai nama marga di depannya, karena hanya ibunya yang berdarah Tionghoa. Jin Bun bermakna orang kuat. Ini identik dengan nama Fatah (Patah) dari bahasa Arab yang berarti kemenangan atau pembukaan (al-fath).

Babad Tanah Jawi menerangkan bahwa Raden Patah adalah putra Brawijaya V (Bhre Kerthabumi, raja Majapahit) dari seorang selir Tionghoa (Siu Ban Ci) yang merupakan putri dari Kyai Batong (alias Tan Go Hwat). Sedang menurut Purwaka Caruban Nagari, Siu Ban Ci ini adalah putri Tan Go Hwat dan Siu Te Yo dari Gresik. Tan Go Hwat sendiri merupakan seorang saudagar dan juga ulama bergelar Syaikh Bantong. Tome Pires dalam Suma Oriental menyebutkan bahwa pendiri Demak adalah Pate Rodin, cucu seorang masyarakat kelas rendah di Gresik. Sejarawan Belanda Pigeud dan De Graaf, serta M.C. Ricklefs dari Australia menulis bahwa Pate Rodin ini adalah seorang Tionghoa Muslim dengan nama asli Cek Ko-po (Adipati/Patih Rodin), yang oleh Ricklefs dirujukkan dengan nama Arab Badruddin atau Kamaruddin, meninggal sekitar tahun 1504.
 
Nama yang beragam dengan deretan silsilah yang didominasi oleh laqab Cina justru menggambarkan kekuatan dan aura kemuliaan serta kebesaran karakter Raden Patah. 

Meski asal usul tokoh ini masih menjadi bahan kajian dan perdebatan di kalangan sejarawan, satu hal pasti yang disepakati adalah bahwa peran Raden Patah sangat penting dalam proses pembangunan kerajaan Islam awal di Jawa. 

Bukti kebesaran kerajaan Islam Demak tersimpan baik, termasuk peninggalan arkeologis yang berhubungan dengan hal tersebut. Masjid Agung Demak dengan arsitektur dengan atap tumpang (Atap Meru) menggambarkan alkuturasi budaya dan kearufan lokal yang menjadi dasar penyebaran dakwah Islam di Jawa pada awal abad 16.
 
Islam  masuk dan berkembang di Jawa berdampingan dengan agama Hindu dan Budha yang telah lebih dulu berkembang di era kekuasaan politik Raja Brawijaya V sebagai penerus kekuasaan Majapahit. Sejarah mencatat, pada akhir abad ke-15,  kekuasaan Majapahit sudah mulai melemah dan makin menunjukan  tanda menuju kejatuhan.

Perlu diingat kembali, Raja Brawijaya V penguasa Majapahit saat itu adalah raja yg memeluk agama Hindu  - adalah ayahanda Raden Patah yang Muslim. Perbedaan keyakinan antara ayah dan anak tersebut  sesungguhnya menggambarkan secara kasat mata sosiologi masyarakat Nusantara yang plural.  

Hubungan erat antar pemeluk agama yang berbeda menjadi pemandangan yang lumrah. Bentuk keluarga dengan penganut agama yang berbeda-beda sudah ada dalam kehidupan masyarakat saat itu,  bahkan di kalangan keluarga kerajaan. Ibunda dan kakek Raden Patah yang adalah Cina Muslim makin memperjelas pluralitas masyarakat kita kala itu. 

Raden Patah belajar dan mendalami agama Islam kepada Sunan Ampel. Dari Sunan Ampel lah Raden Patah  belajar tentang Islam yang rahmatan lil-‘alamin. 

Pemahaman itu diwujudkan pula dengan sikap terbuka, lemah lembut dan reseptif terhadap segala perbedaan dan keragaman,  apalagi mengingat bahwa ayahandanya adalah seorang penganut taat Hindu dan menjadi pusat dari kekuasaan Hindu di Jawa saat itu. 

Model keislaman yang seperti inilah yang dibawa oleh Raden Patah ketika dia berpindah ke Demak dan memperkuat dakwah Islam dengan mendirikan pesantren yang kemudian mampu menarik banyak santri untuk belajar Islam.
 
Sejarah kemudian mencatat Raden Patah adalah raja pertama kesultanan Demak pada awal abad 16 - Kerajaan Islam pertama di Jawa.

Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda bercerita banyak tentang Raden Patah dan runtuhnya Majapahit sepeninggal Sunan Ampel.  Babad dan Serat tersebut menceritakan, Sunan Ampel selalu berpesan agar Raden Patah tidak menyerang Majapahit meski berbeda agama. 

Perbedaan harus dihormati, terlebih mengingat Brawijawa V adalah ayah kandungnya. Cerita juga menyebutkan runtuhnya Majapahit dan dinamika yang kemudian terjadi sepeninggal  Sunan Ampel, lebih dikarenakan dinamika perebutan kekuasaan dan pemberontakan, dan bukan karena konflik agama.

Ketika Majapahit runtuh, Sunan Giri kemudian berperan dalam perkembangan penyebaran Islam di kerajaan yang sudah jatuh itu. Sebuah Kronik Tiongkok menceritakan bahwa setelah berhasil mengalahkan Brawijaya, Raden Patah memindahkan ayahandanya itu ke Demak secara terhormat. 
 
Menariknya, N.J. Krom dalam bukunya Javanische Geschiedenis menerangkan versi yang berbeda. Bukanlah Raden Patah yg menyerang Majapahit tetapi tokoh lain, yaitu Prabu Girindrawardhana pada 1478. 
Girindrawardhana kemudian mengangkat dirinya menjadi raja Majapahit bergelar Prabu Brawijaya VI. Namun kekuasaannya pun tidak lama, karena Patihnya memberontak dan mengangkat dirinya menjadi Prabu Brawijaya VII. Dalam penjelasan Krom, perang antara Demak dan Majapahit terjadi pada masa pemerintahan Prabu Brawijaya VII bukan pada masa Raden Patah dan Prabu Brawijaya V. 

Dinamika politik

Catatan di atas kembali menunjukkan bahwa hadirnya kerajaan Islam di Demak  bukanlah sebuah usaha peruntuhan kerajaan Hindu  oleh kekuatan Islam yang diakibatkan adanya konflik agama, melainkan terjadi karena dinamika politik yang lebih diwarnai oleh perebutan kekuasaan yang melemahkan kerajaan Majapahit
 
Ketokohan Raden Patah dalam sejarah perkembangan Islam di Nusantara tidak dapat dikesampingkan. Perannya membangun peradaban dan budaya Islam Nusantara sangat besar.  Sebagai seorang Muslim yang taat, Raden Patah tidak berpangku tangan atau berangan dalam membesarkan kerajaannya. 

Pikiran-pikiran besarnya dalam memimpin diwujudkan dalam bentuk menempatkan rakyat sebgai prioritas dengan tetap mengedepankan pluralisme,  merawat perbedaan, menyelaraskan nilai dan kearifan lokal dalam penyebaran Islam dan dakwahnya. 

Terlepas dari berbagai perbedaan penafsiran dan polemik yang ada, alangkah baiknya jika kita tetap mengingat jasa dan peran tokoh ini, termasuk dalam pengembangan Islam Nusantara dan tanpa  harus membuat polemik yang mengganggu harmonisasi. 

Kajian akademis dan penelitian tetap harus dilanjutkan untuk memperkaya data dan sejarah kita. Tafsir sejarah sejogjanya tidak dilakukan dengan sembarangan. Serahkan kepada ahlinya, kepada para sejarawan, Arkeolog, serta peneliti bidang lain yang memang memiliki kompetensi dan kapasitas untuk melakukannya

Menyikapi adanya pernyataan tentang Raden Patah yang dilontarkan baru-baru ini oleh Ridwan Saidi,  mari dikritisi secara konstruktif.  Ruang diskusi secara akademis bisa menjawab dan mengkajinya lebih dalam dengan memaparkan fakta dan data.

*Pemerhati sejarah dan Pembina Yayasan Darma Bakti Lestari

 

Pewarta : Lestari Moerdijat*
Editor : Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024