Magelang (ANTARA) - Perkeretaapian di Magelang dimulai dengan beroperasi jalur KA Magelang-Yogyakarta pada 1 Juli 1898. Operatornya Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NISM), salah satu perusahaan KA swasta Belanda yang tergabung dalam Veerenigde Spoorwegbedrigs (VS).
Di jalur ini terdapat sejumlah stasiun, yakni Magelang Kota, Magelang Pasar, Banyurojo, Mertoyudan, Japunan, Blondo, Blabak, Pabelan, Muntilan, Dangeyan, Tegalsari, dan Semen.
Jalur KA Magelang-Secang mulai beroperasi pada 15 Mei 1903, Secang-Temanggung pada 3 Januari 1907, Secang-Ambarawa pada 1 Februari 1905, dan Temanggung-Parakan pada 1 Juli 1907.
Stasiun Magelang Kota (kini Subterminal Kebonpolo) sebagai stasiun utama, salah satunya untuk mengangkut penumpang dan tentara. Stasiun Magelang Pasar (kini menjadi pertokoan PJKA/Kuliner Sejuta Bunga Jln. Sudirman), keberadaannya sangat vital mengingat mempunyai andil besar terhadap tumbuhnya Pasar Rejowinangun dan terminal.
Jalur rel antara Stasiun Magelang Kota dan Stasiun Magelang Pasar berdampingan dengan Grooteweg Noord Pontjol (kini Jln. Akhmad Yani) hingga Grooteweg Zuid (kini Jln. Pemuda). Jalur sepanjang kurang lebih dua kilometer tersebut melewati pusat kota, yaitu Poncol, Alun-Alun Kota Magelang, dan kawasan Pecinan.
Wilayah Magelang dikelilingi pegunungan dan menjadi penghasil komoditas pertanian, seperti beras, ketela, dan sayuran, sedangkan komoditas perkebunan, seperti tembakau, kopi, dan rempah-rempah.
Sebagaimana diketahui bahwa wilayah Magelang dan sekitarnya, seperti Tegalrejo, Candimulyo, Pakis, Bandongan, Kaliangkrik, dan sekitarnya menjadi basis produksi pertanian dan perkebunan.
Untuk menjual hasil produksinya, para pedagang memanfaatkan jasa layanan kereta api di Stasiun Magelang Pasar untuk dikirim ke luar kota. Ketika para pedagang hasil bumi menunggu kereta api datang, mereka juga melakukan transaksi jual beli di sekitar stasiun ini. Hal itu mereka lakukan supaya komoditas yang dibawa cepat laku dan tidak busuk.
Para pedagang yang makin banyak membuat pemerintah pada 1900-an memindahkan para pedagang ke belakang stasiun. Kelak aktivitas para pedagang di stasiun ini menjadi cikal bakal Pasar Rejowinangun.
Bus memasuki Terminal Tidar Kota Magelang, Rabu (4/9/2019). (ANTARA/HO/Bagus Priyana)
Letak kota Magelang yang strategis menjadi penghubung dengan kota Semarang-Yogyakarta-Purworejo dan kota-kota kecil di sekitarnya.
Tumbuhnya terminal terjadi karena para penumpang kereta api yang akan naik atau turun membutuhkan sarana transportasi ke tempat tujuan. Selain itu, para pembawa hasil bumi membutuhkan moda transportasi untuk mengangkut komoditasnya.
Melihat peluang ini, para pemilik otobus juga melayani penumpang kereta api yang naik atau turun di Stasiun Magelang Pasar. Maka di sebelah barat Stasiun Magelang Pasar berkembang menjadi terminal atau stanplaats (sekarang kawasan Shopping Center). Zaman Presiden Sukarno, pada era 1960-an, terminal ini diberi nama Terminal Ampera.
Rel-rel dan jembatan di atas Kali Krasak yang menghubungkan Magelang ke Yogyakarta rusak parah karena hantaman banjir lahar hujan Gunung Merapi. Hal ini mengakibatkan pada 1967 kereta api jurusan Semarang-Magelang-Yogyakarta terpaksa ditutup. Pada 1976 kereta api jurusan Ambarawa-Secang-Magelang juga menyusul berhenti beroperasi.
Di sisi lain, moda transportasi darat lainnya, bus-bus, berkembang dengan pesat melayani berbagai jurusan. Akibatnya, Terminal Ampera tidak lagi mampu menampung bus-bus. Pada 1977 terminal ini dipindahkan ke Kampung Barakan di bawah Bukit Tidar dengan nama Terminal Tidar.
Di terminal ini pun tidak bertahan lama. Pada 1988 terminal dipindahkan ke Jln. Sukarno-Hatta. Pemindahan ini didasarkan beberapa alasan, di antaranya makin berkembang wilayah kota, kepadatan penduduk, keramaian arus lalu lintas, dan kebutuhan sarana terminal yang lebih memadai.
Kini, pemerintah pusat berencana melakukan reaktivasi jalur kereta api antara Semarang-Ambarawa-Magelang-Yogyakarta.
Menurut Kasubdit Penataan dan Jaringan Ditjen Perkeretaapian Direktorat Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api Kementerian Perhubungan RI Rudi Damanik, rencananya proyek pembangunan rel meliputi tahap prakonstruksi pada 2019-2022, tahap pertama (2023-2027), tahap kedua (2018-2032), dan tahap ketiga (2033-2037).
Total panjang ruas rel yang akan dibangun mencapai 121 kilometer, terdiri atas 102 kilometer di wilayah Jawa Tengah dan 13 kilometer di wilayah DIY. Dari panjang tersebut, konstruksi baru 78 kilometer dan eksit 42 kilometer.
Jalur ini akan melewati empat kabupaten dan kota, yakni Kabupaten Grobogan, Kabupaten Semarang, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Magelang, Kota Magelang dan Kabupaten Sleman. Jalur terpanjang di Kabupaten Semarang 47 kilometer dan jalur terpendek 1,1 kilometer di Kota Magelang.
Jalur kereta api yang baru ini tidak seluruhnya akan dibangun di jalur lama, khususnya antara Secang-Kota Magelang-Mertoyudan-Blabak-Muntilan-Tempel-Sleman hingga Kota Yogyakarta. Hal ini mengingat di jalur lama ini sudah beralih fungsi.
Misalnya di wilayah Magelang Kota sudah menjadi jalur lambat, jalan kampung, dan pemukiman padat. Bahkan, ada yang terkena pelebaran jalan (Mertoyudan-Blabak-Muntilan).
Baca juga: Pasar Rejowinangun berkumandang lagi
Untuk itu, Wali Kota Magelang Sigit Widyonindito siap memberikan rekomendasi kepada Kementerian Perhubungan terkait dengan rencana reaktivasi jalur kereta api Semarang-Yogyakarta.
Hal ini tidak lepas dari analisis dampak ekonomi yang sangat bermanfaat bagi masyarakat pada masa mendatang.
Pemerintah Kota Magelang berupaya mengambil manfaat dari pembangunan jalur baru tersebut.
Sigit menginginkan keberadaan stasiun di sekitar Terminal Tidar yang dapat terintegrasi, seperti di Amerika Serikat, di mana antara stasiun dan terminal menjadi satu sehingga sangat bagus dan nyaman untuk penumpang.
Mirip juga dengan Terminal Tirtonadi dan Stasiun Balapan di Kota Solo yang terhubung dengan "skybridge".
Rencananya, keberadaan Stasiun Magelang tersebut berada di timur Terminal Tidar dengan lahan yang disiapkan seluas 7,762 hektare.
Ilustrasinya, jalur kereta api yang melintas dari wilayah Secang-Tegalrejo dibelokkan ke wilayah Kota Magelang menyeberangi Kali Elo untuk singgah di Stasiun Magelang. Lalu rel kereta api kembali menyeberangi Kali Elo menuju selatan di wilayah Candimulyo lalu ke Palbapang dan Yogyakarta.
Jika Stasiun Magelang dan Terminal Tidar terintegrasi maka akan memudahkan penumpang mengakses moda transportasi. Jika ada yang mau naik kereta api, calon penumpang bisa menggunakan angkutan umum untuk menuju stasiun. Jika ada penumpang kereta api ingin ke lokasi tujuan, bisa menggunakan angkutan umum yang sudah tersedia di Terminal Tidar.
Di sisi lain, Pemerintah Kota Magelang berencana membangun Pasar Induk sebagai bagian dari pengembangan wilayah kota. Bahkan, Pemkot Magelang sudah menyediakan anggaran Rp200 miliar untuk pembangunan Pasar Induk.
Suasana Stasiun Magelang Pasar sekitar 1920-an ketika rangkaian kereta api sedang berhenti (kanan), sedangkan di sisi kiri terminal. (ANTARA/HO/Koleksi Bagus Priyana)
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Magelang Joko Soeparno mengatakan rencana pembangunan Pasar Induk sudah memasuki tahap studi kelayakan.
Lokasi pun mulai ditetapkan, yakni di Jln. Soekarno-Hatta, masuk Kelurahan Rejowinangun Utara. Lahan yang disiapkan seluas lima hektare yang bisa menampung lebih dari 500 pedagang.
Sarana pendukung pasar pun juga akan dibangun, seperti kompleks pergudangan, mesin pendingin, dan rencana pembangunan jalan lingkar guna memperluas akses masyarakat menuju pasar dari berbagai lokasi. Rencananya, jalan lingkar ini untuk mempermudah akses kendaraan dari arah Tegalrejo agar bisa langsung masuk pasar.
Rencana pembangunan Stasiun Magelang dan Pasar Induk ini tentu saja sangat menarik mengingat keberadaan sarana transportasi dan pusat perekonomian ini berdekatan dengan Terminal Tidar.
Dengan demikian, di kawasan ini akan ada tiga sarana vital, yaitu Terminal Tidar, Stasiun Magelang, dan Pasar Induk yang sesungguhnya memiliki keterkaitan dan ketergantungan.
Jika rencana pembangunan tersebut dapat terealisasi maka ibaratnya peristiwa lebih dari seabad lalu itu terwujud kembali.
Hendaknya, pembangunan berbagai sarana penting tersebut direncanakan dengan matang dan dapat diintegrasikan dengan baik agar memberikan manfaat yang optimal serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
*) Bagus Priyana, Koordinator Komunitas Kota Toea Magelang
Baca juga: Dishub Kota Magelang cek kelayakan armada di Terminal Tidar
Baca juga: Pemerintah segera tuntaskan proyek KA Jateng-DIY
Baca juga: Pasar Rejowinangun Magelang berstandar nasional
Di jalur ini terdapat sejumlah stasiun, yakni Magelang Kota, Magelang Pasar, Banyurojo, Mertoyudan, Japunan, Blondo, Blabak, Pabelan, Muntilan, Dangeyan, Tegalsari, dan Semen.
Jalur KA Magelang-Secang mulai beroperasi pada 15 Mei 1903, Secang-Temanggung pada 3 Januari 1907, Secang-Ambarawa pada 1 Februari 1905, dan Temanggung-Parakan pada 1 Juli 1907.
Stasiun Magelang Kota (kini Subterminal Kebonpolo) sebagai stasiun utama, salah satunya untuk mengangkut penumpang dan tentara. Stasiun Magelang Pasar (kini menjadi pertokoan PJKA/Kuliner Sejuta Bunga Jln. Sudirman), keberadaannya sangat vital mengingat mempunyai andil besar terhadap tumbuhnya Pasar Rejowinangun dan terminal.
Jalur rel antara Stasiun Magelang Kota dan Stasiun Magelang Pasar berdampingan dengan Grooteweg Noord Pontjol (kini Jln. Akhmad Yani) hingga Grooteweg Zuid (kini Jln. Pemuda). Jalur sepanjang kurang lebih dua kilometer tersebut melewati pusat kota, yaitu Poncol, Alun-Alun Kota Magelang, dan kawasan Pecinan.
Wilayah Magelang dikelilingi pegunungan dan menjadi penghasil komoditas pertanian, seperti beras, ketela, dan sayuran, sedangkan komoditas perkebunan, seperti tembakau, kopi, dan rempah-rempah.
Sebagaimana diketahui bahwa wilayah Magelang dan sekitarnya, seperti Tegalrejo, Candimulyo, Pakis, Bandongan, Kaliangkrik, dan sekitarnya menjadi basis produksi pertanian dan perkebunan.
Untuk menjual hasil produksinya, para pedagang memanfaatkan jasa layanan kereta api di Stasiun Magelang Pasar untuk dikirim ke luar kota. Ketika para pedagang hasil bumi menunggu kereta api datang, mereka juga melakukan transaksi jual beli di sekitar stasiun ini. Hal itu mereka lakukan supaya komoditas yang dibawa cepat laku dan tidak busuk.
Para pedagang yang makin banyak membuat pemerintah pada 1900-an memindahkan para pedagang ke belakang stasiun. Kelak aktivitas para pedagang di stasiun ini menjadi cikal bakal Pasar Rejowinangun.
Letak kota Magelang yang strategis menjadi penghubung dengan kota Semarang-Yogyakarta-Purworejo dan kota-kota kecil di sekitarnya.
Tumbuhnya terminal terjadi karena para penumpang kereta api yang akan naik atau turun membutuhkan sarana transportasi ke tempat tujuan. Selain itu, para pembawa hasil bumi membutuhkan moda transportasi untuk mengangkut komoditasnya.
Melihat peluang ini, para pemilik otobus juga melayani penumpang kereta api yang naik atau turun di Stasiun Magelang Pasar. Maka di sebelah barat Stasiun Magelang Pasar berkembang menjadi terminal atau stanplaats (sekarang kawasan Shopping Center). Zaman Presiden Sukarno, pada era 1960-an, terminal ini diberi nama Terminal Ampera.
Rel-rel dan jembatan di atas Kali Krasak yang menghubungkan Magelang ke Yogyakarta rusak parah karena hantaman banjir lahar hujan Gunung Merapi. Hal ini mengakibatkan pada 1967 kereta api jurusan Semarang-Magelang-Yogyakarta terpaksa ditutup. Pada 1976 kereta api jurusan Ambarawa-Secang-Magelang juga menyusul berhenti beroperasi.
Di sisi lain, moda transportasi darat lainnya, bus-bus, berkembang dengan pesat melayani berbagai jurusan. Akibatnya, Terminal Ampera tidak lagi mampu menampung bus-bus. Pada 1977 terminal ini dipindahkan ke Kampung Barakan di bawah Bukit Tidar dengan nama Terminal Tidar.
Di terminal ini pun tidak bertahan lama. Pada 1988 terminal dipindahkan ke Jln. Sukarno-Hatta. Pemindahan ini didasarkan beberapa alasan, di antaranya makin berkembang wilayah kota, kepadatan penduduk, keramaian arus lalu lintas, dan kebutuhan sarana terminal yang lebih memadai.
Kini, pemerintah pusat berencana melakukan reaktivasi jalur kereta api antara Semarang-Ambarawa-Magelang-Yogyakarta.
Menurut Kasubdit Penataan dan Jaringan Ditjen Perkeretaapian Direktorat Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api Kementerian Perhubungan RI Rudi Damanik, rencananya proyek pembangunan rel meliputi tahap prakonstruksi pada 2019-2022, tahap pertama (2023-2027), tahap kedua (2018-2032), dan tahap ketiga (2033-2037).
Total panjang ruas rel yang akan dibangun mencapai 121 kilometer, terdiri atas 102 kilometer di wilayah Jawa Tengah dan 13 kilometer di wilayah DIY. Dari panjang tersebut, konstruksi baru 78 kilometer dan eksit 42 kilometer.
Jalur ini akan melewati empat kabupaten dan kota, yakni Kabupaten Grobogan, Kabupaten Semarang, Kabupaten Temanggung, Kabupaten Magelang, Kota Magelang dan Kabupaten Sleman. Jalur terpanjang di Kabupaten Semarang 47 kilometer dan jalur terpendek 1,1 kilometer di Kota Magelang.
Jalur kereta api yang baru ini tidak seluruhnya akan dibangun di jalur lama, khususnya antara Secang-Kota Magelang-Mertoyudan-Blabak-Muntilan-Tempel-Sleman hingga Kota Yogyakarta. Hal ini mengingat di jalur lama ini sudah beralih fungsi.
Misalnya di wilayah Magelang Kota sudah menjadi jalur lambat, jalan kampung, dan pemukiman padat. Bahkan, ada yang terkena pelebaran jalan (Mertoyudan-Blabak-Muntilan).
Baca juga: Pasar Rejowinangun berkumandang lagi
Untuk itu, Wali Kota Magelang Sigit Widyonindito siap memberikan rekomendasi kepada Kementerian Perhubungan terkait dengan rencana reaktivasi jalur kereta api Semarang-Yogyakarta.
Hal ini tidak lepas dari analisis dampak ekonomi yang sangat bermanfaat bagi masyarakat pada masa mendatang.
Pemerintah Kota Magelang berupaya mengambil manfaat dari pembangunan jalur baru tersebut.
Sigit menginginkan keberadaan stasiun di sekitar Terminal Tidar yang dapat terintegrasi, seperti di Amerika Serikat, di mana antara stasiun dan terminal menjadi satu sehingga sangat bagus dan nyaman untuk penumpang.
Mirip juga dengan Terminal Tirtonadi dan Stasiun Balapan di Kota Solo yang terhubung dengan "skybridge".
Rencananya, keberadaan Stasiun Magelang tersebut berada di timur Terminal Tidar dengan lahan yang disiapkan seluas 7,762 hektare.
Ilustrasinya, jalur kereta api yang melintas dari wilayah Secang-Tegalrejo dibelokkan ke wilayah Kota Magelang menyeberangi Kali Elo untuk singgah di Stasiun Magelang. Lalu rel kereta api kembali menyeberangi Kali Elo menuju selatan di wilayah Candimulyo lalu ke Palbapang dan Yogyakarta.
Jika Stasiun Magelang dan Terminal Tidar terintegrasi maka akan memudahkan penumpang mengakses moda transportasi. Jika ada yang mau naik kereta api, calon penumpang bisa menggunakan angkutan umum untuk menuju stasiun. Jika ada penumpang kereta api ingin ke lokasi tujuan, bisa menggunakan angkutan umum yang sudah tersedia di Terminal Tidar.
Di sisi lain, Pemerintah Kota Magelang berencana membangun Pasar Induk sebagai bagian dari pengembangan wilayah kota. Bahkan, Pemkot Magelang sudah menyediakan anggaran Rp200 miliar untuk pembangunan Pasar Induk.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Magelang Joko Soeparno mengatakan rencana pembangunan Pasar Induk sudah memasuki tahap studi kelayakan.
Lokasi pun mulai ditetapkan, yakni di Jln. Soekarno-Hatta, masuk Kelurahan Rejowinangun Utara. Lahan yang disiapkan seluas lima hektare yang bisa menampung lebih dari 500 pedagang.
Sarana pendukung pasar pun juga akan dibangun, seperti kompleks pergudangan, mesin pendingin, dan rencana pembangunan jalan lingkar guna memperluas akses masyarakat menuju pasar dari berbagai lokasi. Rencananya, jalan lingkar ini untuk mempermudah akses kendaraan dari arah Tegalrejo agar bisa langsung masuk pasar.
Rencana pembangunan Stasiun Magelang dan Pasar Induk ini tentu saja sangat menarik mengingat keberadaan sarana transportasi dan pusat perekonomian ini berdekatan dengan Terminal Tidar.
Dengan demikian, di kawasan ini akan ada tiga sarana vital, yaitu Terminal Tidar, Stasiun Magelang, dan Pasar Induk yang sesungguhnya memiliki keterkaitan dan ketergantungan.
Jika rencana pembangunan tersebut dapat terealisasi maka ibaratnya peristiwa lebih dari seabad lalu itu terwujud kembali.
Hendaknya, pembangunan berbagai sarana penting tersebut direncanakan dengan matang dan dapat diintegrasikan dengan baik agar memberikan manfaat yang optimal serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
*) Bagus Priyana, Koordinator Komunitas Kota Toea Magelang
Baca juga: Dishub Kota Magelang cek kelayakan armada di Terminal Tidar
Baca juga: Pemerintah segera tuntaskan proyek KA Jateng-DIY
Baca juga: Pasar Rejowinangun Magelang berstandar nasional