Jepara (ANTARA) - Deretan galeri atau butik yang memajang busana berbahan tenun dengan mudah ditemui di jalan utama di Desa Troso, Kecamatan Pecangaan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.

Galeri dan butik berarsitektur modern dengan penataan ruang kekinian tersebut sedikit mengoyak persepsi dan definisi desa dalam pemahaman banyak orang.

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa Desa Troso berkembang sekaligus menampilkan etalase modernitas yang banyak ditemui di kota-kota. 

Desa Troso, sekitar 20 kilometer dari kota Jepara, sejak zaman dulu memang dikenal sebagai sentra kain tenun ikat yang dihasilkan dari peralatan lawas bernama alat tenun bukan mesin (ATBM). Nasta'in memeragkan cara membuat tenun ikat Troso (Foto: AZM)
Dalam perjalanan sejarahnya, tenun Troso mengalami pasang surut. Pernah mencapai kejayaan pada 1980-an ketika Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mewajibkan PNS mengenakan pakaian berbahan tenun Troso.

Kendati diterpa perubahan, tenun Troso tidak pernah sampai tergelincir di titik nadir. Sejak zaman dulu memang memiliki pasar domestik yang relatif tetap. Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi merupakan pasar tradisional tenun Troso sejak dulu.

Selain itu, pengusaha tenun setempat juga berusaha ramah terhadap perkembangan zaman. Ketika masyarakat kian makmur, bahan baku juga menyesuaikan, misalnya, menggunakan sutera, katun halus, atau serat nanas.

Desainer Poppy Darsono pada 2008 pernah merancang busana modern dengan sentuhan etnik berbahan tenun ikat Troso. Begitu pula perancang Leny Rafael, di panggung Indonesia Ethnic Fashion Show 2017, juga menggunakan rancangan busana dengan tenun Troso. 

Oleh karena itu, hingga zaman kiwari tenun Troso tetap eksis meskipun mengalami pasang surut seiring dengan perubahan zaman.

Pun, dengan kebijakan relokasi sejumlah industri atau pabrik dari kawasan Jabodebatek -- antara lain ke Jepara--, juga memengaruhi derap industri tenun Troso.

Sekitar 5 tahun lalu, lima perusahaan modal asing (PMA) merelokasi pabrik dari Jabodetabek ke Kecamatan Pecangaan. Jarak lokasi pabrik PMA dengan Desa Troso sekitar 6 kilometer.

Tidak jauh dari Pecangaan, sejumlah PMA juga merelokasi pabriknya di Kecamatan Mayong. Relokasi pabrik tersebut membutuhkan puluhan ribu tenaga kerja.

"Dampaknya, banyak angkatan kerja muda di Desa Troso juga memilih bekerja di pabrik-pabrik PMA yang menawarkan gaji berstandar upah minimum kabupaten ((UMK),"  kata Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Troso, Haji Nasta'in, ketika ditemui di rumahnya di Desa Troso, Jumat (21/6).

Nasta'in yang juga pengusaha tenun dan mebel tersebut menjelaskan sebagian besar pengusaha kecil hanya mampu bayar kerja borongan, tidak mampu menggaji penenun dengan sistem UMK.
  Gapura menuju sentra tenun ikat di Desa Troso, Kabupaten Jepara (Foto: AZM)G
Oleh karena itu, sebagian besar angkatan muda Desa Troso eksodus ke pabrik-pabrik PMA. Sebagian dari PMA ini memproduksi alas kaki dan aparel merek terkenal dunia.

Dari total sekitar 21.000 penduduk di desa ini, kata Nasta'in, hanya sekitar 700 orang yang masih bertahan bekerja di Desa, terutama sebagai penenun. Padahal, sebelum PMA masuk, ribuan orang mencari penghidupan dari tenun Troso.

"Desa Troso saat ini kebagian tenaga kerja yang tua-tua dan tidak punya ijazah. Untungnya hanya sedikit tenaga kerja laki-laki yang bekerja di pabrik PMA," katanya didampingi pengurus Pokdarwis Troso, Abdul Jalil.

Kehadiran pabrik-pabrik PMA tersebut selain menyedot pasokan tenaga kerja di Desa Troso, juga menguras angkatan kerja muda yang sebelumnya bekerja di bidang konveksi lokal, mebel, dan monel  di desa-desa di Kecamatan Pecangaan.

Produk kerajinan monel Pecangaan, antara lain, juga terkenal dengan gelang penanda jamaah haji Indonesia.

Namun di balik eksodus pekerja desa ke PMA yang menawarkan imbalan tetap dan status sosial yang dianggap lebih tinggi, ada berkah tersembunyi di dalamnya.

Berkurangnya tenaga kerja di sektor tenun ATBM ini menyebabkan produksi juga berkurang. Mengikuti hukum ekonomi, pasokan yang terbatas mendorong harga jual stabil tinggi.

Irbab Aulia Amri, Wakil Ketua Pokdarwis Troso, menambahkan dulu banyak pengrajin memiliki hingga 15 penenun ATBM, namun sejak kehadiran pabrik-pabrik PMA, terus berkurang.

"Beberapa pengrajin dulu punya 15 penenun, kini tersisa 7-8 orang. Yang dulu punya dua penenun tinggal satu orang," kata Irbab, pemilik Toko Tenun Ikat Mitra Warna itu.

Menurut dia, jika pekerja yang eksodus ke pabrik-pabrik PMA itu mau bekerja dengan jam kerja sama, pendapatan mereka relatif sama, bahkan bisa lebih banyak.
   
Nilai sosial

Namun, Irbab menggarisbawahi bahwa bekerja di pabrik PAM, bagi pekerja muda dirasakan punya nilai sosial lebih.

"Mereka pakai seragam, ruangan ber-AC, tidak kotor, dan gaji juga dibayar melalui rekening ber-ATM. Ada kesan modern, kantoran. Itu semua dianggap nilai lebih bekerja di pabrik PMA," katanya.

Sementara itu, bagi sebagian penenun yang tetap bertahan pada profesinya, mereka punya alasan spesifik karena jenis pekerjaan tersebut bisa dikerjakan di rumah sambil mengurus keluarga atau mengerjakan yang lain.

Pengrajin memang membekali ATBM yang bisa dibawa ke rumah. Jadi, penenun tinggal bawa benang dan mengerjakan sesuai motif yang diminta pemberi kerja.

Penenun bisa menghasilkan dua potong kain ukuran 1,3 meter x 3 meter, tapi bila mau lembur bisa menghasilkan tiga potong.

Dengan upah Rp30.000/potong, penenun menghasilkan Rp60.000/hari. Kalau bekerja 25 hari, sebulan menuai Rp1,5 juta. 

Upah tersebut di bawah UMK Jepara 2019 yang mencapai Rp1.879.031/bulan. 

Mengutip Teori Pertukaran Sosial, dalam sebuah hubungan sosial terdapat unsur imbalan, pengorbanan, dan keuntungan yang saling memengaruhi. Dalam konteks itulah eksodus tenaga kerja ke pabrik PMA bisa dipahami sebagai pilihan realistis dan rasional.

Oleh karena itu, keputusan angkatan kerja Desa Troso bekerja di pabrik-pabrik PMA merupakan pilihan rasional karena mereka mendapatkan imbalan lebih tinggi dan anggapan nilai sosial lebih tinggi bila bekerja di pabrik PMA.
  Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Troso, Haji Nasta'in (Foto: AZM)
Nasta'in dan Irbab mengakui karena pasokan terbatas maka belakangan ini jarang terjadi penumpukan stok tenun Troso, yang dulu bisa memicu penurunan harga atau mengganggu arus kas pengrajin.

Pemilik toko, galeri, butik, dan pengusaha bisa fokus meningkatkan mutu tenun hingga penciptaan motif khas tenun Troso.

"Itulah berkah di balik banyaknya pekerja yang 'lari' ke pabrik-pabrik PMA," kata Nasta'in.

Ia memperkirakan setiap bulan produksi tenun Troso mencapai 60.000 potong dengan omzet Rp7,8 miliar atau setahun sekitar Rp90 miliar. 

Untuk ukuran sebuah desa, perputaran uang sebanyak itu sungguh besar. Itu belum termasuk jenis usaha lain, seperti mebel yang juga tumbuh di Desa ini.

Sejak beberapa tahun lalu, aktivis Desa Troso lebih gencar mempromosikan desa ini dengan segala potensi dan unggulannya ke panggung Indonesia dan dunia.

Pilihan yang diambil adalah dengan menggelar festival. Pada 12-14 Juni tahun ini bakal digelar Troso Festival 2019, yang antara lain fokus mempromosikan tenun ATBM. 

Baca juga: 1.500 penenun Troso Jepara bakal torehkan rekor Muri
Baca juga: Kerajinan Tenun Troso Jepara Membutuhkan Regenerasi

Pewarta : Achmad Zaenal M
Editor : Mahmudah
Copyright © ANTARA 2024