Kotabaru (ANTARA) - Hari-harinya dihabiskan untuk mencetak calon "pejuang tanpa tanda jasa" dan dilakukan seorang wanita muda sejak 2014. Cita-citanya ingin mendapatkan amal sholeh dengan cara membagikan ilmu kepada mahasiswa.
Adalah Amalia Rezeki dosen Fakultas Pendidikan Biologi Universitas Lambung Mangkurat, tidak mau membuang-buang waktu luangnya habis begitu saja.
Ia ingin memanfaatkan modal waktu yang telah diberikan Allah subhanahu wa taala kepadanya itu menjadi berlipat-lipat manfaatnya melalui kecintaannya kepada sesama, lingkungan dan mahkluk lain, seperti bekantan.
Sebagai seorang dosen biologi, kecintaan Amalia Rezeki terhadap bekantan (Nasalis larvatus), satwa berhidung mancung itu sudah tak perlu diragukan lagi.
Sebagian besar hidupnya didedikasikan untuk melestarikan dan melindungi bekantan yang juga sebagai ikon kebanggaan Kalimantan Selatan.
Ia adalah perempuan pertama di Indonesia yang mendedikasikan diri dengan sungguh-sungguh dan konsisten sejak lima tahun ini yang bergerak melindungi bekantan dari kepunahan.
Dalam mendukung upayanya tersebut Amalia mendirikan Yayasan Sahabat Bekantan Indonesia (SBI), dengan misi selamatkan bekantan (save bekantan).
Usahanya ini tidak terlepas dari pembinaan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, melalui BKSDA Kalimantan Selatan.
Dedikasi terhadap pelestarian bekantan, bukanlah untuk sebuah apresiasi, melainkan bentuk tanggung jawab sebagai warga negara, keilmuan serta keimanan sebagai khalifah dimuka bumi dan untuk keberlanjutan generasi mendatang.
"Sebagai spesies kunci, menyelamatkan bekantan bagi kami, adalah menyelamatkan planet Bumi ini", tutur Amalia Rezeki yang juga mahasiswa semester akhir program doktoral lingkungan dari Universitas Lambung Mangkurat.
Pertama di dunia
Penerima penghargaan She Can Award 2015 di bidang pelestari lingkungan penyelamat bekantan ini, ternyata tidak saja mendirikan pusat penyelamatan, tapi juga membangun stasiun riset Bekantan dan ekosistem lahan basah, di kawasan Pulau Curiak - Barito Kuala. Untuk ini ia bekerja sama dengan perguruan almamaternya.
Stasiun riset sederhana ini diresmikan oleh Prof. Sutarto Hadi, Rektor Universitas Lambung Mangkurat dan Prof. Timothy Roberts Killgour dari University of New Castle Australia pada 2018.
Sebelumnya, putri tunggal itu bersama teman-temannya membangun laboratorium riset bekantan yang sekarang menjadi tempat magang bagi mahasiswa kedokteran hewan dari berbagai perguruan tinggi tidak saja dari dalam negeri, akan tetapi juga dari luar negeri.
Di sisi lain Amalia sadar bahwa menyelamatkan bekantan tidak bisa hanya melindungi satwanya, akan tetapi pentingnya juga menjaga habitat serta daya dukung kawasan bagi kelestarian hidup bekantan.
Untuk itu sejak 2014, ia melakukan gerakan Restorasi Mangrove Rambai (Sonneratia caseolaris), dengan membebaskan lahan-lahan yang dulunya adalah habitat bekantan dan kemudian berubah fungsi untuk dihutankan kembali.
Upaya ini mendapat dukungan dari berbagai pemangku kepentingan sehingga sudah ribuan pohon rambai yang merupakan pakan dan tegakan utama habitat Bekantan, ia tanam bersama teman-teman dan mahasiswanya serta masyarakat lokal.
Di kawasan ini pula ia mendirikan Mangrove Rambai Center (MRC) pertama di dunia. Kawasan yang tidak begitu luas itu, dibuatnya rumah mangrove, sebagai pusat informasi dan pembibitan mangrove Rambai.
Disamping itu terdapat juga arboretum mangrove yang menjadi kawasan percontohan tumbuhan khas lahan basah. Atas upayanya tersebut ia banyak mendapat apresiasi dari kalangan perguruan tinggi diluar negeri.
Sehingga setiap tahunnya ada beberapa perguruan tinggi luar negeri yang mengirim mahasiswanya untuk belajar tentang konservasi bekantan dan ekosistem lahan basah.
Perjuangan Amalia dalam melestarikan bekantan ternyata tidak luput dari berbagai rintangan dan cobaan. Upaya pelemahan dari pihak-pihak yang tidak senang dengan usahanya ini sering terjadi, tidak saja mengancam batin, tapi juga fisiknya.
Keteguhan dan kesabaran yang membuat ia tetap bertahan melindungi bekantan dari kepunahan. "Air mata boleh habis oleh kezaliman ini, tapi air keringat kami tak akan berhenti menetes membasahi tubuh dalam upaya penyelamatan bekantan dan planet Bumi ini," kata Amalia dengan mata berkaca-kaca.
Kesungguhan dan kesabarannya ini membuahkan hasil yang patut disyukuri bersama. Buah perjuangannya bersama tim di SBI, kini mulai tumbuh kepedulian yang nyata, baik dari pemerintah maupun masyarakat.
Kini masyarakat mulai turut menjaga Bekantan dan habitatnya. Begitu juga pemerintah daerah mulai mengeluarkan regulasi bagi penyelamatan Bekantan, termasuk mengembangkan pembangunan pariwisata berkelanjutan berbasiskan konservasi bekantan sebagai wahana rekreasi dan edukasi.
Atas upaya dan perjuangannya yang tak kenal lelah dalam melestarikan bekantan tersebut, dosen pendidikan biologi itu bersama tim di SBI pada peringatan hari rimbawan 2019, kembali mendapatkan penghargaan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI melalui BKSDA Kalsel yang diserahkan oleh H. Sahbirin Noor Gubernur Kalimantan Selatan sebagai pelestari bekantan.
"Setiap usaha itu tidak mudah, tapi jika kita sungguh-sungguh, ia juga tidak akan sia-sia. Selamatkan bekantan, selamatkan hutan kita. Mari bersama menjadi agen perubahan untuk menyelamatkan planet Bumi ini", kata kandidat doktor lingkungan itu.
Selain mengabdikan diri untuk membagi ilmunya di Universitas Lambung Mangkurat, Amalia adalah penggagas lahirnya Hari Bekantan yang kemudian dideklarasikan bersama Ketua DPRD Provinsi Kalimantan Selatan, Kepala BKSDA Kalimantan Selatan, Rektor Universitas Lambung Mangkurat, Bupati Barito Kuala, Ketua Kaukus Lingkungan Hidup Legislatif Kalimantan Selatan beserta berbagai komunitas lingkungan di Kalimantan Selatan pada 28 Maret 2015 di Kawasan Konservasi TWA Pulau Bakut, Barito Kuala, Kalimantan Selatan.
Hingga sekarang peringatan Hari Bekantan tidak hanya diperingati oleh secara regional, namun juga diperingati oleh para pecinta lingkungan secara nasional bahkan internasional.
Selama 2014-2019, BKSDA Kalsel bersama Yayasan SBI melakukan kegiatan evakuasi sebanyak 40 ekor bekantan.
Sementara yang sudah dilepasliarkan berjumlah 30 ekor, termasuk yang dilakukan pelepasliaran di Kawasan Konservasi Pulau Bakut, Kabupaten Barito Kuala, tahun 2017 bersama Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Salah satu Bekantan tersebut diberi nama Lola Amalia. Lola adalah lokasi pelepasliaran, sedangkan “Amalia” sebagai penghargaan atas dedikasi Amalia Rezeki dalam perlindungan pelestarian bekantan.
Adalah Amalia Rezeki dosen Fakultas Pendidikan Biologi Universitas Lambung Mangkurat, tidak mau membuang-buang waktu luangnya habis begitu saja.
Ia ingin memanfaatkan modal waktu yang telah diberikan Allah subhanahu wa taala kepadanya itu menjadi berlipat-lipat manfaatnya melalui kecintaannya kepada sesama, lingkungan dan mahkluk lain, seperti bekantan.
Sebagai seorang dosen biologi, kecintaan Amalia Rezeki terhadap bekantan (Nasalis larvatus), satwa berhidung mancung itu sudah tak perlu diragukan lagi.
Sebagian besar hidupnya didedikasikan untuk melestarikan dan melindungi bekantan yang juga sebagai ikon kebanggaan Kalimantan Selatan.
Ia adalah perempuan pertama di Indonesia yang mendedikasikan diri dengan sungguh-sungguh dan konsisten sejak lima tahun ini yang bergerak melindungi bekantan dari kepunahan.
Dalam mendukung upayanya tersebut Amalia mendirikan Yayasan Sahabat Bekantan Indonesia (SBI), dengan misi selamatkan bekantan (save bekantan).
Usahanya ini tidak terlepas dari pembinaan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, melalui BKSDA Kalimantan Selatan.
Dedikasi terhadap pelestarian bekantan, bukanlah untuk sebuah apresiasi, melainkan bentuk tanggung jawab sebagai warga negara, keilmuan serta keimanan sebagai khalifah dimuka bumi dan untuk keberlanjutan generasi mendatang.
"Sebagai spesies kunci, menyelamatkan bekantan bagi kami, adalah menyelamatkan planet Bumi ini", tutur Amalia Rezeki yang juga mahasiswa semester akhir program doktoral lingkungan dari Universitas Lambung Mangkurat.
Pertama di dunia
Penerima penghargaan She Can Award 2015 di bidang pelestari lingkungan penyelamat bekantan ini, ternyata tidak saja mendirikan pusat penyelamatan, tapi juga membangun stasiun riset Bekantan dan ekosistem lahan basah, di kawasan Pulau Curiak - Barito Kuala. Untuk ini ia bekerja sama dengan perguruan almamaternya.
Stasiun riset sederhana ini diresmikan oleh Prof. Sutarto Hadi, Rektor Universitas Lambung Mangkurat dan Prof. Timothy Roberts Killgour dari University of New Castle Australia pada 2018.
Sebelumnya, putri tunggal itu bersama teman-temannya membangun laboratorium riset bekantan yang sekarang menjadi tempat magang bagi mahasiswa kedokteran hewan dari berbagai perguruan tinggi tidak saja dari dalam negeri, akan tetapi juga dari luar negeri.
Di sisi lain Amalia sadar bahwa menyelamatkan bekantan tidak bisa hanya melindungi satwanya, akan tetapi pentingnya juga menjaga habitat serta daya dukung kawasan bagi kelestarian hidup bekantan.
Untuk itu sejak 2014, ia melakukan gerakan Restorasi Mangrove Rambai (Sonneratia caseolaris), dengan membebaskan lahan-lahan yang dulunya adalah habitat bekantan dan kemudian berubah fungsi untuk dihutankan kembali.
Upaya ini mendapat dukungan dari berbagai pemangku kepentingan sehingga sudah ribuan pohon rambai yang merupakan pakan dan tegakan utama habitat Bekantan, ia tanam bersama teman-teman dan mahasiswanya serta masyarakat lokal.
Di kawasan ini pula ia mendirikan Mangrove Rambai Center (MRC) pertama di dunia. Kawasan yang tidak begitu luas itu, dibuatnya rumah mangrove, sebagai pusat informasi dan pembibitan mangrove Rambai.
Disamping itu terdapat juga arboretum mangrove yang menjadi kawasan percontohan tumbuhan khas lahan basah. Atas upayanya tersebut ia banyak mendapat apresiasi dari kalangan perguruan tinggi diluar negeri.
Sehingga setiap tahunnya ada beberapa perguruan tinggi luar negeri yang mengirim mahasiswanya untuk belajar tentang konservasi bekantan dan ekosistem lahan basah.
Perjuangan Amalia dalam melestarikan bekantan ternyata tidak luput dari berbagai rintangan dan cobaan. Upaya pelemahan dari pihak-pihak yang tidak senang dengan usahanya ini sering terjadi, tidak saja mengancam batin, tapi juga fisiknya.
Keteguhan dan kesabaran yang membuat ia tetap bertahan melindungi bekantan dari kepunahan. "Air mata boleh habis oleh kezaliman ini, tapi air keringat kami tak akan berhenti menetes membasahi tubuh dalam upaya penyelamatan bekantan dan planet Bumi ini," kata Amalia dengan mata berkaca-kaca.
Kesungguhan dan kesabarannya ini membuahkan hasil yang patut disyukuri bersama. Buah perjuangannya bersama tim di SBI, kini mulai tumbuh kepedulian yang nyata, baik dari pemerintah maupun masyarakat.
Kini masyarakat mulai turut menjaga Bekantan dan habitatnya. Begitu juga pemerintah daerah mulai mengeluarkan regulasi bagi penyelamatan Bekantan, termasuk mengembangkan pembangunan pariwisata berkelanjutan berbasiskan konservasi bekantan sebagai wahana rekreasi dan edukasi.
Atas upaya dan perjuangannya yang tak kenal lelah dalam melestarikan bekantan tersebut, dosen pendidikan biologi itu bersama tim di SBI pada peringatan hari rimbawan 2019, kembali mendapatkan penghargaan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI melalui BKSDA Kalsel yang diserahkan oleh H. Sahbirin Noor Gubernur Kalimantan Selatan sebagai pelestari bekantan.
"Setiap usaha itu tidak mudah, tapi jika kita sungguh-sungguh, ia juga tidak akan sia-sia. Selamatkan bekantan, selamatkan hutan kita. Mari bersama menjadi agen perubahan untuk menyelamatkan planet Bumi ini", kata kandidat doktor lingkungan itu.
Selain mengabdikan diri untuk membagi ilmunya di Universitas Lambung Mangkurat, Amalia adalah penggagas lahirnya Hari Bekantan yang kemudian dideklarasikan bersama Ketua DPRD Provinsi Kalimantan Selatan, Kepala BKSDA Kalimantan Selatan, Rektor Universitas Lambung Mangkurat, Bupati Barito Kuala, Ketua Kaukus Lingkungan Hidup Legislatif Kalimantan Selatan beserta berbagai komunitas lingkungan di Kalimantan Selatan pada 28 Maret 2015 di Kawasan Konservasi TWA Pulau Bakut, Barito Kuala, Kalimantan Selatan.
Hingga sekarang peringatan Hari Bekantan tidak hanya diperingati oleh secara regional, namun juga diperingati oleh para pecinta lingkungan secara nasional bahkan internasional.
Selama 2014-2019, BKSDA Kalsel bersama Yayasan SBI melakukan kegiatan evakuasi sebanyak 40 ekor bekantan.
Sementara yang sudah dilepasliarkan berjumlah 30 ekor, termasuk yang dilakukan pelepasliaran di Kawasan Konservasi Pulau Bakut, Kabupaten Barito Kuala, tahun 2017 bersama Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Salah satu Bekantan tersebut diberi nama Lola Amalia. Lola adalah lokasi pelepasliaran, sedangkan “Amalia” sebagai penghargaan atas dedikasi Amalia Rezeki dalam perlindungan pelestarian bekantan.