Banyumas (ANTARA) - Gerakan "people power" yang kontraproduktif atau tidak menguntungkan merupakan tindakan bertentangan dengan ajaran agama Islam, kata Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Banyumas Kiai Haji Khariri Shofa.

"'People power' biasa diartikan pengerahan massa. Pengerahan massa itu kalau dalam pengertian yang biasa berlaku sangat tergantung siapa yang mengatakan tujuannya untuk apa, lalu caranya bagaimana," katanya di Desa Dukuhwaluh, Kecamatan Kembaran, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Selasa.

Pimpinan Pondok Pesantren Darussalam Dukuhwaluh itu mengaku beberapa waktu lalu pihaknya memberangkatkan santri sebanyak dua bus ke Semarang untuk menghadiri acara doa bersama para kiai, Kepolisian Daerah Jawa Tengah, dan sebagainya.

Menurut dia, pemberangkatan santri tersebut juga merupakan "people power". Namun, tujuannya untuk berdoa dan membangunkan keselamatan.

"Nah, (people power) yang sementara ini beredar tampaknya, kalau saya melihat konteksnya itu, orang yang mengatakan ada prolog seperti ketidakpuasan terhadap pemilu. Yang kedua nada-nadanya seperti nada-nada orang marah, kemudian momennya momen yang dalam bahasa kita, orang-orang itu ada bahasa-bahasa pemilu itu banyak kecurangan," katanya.

Terkait dengan hal itu, dia menduga pengerahan kekuatan massa yang akan dilakukan sekelompok orang pada tanggal 22 Mei 2019 diarahkan untuk menuntut sesuatu.

Jika pengerahan kekuatan massa tersebut tidak terkendali, menurut dia, bisa mengakibatkan sesuatu yang kontraproduktif atau tidak menguntungkan.

"Bisa jadi massa yang tidak terkendali (akan) melakukan sesuatu yang merugikan diri sendiri, merugikan masyarakat, merugikan orang banyak. Oleh karena itu, kalau menurut saya, perlu di-'clear'-kan dahulu, yang mengatakan itu siapa, bagaimana, tujuannya mau apa, caranya bagaimana, dan kalau akan mengerahkan itu (massa, red.), untuk apa, artinya dalam masalah apa, dalam konteks apa," kata dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto itu.

Ia mengatakan jika pengerahan massa ditujukan untuk mengemukakan pendapat atau menyampaikan aspirasi, hal itu sah-sah saja karena dijamin oleh undang-undang asalkan sesuai dengan prosedur, antara lain, menyampaikan izin, tidak mengganggu ketertiban umum, dan tidak merusak atau tidak melakukan kegiatan yang kontraproduktif.

Oleh karena itu, kata dia, pengerahan massa yang kontraproduktif merupakan tindakan yang bertentangan dengan ajaran Islam karena agama ini melarang umatnya melakukan kerusakan di muka bumi.

"Islam adalah agama 'rahmatan lilalamin', bagaimana kehadirannya membawa rahmat dan kebahagiaan. Kalau kehadirannya mencekam dan menimbulkan ancaman atau ketakutan, jelas itu berlawanan dengan syariat," katanya.

Khariri menegaskan bahwa pengerahan kekuatan massa yang tidak boleh dilakukan adalah "people power" yang bukan ditujukan untuk kemaslahatan, disampaikan dengan cara emosional atau tidak tulus, dan bisa menimbulkan masalah lain di tengah masyarakat yang dapat membawa kemudaratan.

Terkait dengan gerakan "people power" yang akan digalang pada tanggal 22 Mei 2019 oleh sekelompok orang, dia mengatakan bahwa hal itu mereka lakukan karena seolah-olah Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) melakukan banyak kecurangan.

"Menurut saya, umat Islam maupun warga masyarakat, kita itu negara hukum, kalau memang ada bukti kecurangan, mungkin caranya bukan dengan mengerahkan massa," katanya.

Jika ada bukti-bukti kecurangan, dilaporkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena dapat diproses dengan transparan.

Menurut dia, masyarakat pun bisa protes jika ternyata hakim tidak benar dalam memproses laporan tersebut meskipun bukti-bukti kecurangannya sudah jelas dan lengkap.

"Apakah itu betul-betul kecurangan ataukah kekurangan? Ini yang perlu diperjelas. Kalau kecurangan itu 'kan mungkin ada unsur kesengajaan. Akan tetapi, kalau kekurangan, siapa, sih, manusia di muka bumi ini yang tidak punya kekurangan," katanya.

Jika kekurangan tersebut karena adanya kesalahan penulisan, misalnya angka 3 menjadi 8 atau angkanya tidak jelas, hal itu bisa dicek karena ada saksi dari masing-masing partai maupun kontestan di tingkat tempat pemungutan suara, panitia pemilihan kecamatan, KPU kabupaten/kota, KPU provinsi, hingga KPU RI.

Menurut dia, kecil kemungkinan adanya kecurangan yang dilakukan secara masif mulai dari TPS hingga pusat karena nantinya pun akan ketahuan.

"Kekurangan atau salah memasukkan data dan saya kira bisa diperbaiki mana yang salah. Kalau kecurangan dalam artian secara struktural, itu orang-orang KPU dan Bawaslu bunuh diri," katanya.

Menyinggung mengenai kemungkinan adanya santri atau warga Banyumas yang akan bergabung dalam gerakan "people power" pada tanggal 22 Mei 2019, Khariri mengatakan bahwa kecil kemungkinan hal tersebut terjadi di Banyumas. Hal ini berdasarkan diskusi dirinya dengan sejumlah pihak.

"Saya sering diskusi dengn para santri, mereka memiliki pandangan kapan ini selesainya dan kapan membangunnya. Insyaallah, di Banyumas akan tetap aman saja," katanya. ***2***

Pewarta : Sumarwoto
Editor : Mahmudah
Copyright © ANTARA 2024