Semarang (ANTARA) - Pemangku kepentingan (khususnya DPR RI dan pemerintah) dalam pembentukan dan/atau revisi undang-undang pemilihan umum perlu memperhatikan putusan Mahkamah Konstitusi yang telah menganulir sejumlah pasal dalam UU Pemilu sebelumnya.
Mereka pun harus menaati Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan agar produk hukumnya aplikatif, terutama bagi pemangku kepentingan dalam pemilu, seperti penyelenggara pemilu, peserta pemilu, pemilih, dan kementerian/lembaga.
Penetapan pemenang di antara dua pasangan calon peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden RI 2019, misalnya, di dalam UU No. 7/2017 tentang Pemilu masih ada persyaratan persebaran meski Putusan MK No.50/PUU-XII/2014 sudah meniadakan ketentuan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia jika kontestannya hanya dua paslon.
Putusan MK tersebut intinya Pasal 159 Ayat (1) UU No. 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai tidak berlaku untuk pasangan calon presiden dan wakil presiden yang hanya terdiri atas dua pasangan calon.
Namun, dalam Pasal 416 UU No.7/2017 disebutkan bahwa pasangan calon terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden RI dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.
Seharusnya di dalam Pasal 416 ada tambahan satu ayat yang intinya bahwa peserta pilpres yang diikuti dua pasangan calon yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai presiden dan wakil presiden. Hal ini selaras dengan Putusan MK No.50/PUU-XII/2014.
Undang-undang yang diterapkan pada Pemilu 2019, khususnya Pemilu Presiden dan Wakil Presiden RI, pasal tersebut hanya berlaku untuk pemilihan umum dengan jumlah kontestan lebih dari dua pasang calon. Sementara itu, Pilpres 2019 diikuti dua paslon: Pasangan Nomor Urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Pasangan Nomor Urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Di dalam Pasal 416 Ayat (2), misalnya, disebutkan bahwa dalam hal tidak ada pasangan calon terpilih sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Ayat berikutnya, dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh dua pasangan calon, kedua pasangan calon tersebut dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Ayat (4) disebutkan bahwa dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh tiga pasangan calon atau lebih, penentuan peringkat pertama dan kedua dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih, luas secara berjenjang.
Ayat terakhir dalam pasal tersebut menyebutkan bahwa dalam hal perolehan suara terbanyak kedua dengan jumlah yang sama diperoleh oleh lebih dari satu pasangan calon, penentuannya dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang.
Versi PKPU
Kendati di dalam UU Pemilu tidak ada, Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) memasukkan ketentuan itu dalam Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum.
Di dalam Pasal 3 Ayat (7) PKPU No.5/2019 disebutkan bahwa dalam hal hanya terdapat dua pasangan calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU menetapkan pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai pasangan calon terpilih.
Meski ketentuan tersebut tidak ada di dalam UU Pemilu, tampaknya belum ada pihak yang mengajukan permohonan uji materi PKPU tersebut ke Mahkamah Agung di tengah KPU melakukan rekapitulasi hasil pemilu serentak, 17 April 2019. PKPU ini justru selaras dengan Putusan MK No.50/PUU-XII/2014 dan UUD NRI Tahun 1945.
Menurut Mahkamah, dalam amar Putusan MK No.50/PUU-XII/2014, Pasal 159 Ayat (1) UU No. 42/2008 harus dimaknai apabila terdapat lebih dari dua pasangan calon presiden dan wakil Presiden. Artinya, jika hanya ada dua pasangan calon, paslon yang terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 6A Ayat (4) UUD NRI Tahun 1945. Dengan demikian, tidak perlu dilakukan pemilihan langsung oleh rakyat pada pemilihan kedua.
Dalam Pasal 6A Ayat (4) disebutkan bahwa dalam hal tidak ada pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai presiden dan wakil presiden.
Agar UU Pemilu meminimalkan persoalan yang mungkin muncul pada masa depan, undang-undang yang akan mengatur Pemilu 2024 perlu memperhatikan putusan MK.
Hal ini mengingat dua kontestan saling mengklaim memenangi Pilpres 2019, bahkan sempat mengemuka ke tengah publik soal persebaran perolehan suara masing-masing paslon di tingkat provinsi berdasarkan UU No. 7/2017.
Mereka pun harus menaati Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan agar produk hukumnya aplikatif, terutama bagi pemangku kepentingan dalam pemilu, seperti penyelenggara pemilu, peserta pemilu, pemilih, dan kementerian/lembaga.
Penetapan pemenang di antara dua pasangan calon peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden RI 2019, misalnya, di dalam UU No. 7/2017 tentang Pemilu masih ada persyaratan persebaran meski Putusan MK No.50/PUU-XII/2014 sudah meniadakan ketentuan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia jika kontestannya hanya dua paslon.
Putusan MK tersebut intinya Pasal 159 Ayat (1) UU No. 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai tidak berlaku untuk pasangan calon presiden dan wakil presiden yang hanya terdiri atas dua pasangan calon.
Namun, dalam Pasal 416 UU No.7/2017 disebutkan bahwa pasangan calon terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden RI dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.
Seharusnya di dalam Pasal 416 ada tambahan satu ayat yang intinya bahwa peserta pilpres yang diikuti dua pasangan calon yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai presiden dan wakil presiden. Hal ini selaras dengan Putusan MK No.50/PUU-XII/2014.
Undang-undang yang diterapkan pada Pemilu 2019, khususnya Pemilu Presiden dan Wakil Presiden RI, pasal tersebut hanya berlaku untuk pemilihan umum dengan jumlah kontestan lebih dari dua pasang calon. Sementara itu, Pilpres 2019 diikuti dua paslon: Pasangan Nomor Urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Pasangan Nomor Urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Di dalam Pasal 416 Ayat (2), misalnya, disebutkan bahwa dalam hal tidak ada pasangan calon terpilih sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Ayat berikutnya, dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh dua pasangan calon, kedua pasangan calon tersebut dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Ayat (4) disebutkan bahwa dalam hal perolehan suara terbanyak dengan jumlah yang sama diperoleh oleh tiga pasangan calon atau lebih, penentuan peringkat pertama dan kedua dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih, luas secara berjenjang.
Ayat terakhir dalam pasal tersebut menyebutkan bahwa dalam hal perolehan suara terbanyak kedua dengan jumlah yang sama diperoleh oleh lebih dari satu pasangan calon, penentuannya dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara yang lebih luas secara berjenjang.
Versi PKPU
Kendati di dalam UU Pemilu tidak ada, Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) memasukkan ketentuan itu dalam Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum.
Di dalam Pasal 3 Ayat (7) PKPU No.5/2019 disebutkan bahwa dalam hal hanya terdapat dua pasangan calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU menetapkan pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai pasangan calon terpilih.
Meski ketentuan tersebut tidak ada di dalam UU Pemilu, tampaknya belum ada pihak yang mengajukan permohonan uji materi PKPU tersebut ke Mahkamah Agung di tengah KPU melakukan rekapitulasi hasil pemilu serentak, 17 April 2019. PKPU ini justru selaras dengan Putusan MK No.50/PUU-XII/2014 dan UUD NRI Tahun 1945.
Menurut Mahkamah, dalam amar Putusan MK No.50/PUU-XII/2014, Pasal 159 Ayat (1) UU No. 42/2008 harus dimaknai apabila terdapat lebih dari dua pasangan calon presiden dan wakil Presiden. Artinya, jika hanya ada dua pasangan calon, paslon yang terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 6A Ayat (4) UUD NRI Tahun 1945. Dengan demikian, tidak perlu dilakukan pemilihan langsung oleh rakyat pada pemilihan kedua.
Dalam Pasal 6A Ayat (4) disebutkan bahwa dalam hal tidak ada pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai presiden dan wakil presiden.
Agar UU Pemilu meminimalkan persoalan yang mungkin muncul pada masa depan, undang-undang yang akan mengatur Pemilu 2024 perlu memperhatikan putusan MK.
Hal ini mengingat dua kontestan saling mengklaim memenangi Pilpres 2019, bahkan sempat mengemuka ke tengah publik soal persebaran perolehan suara masing-masing paslon di tingkat provinsi berdasarkan UU No. 7/2017.