Semarang (ANTARA) - Betapa mahal mencari seorang pemimpin legitimate yang dihasillkan dalam mekanisme demokrasi bernama pemilu.
Hajatan demokrasi bernama Pemilu 2019 bukan saja mahal dari sisi uang, yakni menelan sekitar Rp25 triliun, melainkan juga menyerap energi tenaga dan pikiran yang demikian besar selama 7 bulan masa kampanye.
Dari sisi penyelenggaraan, sampai saat ini dilaporkan 52 petugas KPPS wafat. Sungguh kehilangan yang sangat banyak untuk sebuah pesta yang seharusnya tidak dibayar dengan kehilangan nyawa sebanyak itu.
Saling ejek, tuduhan, penyebaran kabar bohong (hoaks), fitnah, dan sisi gelap lain dari kedua kubu sudah berlangsung jauh lebih lama dibandingkan masa kampanye resmi itu sendiri.
Tidak sedikit dari para pendukung calon presiden dan wakil presiden, melalui tulisan dan ucapannya, akhirnya berurusan dengan hukum. Bahkan ada yang mendekam di bui karena dinyatakan bersalah oleh pengadilan.
Sepanjang yang terlintas di jagat dunia media sosial, seolah masyarakat Indonesia sudah terbelah menjadi dua: kelompok Cebong dan Kampret.
Cebong merujuk pada pendukung fanatik Capres-Cawapres Joko Widodo dan Ma'ruf Amin, sedangkan Kampret disematkan pada kelompok militan pro-Prabowo Subianto dan Sandiaga S. Uno.
Sebutan dua kelompok yang jauh dari ungkapan nyaman di mata dan telinga itu terus berlangsung hingga Pemilu 2019 usai. Hitung cepat beberapa jam setelah pencoblosan usai malah menambah panas kedua kubu.
Ada yang percaya hitung cepat sebagai cerminan hasil penghitungan suara, ada pula yang menegasikannya. Bahkan, Prabowo -- berdasarkan hitung cepat versinya -- malah sudah mendeklarasikan kemenangannya.
Sebagai metode ilmiah, hitung cepat di negara demokrasi memang sah dan mendapat tempat. Akan tetapi, hasil akhir paling legitimate tetap harus menunggu penghitungan oleh KPU pada bulan mendatang.
Dalam situasi panas tersebut para elite bukannya meredakan tensi politik, melainkan terus mengambil keuntungan atas kesalahan/kekeliruan pihak lain.
Menghadapi kondisi tersebut sudah selayaknya elite ikut meredakan tensi politik yang cenderung memanas pascapencoblosan. Kita tidak ingin memanasnya suhu politik tersebut kian melebarkan jarak anak bangsa yang berbeda pilihan politik.
Sudah saatnya elite menjadi bagian penting merekatkan ikatan anak bangsa. Jangan menambah luka, apalagi membuat luka baru.
Pemilu pasca-Reformasi 1999, 2004, 2009, dan 2014 yang relatif aman namun dinamis seharusnya menjadi cermin bagi elite bahwa rakyat Indonesia sebenarnya bisa bersikap dan berperilaku demokratis, legawa menerima kemenangan pihak lain tanpa ada dendam tak berkesudahan.
Siapa pun nanti yang dinyatakan sebagai pemenang dalam Pemilu 2019, layak mendapat apresiasi karena merekalah yang mendapat kepercayaan dari rakyat.
Kalaupun ada kecurangan, biarkan hukum yang bekerja untuk menyelesaikannya. ***
Hajatan demokrasi bernama Pemilu 2019 bukan saja mahal dari sisi uang, yakni menelan sekitar Rp25 triliun, melainkan juga menyerap energi tenaga dan pikiran yang demikian besar selama 7 bulan masa kampanye.
Dari sisi penyelenggaraan, sampai saat ini dilaporkan 52 petugas KPPS wafat. Sungguh kehilangan yang sangat banyak untuk sebuah pesta yang seharusnya tidak dibayar dengan kehilangan nyawa sebanyak itu.
Saling ejek, tuduhan, penyebaran kabar bohong (hoaks), fitnah, dan sisi gelap lain dari kedua kubu sudah berlangsung jauh lebih lama dibandingkan masa kampanye resmi itu sendiri.
Tidak sedikit dari para pendukung calon presiden dan wakil presiden, melalui tulisan dan ucapannya, akhirnya berurusan dengan hukum. Bahkan ada yang mendekam di bui karena dinyatakan bersalah oleh pengadilan.
Sepanjang yang terlintas di jagat dunia media sosial, seolah masyarakat Indonesia sudah terbelah menjadi dua: kelompok Cebong dan Kampret.
Cebong merujuk pada pendukung fanatik Capres-Cawapres Joko Widodo dan Ma'ruf Amin, sedangkan Kampret disematkan pada kelompok militan pro-Prabowo Subianto dan Sandiaga S. Uno.
Sebutan dua kelompok yang jauh dari ungkapan nyaman di mata dan telinga itu terus berlangsung hingga Pemilu 2019 usai. Hitung cepat beberapa jam setelah pencoblosan usai malah menambah panas kedua kubu.
Ada yang percaya hitung cepat sebagai cerminan hasil penghitungan suara, ada pula yang menegasikannya. Bahkan, Prabowo -- berdasarkan hitung cepat versinya -- malah sudah mendeklarasikan kemenangannya.
Sebagai metode ilmiah, hitung cepat di negara demokrasi memang sah dan mendapat tempat. Akan tetapi, hasil akhir paling legitimate tetap harus menunggu penghitungan oleh KPU pada bulan mendatang.
Dalam situasi panas tersebut para elite bukannya meredakan tensi politik, melainkan terus mengambil keuntungan atas kesalahan/kekeliruan pihak lain.
Menghadapi kondisi tersebut sudah selayaknya elite ikut meredakan tensi politik yang cenderung memanas pascapencoblosan. Kita tidak ingin memanasnya suhu politik tersebut kian melebarkan jarak anak bangsa yang berbeda pilihan politik.
Sudah saatnya elite menjadi bagian penting merekatkan ikatan anak bangsa. Jangan menambah luka, apalagi membuat luka baru.
Pemilu pasca-Reformasi 1999, 2004, 2009, dan 2014 yang relatif aman namun dinamis seharusnya menjadi cermin bagi elite bahwa rakyat Indonesia sebenarnya bisa bersikap dan berperilaku demokratis, legawa menerima kemenangan pihak lain tanpa ada dendam tak berkesudahan.
Siapa pun nanti yang dinyatakan sebagai pemenang dalam Pemilu 2019, layak mendapat apresiasi karena merekalah yang mendapat kepercayaan dari rakyat.
Kalaupun ada kecurangan, biarkan hukum yang bekerja untuk menyelesaikannya. ***