Semarang (ANTARA) - Mantan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Rizal Ramli menilai Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Nomor 11 Tahun 2008 harus direvisi karena sudah mengarah pada pemberangusan demokrasi.
Menurut Rizal Ramli di Semarang, Sabtu, siapa pun nanti presiden yang terpilih harus melakukan revisi terhadap undang-undang tersebut.
"Siapa pun presidennya, UU ITE harus direvisi. Jika memang UU ITE digunakan untuk memerangi kejahatan keuangan, kejahatan terorisme, kejahatan seksual lewat internet, dan kejahatan elektronika lainnya, kami setuju. Akan tetapi kami tidak setuju jika undang-undang tesebut untuk memberangus demokrasi," katanya.
Dia menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi hasil perjuangan panjang dan tidak ingin ada banyak pasal karet yang justru memberangusnya.
Rizal Ramli menilai dengan UU ITE tersebut menjadikan indeks demokrasi Indonesia terus merosot, yakni pada tahun 2014 indeks demokrasi Indonesia nomor 49, tetapi tahun 2019 indeks demokrasi Indonesia anjlok pada nomor 65 atau anjlok 16 tingkat.
"Kalau dibiarkan terur menerus, demokrasi yang dulu diperjuangkan dengan susah payah digerogoti pelan-pelan, kami menghawatirkan tahun-tahun selanjutnya indeks demokrasi Indonesia terus anjlok," katanya.
Untuk melakukan revisi UU ITE, Rizal mengaku telah menyampaikan kepada kedua calon presiden dan berjanji di media sosial, sehingga ada jejak digital dan masyarakat dapat menagih janji tersebut.
Menurut Rizal, dari pengajuan pertanyaan ke masing-masing calon presiden dan tim, baru calon presiden nomor 02 yang memberikan jawaban dan berjanji akan melakukan revisi UU ITE.
Dalam kesempatan tersebut, Rizal Ramli juga membahas banyak hal yang perlu dilakukan Indonesia demi perubahan yang lebih baik hingga prediksi debat cawapres mendatang, menurutnya Sandiaga Uno akan serba salah menghadapi cawapres Ma'ruf Amin.
Di Semarang, Rizal Ramli mendapat undangan untuk menghadiri dan berbicara pada diskusi yang diadakan oleh organisasi buruh dan nelayan yang diselenggaran di GOR Hasanuddin dan TBRS.
Akan tetapi, menjelang pelaksanaan izin di dua tempat tersebut ditolak dengan alasan digunakan untuk kegiatan lain, sehingga kegiatan dialihkan ke Kantor DPD Gerindra Jateng.
Menurut Rizal Ramli di Semarang, Sabtu, siapa pun nanti presiden yang terpilih harus melakukan revisi terhadap undang-undang tersebut.
"Siapa pun presidennya, UU ITE harus direvisi. Jika memang UU ITE digunakan untuk memerangi kejahatan keuangan, kejahatan terorisme, kejahatan seksual lewat internet, dan kejahatan elektronika lainnya, kami setuju. Akan tetapi kami tidak setuju jika undang-undang tesebut untuk memberangus demokrasi," katanya.
Dia menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi hasil perjuangan panjang dan tidak ingin ada banyak pasal karet yang justru memberangusnya.
Rizal Ramli menilai dengan UU ITE tersebut menjadikan indeks demokrasi Indonesia terus merosot, yakni pada tahun 2014 indeks demokrasi Indonesia nomor 49, tetapi tahun 2019 indeks demokrasi Indonesia anjlok pada nomor 65 atau anjlok 16 tingkat.
"Kalau dibiarkan terur menerus, demokrasi yang dulu diperjuangkan dengan susah payah digerogoti pelan-pelan, kami menghawatirkan tahun-tahun selanjutnya indeks demokrasi Indonesia terus anjlok," katanya.
Untuk melakukan revisi UU ITE, Rizal mengaku telah menyampaikan kepada kedua calon presiden dan berjanji di media sosial, sehingga ada jejak digital dan masyarakat dapat menagih janji tersebut.
Menurut Rizal, dari pengajuan pertanyaan ke masing-masing calon presiden dan tim, baru calon presiden nomor 02 yang memberikan jawaban dan berjanji akan melakukan revisi UU ITE.
Dalam kesempatan tersebut, Rizal Ramli juga membahas banyak hal yang perlu dilakukan Indonesia demi perubahan yang lebih baik hingga prediksi debat cawapres mendatang, menurutnya Sandiaga Uno akan serba salah menghadapi cawapres Ma'ruf Amin.
Di Semarang, Rizal Ramli mendapat undangan untuk menghadiri dan berbicara pada diskusi yang diadakan oleh organisasi buruh dan nelayan yang diselenggaran di GOR Hasanuddin dan TBRS.
Akan tetapi, menjelang pelaksanaan izin di dua tempat tersebut ditolak dengan alasan digunakan untuk kegiatan lain, sehingga kegiatan dialihkan ke Kantor DPD Gerindra Jateng.