Ada hal menarik yang mungkin bisa ditanyakan para panelis saat debat capres terkait dengan infrastruktur, Minggu (17/2) malam. Pertanyaannya sederhana saja, pembangunan infrastruktur itu sebenarnya untuk siapa?

   Setiap capres pastinya telah menyiapkan visi, misi, dan programnya terkait dengan pembangunan kota dan infrastruktur. Sang petahana bahkan telah bekerja keras untuk mewujudkannya. Sementara itu, sang penantang pun takkalah gesit, menyampaikan rencana-rencananya.

   Namun, apakah sudah benar-benar dikaji, sebenarnya untuk siapa pembangunan infrastruktur tersebut? Untuk siapa pembangunan jalan, MRT (mass rapid transit), terminal, pelabuhan, kawasan perumahan dan permukiman, serta pusat bisnis dalam sebuah kota? Apakah gegap gempita pembangunan infrastruktur tersebut berdampak bagi peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup mayoritas rakyat Indonesia?

   Data World Bank menunjukkan 60 persen keluarga di Indonesia  berpenghasilan di bawah Rp2,5 juta per bulan. Dengan penghasilan sebesar itu, sudah bisa dipastikan mereka akan makin termarginalkan bila pemerintah takhadir di sana. Mereka akan tinggal makin jauh dari layanan serta sarana dan prasarana pembangunan infrastruktur kota. Mayoritas masyarakat ini terdesak makin ke tepi karena takmampu mengakses lahan di daerah pusat perkotaan.

   Bagaimana tidak terdesak ke tepi? Kenaikan harga rumah makin tak terkejar dengan pendapatan masyarakat. Bahkan, rumah yang disubsidi pemerintah saja sudah jauh melambung naik harganya dibandingkan dengan tingkat kenaikan upah minimum provinsi (UMP). Apalagi, rumah nonsubsidi yang murni dikembangkan swasta. Harganya makin menggila dan tak terbeli oleh kebanyakan masyarakat. Kecuali masyarakat kalangan atas tentunya.

   Sebagai ilustrasi, harga tipe rumah sederhana (RS) dan rumah sangat sederhana (RSS) pada tahun 1997/1998 senilai Rp5,9 juta dan Rp4,2 juta. Pada tahun 2009/2010 harganya sudah melonjak menjadi Rp80 juta dan Rp55 juta. Berarti dalam jangka waktu 10 tahun, terjadi kenaikan rumah bersubsidi hingga 1.500 persen. Sementara itu, kenaikan UMP rata-rata di Indonesia hanya mencapai 86,9 persen dalam periode yang sa (Sasono, 2012).

   Pada tahun 2019, rumah bersubsidi ditetapkan oelh Pemerintah, bahkan harganya sudah mencapai Rp140 juta. Harga yang cukup fantastis untuk dijangkau oleh mayoritas keluarga Indonesia.
       
              Urban Sprawl
   Maka, takheran jika terjadi fenomena urban sprawl. Makin marak tumbuhnya kawasan-kawasan perkotaan baru yang pembangunannya tak tertata, tersegregasi, acak, dan serampangan di daerah-daerah pinggiran atau perdesaan. Hal ini berdampak pada ekonomi biaya tinggi, boros energi, dan tidak berkelanjutan.

   Masalah polusi pun mulai datang menghampiri. Sumber daya alam terus tergerus. Sementara itu, akses layanan ke pusat kota makin jauh untuk ditempuh dan tak terhubung baik dengan moda transportasi publik.

   Rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang dirancang akhirnya banyak yang tidak sesuai dengan kondisi lapangan. Lahan pertanian banyak yang beralih fungsi menjadi kawasan permukiman.

   Alhasil kualitas hidup masyarakat makin menurun. Modal sosial makin merosot. Masyarakat makin tersegregasi dalam kelas-kelas sosial ekonomi tertentu. Permasalahan menjadi makin kompleks.

   Permukiman kumuh pun menjadi wajah kota-kota kita saat ini. Makin mudah kita menemukannya di berbagai sudut tanah air.

   Jaringan jalannya, saluran air (drainase), jaringan air limbah, sistem sanitasi, dan air bersih tidak memenuhi kelayakan secara teknis.

   Kembali ke pertanyaan sebelumnya. Jadi, sebenarnya untuk siapa pembangunan infrastruktur tersebut?

   Jawaban idealnya, pembangunan infrastruktur adalah untuk seluruh kalangan masyarakat Indonesia. Bukan hanya menyasar segelintir kalangan atas, melainkan juga berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat berpenghasilan rendah yang notabene mayoritas di negeri ini. Dengan demikian, semua masyarakat tanpa kecuali bisa menikmati pembangunan infrastruktur yang dibiayai APBN.

   Untuk mewujudkan hal tersebut, setidaknya ada empat syarat utama yang harus dipenuhi. Pertama, pembangunan infrastruktur harus memenuhi asas manfaat. Bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat sebagaimana amanat undang-undang. Jangan sampai pembangunan hanya menjadi menara gading sang penguasa yang tak berimplikasi pada kepentingan masyarakat banyak.

   Kedua, terintegrasi. Pembangunan infrastruktur jangan hanya dilihat sebagai kegiatan yang bersifat sektoral. Pembangunan infrastruktur harus dilihat dari kacamata yang lebih komprehensif karena dia akan membangkitkan aktivitas ekonomi dan berimplikasi pada perubahan tata ruang. Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur ini sangat erat kaitannya dengan aspek lingkungan, energi, sumber daya alam, dan juga pangan.

   Bila ini tidak dicermati dan dikelola dengan baik, bisa menjadi sumber masalah. Baik masalah sosial maupun masalah lingkungan pada masa yang akan datang.

   Ketiga, berkeadilan dan berkelanjutan. Masih terkait dengan poin kedua, kebangkitan aktivitas ekonomi dan perubahan tata ruang harus diupayakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat.

   Peran pemerintah sebagai regulator harus berpihak pada masyarakat yang secara struktural saat ini posisi tawarnya lemah.

   Tanpa keberpihakan ini, mereka akan terus terpinggirkan dari berbagai manfaat pembangunan infrastruktur. Oleh karena itu, distribusi kemanfaatan infrastruktur jangan dilepas begitu saja melalui mekanisme pasar bebas.

   Keempat, partisipasi masyarakat. Masyarakat atau penduduk kota hendaknya jangan hanya dilihat sebagai objek. Akan tetapi, jadikanlah mereka juga sebagai mitra strategis dalam pembangunan kota.

   Selama ini kerja sama dalam membangun kota lebih banyak dengan dunia usaha. Padahal, potensi masyarakat sangat besar. Terbukti, sejak Indonesia merdeka, lebih dari 70 persen kebutuhan rumah tinggal dan infrastrukturnya dipenuhi oleh masyarakat sendiri.

   Namun, hanya karena kurangnya perencanaan, lingkungan yang terbentuk menjadi tak tertata dan tak penuhi syarat kelayakan teknis.

   Bila pemerintah jeli melihat potensi keswadayaan yang cukup besar ini, sesungguhnya bisa sangat membantu dalam menjawab permasalahan perumahan dan lingkungan kota yang kurang tertata.

   Akhirnya kita berharap, siapa pun presidennya yang terpilih nanti mampu membangun infrastruktur kota yang berkeadilan, berkelanjutan, dan meningkatkan daya saing bangsa. Apa yang dihasilkannya benar-benar dapat dinikmati seluruh masyarakat Indonesia tanpa kecuali.
   Bukan sekadar menjadi monumen tanda kesuksesan sang penguasa. Semoga.

*) Penulis adalah Direktur Center for Housing and Urban Development Studies (CHUDS).

Pewarta : Dr. Ing. Asnawi Manaf, S.T. *)
Editor : D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2024