Purwokerto (Antaranews Jateng) - Belasan ibu rumah tangga melaporkan kasus dugaan penipuan yang mereka alami ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Kepolisian Resor Banyumas, Jawa Tengah.
     
Dari pantauan di SPKT Polres Banyumas, Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Senin, ibu-ibu rumah tangga itu secara bergantian menceritakan kronologi kejadian yang mereka alami kepada petugas.

Setelah membuat laporan di SPKT, mereka segera menuju ke Kantor Satuan Reserse Kriminal Polres Banyumas untuk menjalani proses selanjutnya.

Saat ditemui wartawan, salah seorang ibu rumah tangga, Ariwati mengatakan dugaan penipuan yang dialaminya berawal dari kunjungannya ke salah satu pusat perbelanjaan di kota Purwokerto pada tanggal 19 Desember 2018.

"Saat berada di tengah (pusat perbelanjaan), ada 'sales' menarik tangan saya. Saya sempat menolak tapi 'sales' itu memaksa dan mengatakan 'enggak apa-apa Bu, cuma mau bagi-bagi hadiah', akhirnya saya menuruti permintaan itu," katanya.

Ketika duduk di kursi depan meja konter tersebut, dia diminta untuk memilih undian yang terbungkus dalam empat amplop.

Dari empat amplop tersebut, dia diminta mengambil tiga di antaranya dan akhirnya mendapat beberapa hadiah serta difoto bersama hadiahnya dengan alasan akan dipasang pada "banner" untuk promosi dan nantinya Ariwati mendapatkan royalti sebesar Rp6 juta per tahun.

Selanjutnya Ariwati ditanya apakah memiliki rekening tabungan karena hadiahnya berhubungan dengan bank dan dia mengatakan jika ada kartu debet.

"Kemudian saya duduk lagi dan diminta mengambil satu amplop yang ternyata berisi 'voucher' belanja sebesar Rp700 ribu," katanya.
     
Menurut dia, "sales" atau petugas pemasaran tersebut selanjutnya mengatakan jika produk-produk itu sebenarnya baru akan diluncurkan di salah satu pusat perbelanjaan kota Purwokerto pada tanggal 15 Januari 2019.

   

Orang itu selanjutnya mengatakan jika Ariwati bisa membantu memromosikan produk-produk tersebut melalui foto yang dipasang pada "banner" dan berhak mendapatkan royalti sebesar Rp6 juta per tahun.

"Akan tetapi ujung-ujungnya saya dipaksa membeli kompor seharga Rp7.370.000. Oleh karena saya mendapatkan 'voucher' belanja senilai Rp700 ribu, saya katanya cukup membayar Rp6.670.000, saya sempat menolak hingga tiga kali karena tidak butuh kompor itu," kata Ariwati.

Ia mengaku akan datang saat peluncuran produk untuk membeli barang yang dibutuhkan berupa setrika dan penyedot debu.
 
Menurut dia, orang itu mengatakan tidak masalah membeli kompor dulu dan nanti saat peluncuran bisa ditukar dengan produk yang dibutuhkan.

"Akhirnya saya bersedia membeli kompor itu karena katanya bisa ditukar saat peluncuran produk dan sisa uangnya akan dikembalikan ditambah dengan royalti yang sebesar Rp6 juta," katanya.

Ia mengatakan pembayaran kompor itu dilakukan menggunakan kartu debit dan setelah dibayar, orang tersebut juga meminta uang tunai sebesar Rp700 ribu.

Oleh karena itu, dia pun mengambil uang ke anjungan tunai mandiri (ATM) dengan diantar oleh orang itu.

"Bahkan, 'sales' itu minta uang makan dan saya kasih Rp50.000. Setelah itu saya kembali ke konter untuk membayar sebesar Rp600 ribu sebagai jaminan produk kompor yang nantinya akan ditukarkan saat peluncuran produk, jika tidak ada kerusakan, uang akan kembali," katanya.

Hingga akhirnya pada tanggal 24 Desember 2018, dia kembali mendatangi pusat perbelanjaan tersebut karena merasa tidak masuk akal atas hadiah dan kompor yang dibelinya.

Namun ternyata konter tersebut sudah tidak buka meskipun sebelumnya petugas pemasarannya mengatakan jika akan buka konter hingga akhir bulan Februari 2019.

Dia pun berusaha menghubungi pengelola pusat perbelanjaan tersebut guna mencari informasi mengenai konter produk elektronika yang dicarinya.

Awalnya, pihak pengelola pusat perbelanjaan tidak mau memberitahu namun akhirnya mereka memberikan identitas penyewa tempat yang membuka konter di tempat itu yang diketahui bernama Joni.

"Saya pun menghubungi Joni dan diberitahu jika akan komplain harus membuat pengajuan. Setelah saya kirim, Joni meminta menunggu sekitar tujuh hingga 15 hari hingga disetujui oleh perusahaan," katanya.

 Namun ketika dia mengatakan jika ingin mendapatkan jawaban secepatnya, Joni marah dan memintanya datang tanggal 15 Januari 2019 saat peluncuran produk.

"Akhirnya saya tunggu hingga tanggal 15 Januari dan ternyata tidak ada apa-apa (tidak ada peluncuran produk, red.). Bahkan, banyak sekali korbannya sehingga saya ajak mereka untuk lapor polisi," katanya.

Ia mengatakan berdasarkan informasi sementara, korban dugaan penipuan tersebut mencapai kisaran 19-21 orang.

Menurut dia, ibu-ibu rumah tangga yang menjadi korban dugaan penipuan berharap adanya iktikad baik dari Joni untuk mengembalikan uang yang telah dikeluarkan dan mereka siap mengembalikan barang-barangnya.
     
"Kalau Joni tidak ada iktikad baik, kami berharap dia diproses sesuai dengan hukum yang berlaku," katanya.

Pewarta : Sumarwoto
Editor : Mahmudah
Copyright © ANTARA 2024