Semarang (Antaranews Jateng) - Pakar keamanan siber Doktor Pratama Persadha menilai tepat Komisi Pemilihan Umum melibatkan warganet dalam peningkatan partisipasi pemilih minimal 77,5 persen pada pemilu serentak, 17 April mendatang.
   
"Apalagi, pengguna media sosial di Tanah Air lebih dari 120 juta orang. Artinya, dengan daftar pemilih tetap (DPT) sekitar 190 juta orang, media sosial menyumbang sekitar 63 persen," kata Pratama kepada Antara di Semarang, Kamis pagi.

Untuk mencapai target tingkat kehadiran pemilih di tempat pemungutan suara (TPS) minimal 77,5 persen, menurut Pratama, tidaklah mudah. Oleh karena itu, KPU dituntut tidak hanya menyampaikan informasi terkait dengan pemilu, tetapi juga membuat masyarakat yang punya hak pilih mendatangi TPS.

Pratama yang juga Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi (Communication and Information System Security Research Center/CISSReC) mengapresiasi langkah KPU yang melibatkan warganet sebagai relawan demokrasi.

Ia menilai tepat KPU mengikutsertakan warganet dalam sosialisasi pemilu dengan membuka pendaftaran relawan demokrasi. Hal ini mengingat konten yang informatif dan kekinian memerlukan kerja sama antara KPU dan warganet.
 
"Oleh karena itu, bagus KPU menyaratkan pendaftar relawan demokrasi harus bisa membuat berbagai grafis dan meme, uga video pendek," kata pria kelahiran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini.
 
Selain itu, persyaratan untuk menjadi relawan demokrasi, khusus Sumatera, Jawa, dan Bali, minimal memiliki akun Facebook, Instagram, dan Twitter dengan "friends" serta "followers" minimal 2.000 akun, sedangkan untuk daerah lainnya sebanyak minimal 1.000 akun.

Pratama berharap konten informatif dan kekinian bisa menarik perhatian milenial sehingga ada keikutsertaan, baik individu maupun komunitas, untuk ikut datang ke TPS dan mencoblos pasangan calon presiden/wakil presiden dan peserta pemilu anggota legislatif.

Langkah KPU ini, menurut dia, sebuah kemajuan dan patut diapresiasi karena masalah sebenarnya adalah partisipan pemilu setiap tahun menurun. Belum lagi, adanya "ancaman" partisipasi dari milenial yang rendah.

"Langkah KPU ini patut didukung, tinggal bagaimana pelaksanaannya jangan sampai menimbulkan kontroversi," kata Pratama yang pernah sebagai Ketua Tim Lembaga Sandi Negara (sekarang BSSN) Pengamanan Teknologi Informasi (TI) KPU pada Pemilu 2014.
   
Saat ini, lanjut dia, tensi politik sangat tinggi dan informasi dapat dengan mudah diputarbalikkan untuk kepentingan politik tertentu.

Niat baik KPU untuk meningkatkan minat masyarakat, kata Pratama, bisa saja berbalik menjadi tindakan yang justru menurunkan kredibilitas pemilu.

Ia menekankan bahwa KPU harus benar-benar mampu menyakinkan ke publik bahwa hal ini murni untuk meningkatkan minat masyarakat dan penyelenggara pemilu ini tetap netral.

Namun, menurut Pratama, yang lebih penting lagi langkah KPU ini juga bisa mengimbangi konten di media sosial agar tidak hanya para peserta pemilu yang mengisi medsos. Hal ini sekaligus menjawab berbagai isu miring terkait dengan penyelenggaraan pemilu.

Pewarta : Kliwon
Editor : Mahmudah
Copyright © ANTARA 2024