Semarang (Antaranews Jateng) - Kemajuan teknologi informasi yang begitu pesat seharusnya mampu meredam keinginan masyarakat di suatu wilayah untuk membentuk daerah otonomi baru (DOB).
Namun, pada kenyataannya hingga tahun ini Kementerian Dalam Negeri menerima 318 proposal pembentukan DOB. Data ini belum termasuk keinginan masyarakat Kecamatan Bumiayu, Salem, Bantar Kawung, Paguyangan, Tonjong, dan Sirampog membentuk Kabupaten Brebes Selatan.
Keinginan masyarakat di enam kecamatan itu, kata Sekretaris Umum Presidium Pemekaran Kabupaten Brebes Moh. Sobir, sejak 1963 atau masa kepemimpinan Raden Mardjaban.
Sobir lantas mengemukakan sejumlah alasan enam kecamatan itu memisahkan diri dari kabupaten induk, antara lain, rentang kendali terlalu jauh ke kabupaten induk, bahkan harus melewati Kabupaten Tegal dan Kota Tegal.
Jarak dari Kecamatan Salam ke Kecamatan Brebes (Ibu Kota Kabupaten Brebes) sekitar 111 kilometer, Bantar Kawung ke ibu kota kabupaten sekitar 91 km, Sirampog (89 km), Paguyangan (84 km), Bumiayu (77 km), dan Tonjong (70 km).
Pelayanan publik menjadi alasan utama karena luas Kabupaten Brebes 1.975,85 km? merupakan wilayah terluas kedua di Provinsi Jawa Tengah setelah Kabupaten Cilacap seluas 2.138,51 km?.
Maka, menurut Sobir, tidak heran daerah berpenduduk sebanyak 1.781.380 jiwa ini indeks pembangunan manusia (IPM) sebesar 64,86 atau terendah dibanding dengan 34 kabupaten/kota lainnya di Jateng. Apalagi, pembangunannya belum merata.
Adapun komponen IPM berdasarkan web Badan Pusat Statistik (BPS), antara lain, angka harapan hidup dan rata-rata lama sekolah. Angka harapan hidup (AHH) di Kabupaten Brebes pada tahun 2017 tercatat 68.61, harapan lama sekolah (HLS) 11,69, dan rata-rata lama sekolah (RLS) 6,18.
Sejumlah alasan untuk memisahkan diri dari kabupaten induk ini telah meyakinkan DPRD dan Bupati Brebes. Pemkab setempat telah menyetujui pemekaran daerah ini menjadi dua kabupaten.
Meski sudah mengantongi keputusan DPRD Kabupaten Brebes dan mendapat persetujuan Bupati Brebes Idza Priyanti, masyarakat di enam kecamatan itu masih harus menunggu putusan dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.
Kini, mereka masih menunggu persetujuan dari DPRD Provinsi Jateng dan Gubernur Jateng. Setelah itu, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah, harus ada rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri.
TI Dimaksimalkan
Sambil menanti keputusan mengenai pemekaran daerah tersebut, seyogianya pemerintah lebih memaksimalkan penggunaan teknologi informasi (TI) dalam pelayanan publik. Masalahnya, alasan memisahkan diri dari kabupaten induk, antara lain, faktor geografis dan pembangunan yang belum merata.
Tidak hanya sebatas memberikan informasi dan pelayanan bagi warganya, tetapi juga sebagai media komunikasi antara eksekutif, legislatif, dan masyarakat mengenai kebijakan pemerintahan.
Apalagi, ketika menyusun Rancangan Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Raperda APBD), misalnya, Pemerintah Kabupaten Brebes perlu menyerap aspirasi masyarakat di 17 kecamatan.
Melalui teknologi informasi ini, ada umpan balik antara komunikator dan komunikan dalam penyusunan Raperda APBD Kabupaten Brebes. Apalagi, kata pakar teknologi informasi Doktor Pratama Persadha, penggunaan teknologi di lingkungan pemerintah merupakan solusi pembangunan sekaligus meminimalkan usulan daerah otonomi baru.
Teknologi, utamanya electronics government (e-government), sebaiknya dimaksimalkan untuk membantu kerja birokrasi sehingga masyarakat merasakan hasil kerja pemerintah, kata Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi CISSReC Pratama Persadha.
Dengan begitu, kata Pratama yang pernah menjadi Wakil Ketua Tim Lemsaneg (sekarang BSSN) Pengamanan Pesawat Kepresidenan RI, akan menekan keinginan membentuk daerah otonomi baru karena ketidakpuasan akan ketimpangan di daerah.
Bila ada 30 dari 318 usulan pembentukan DOB disetujui, misalnya, hal ini akan sangat membebani anggaran pemerintah pusat. Bila anggaran yang ada dialokasikan untuk pembenahan birokrasi yang serba digital dan terbuka, menurut Pratama, akan lebih baik.
Pratama lantas mencontohkan Uganda, Pakistan, dan India yang pelayanan kesehatan dan pendidikan di negara tersebut meningkat 25 persen hanya karena pemerintahnya menggunakan presensi lewat aplikasi mobile.
Ternyata di negara lain, teknologi meningkatkan kinerja birokrasi. Bahkan, secara langsung kinerja tersebut dirasakan masyarakat.
Menurut dia, kegagalan DOB antara lain karena kapasitas manajemen pemerintah yang tidak memadai, kualitas sumber daya manusia aparat pemerintah daerah dan DPRD rendah, sarana dan prasarana pemerintahan minim, munculnya konflik perbatasan/lokasi ibu kota, pelayanan publik yang tetap buruk, kesejahteraan masyarakat tidak meningkat, dan demokrasi lokal yang tak kunjung membaik.
Kasus kegagalan DOB tersebut, kata Pratama, seharusnya menjadi pelajaran bagi pemerintah pusat dalam meluluskan tuntutan pemekaran. Apalagi, dengan adanya kemajuan teknologi membuat birokrasi seharusnya berbenah.
Bagi masyarakat yang belum tersentuh anggaran daerah, katanya lagi, bisa mengajukan untuk daerahnya. Karena alasan utama pengajuan DOB adalah tidak meratanya anggaran dikucurkan. Misalnya, daerah pusat kota selalu dipercantik setiap tahun, bahkan banyak yang setiap 6 bulan, sedangkan daerah pinggiran jarang mendapat perhatian.
Dengan keterbukaan yang diiringi teknologi, menurut Pratama, seharusnya penataan anggaran menjadi lebih terbuka dan mendapatkan umpan balik (feedback) langsung dari masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat bisa ikut mengontrol anggaran dan ikut mengajukan.
Pemerataan kuncinya adalah pada persebaran anggaran, masyarakat harus benar-benar diberikan akses untuk ikut mengusulkan lewat teknologi yang ada. Jangan sampai kasus jembatan rusak bertahun-tahun tidak tersentuh anggaran, membuat masyarakat cenderung menjadikan DOB sebagai solusi.
Namun, pada kenyataannya hingga tahun ini Kementerian Dalam Negeri menerima 318 proposal pembentukan DOB. Data ini belum termasuk keinginan masyarakat Kecamatan Bumiayu, Salem, Bantar Kawung, Paguyangan, Tonjong, dan Sirampog membentuk Kabupaten Brebes Selatan.
Keinginan masyarakat di enam kecamatan itu, kata Sekretaris Umum Presidium Pemekaran Kabupaten Brebes Moh. Sobir, sejak 1963 atau masa kepemimpinan Raden Mardjaban.
Sobir lantas mengemukakan sejumlah alasan enam kecamatan itu memisahkan diri dari kabupaten induk, antara lain, rentang kendali terlalu jauh ke kabupaten induk, bahkan harus melewati Kabupaten Tegal dan Kota Tegal.
Jarak dari Kecamatan Salam ke Kecamatan Brebes (Ibu Kota Kabupaten Brebes) sekitar 111 kilometer, Bantar Kawung ke ibu kota kabupaten sekitar 91 km, Sirampog (89 km), Paguyangan (84 km), Bumiayu (77 km), dan Tonjong (70 km).
Pelayanan publik menjadi alasan utama karena luas Kabupaten Brebes 1.975,85 km? merupakan wilayah terluas kedua di Provinsi Jawa Tengah setelah Kabupaten Cilacap seluas 2.138,51 km?.
Maka, menurut Sobir, tidak heran daerah berpenduduk sebanyak 1.781.380 jiwa ini indeks pembangunan manusia (IPM) sebesar 64,86 atau terendah dibanding dengan 34 kabupaten/kota lainnya di Jateng. Apalagi, pembangunannya belum merata.
Adapun komponen IPM berdasarkan web Badan Pusat Statistik (BPS), antara lain, angka harapan hidup dan rata-rata lama sekolah. Angka harapan hidup (AHH) di Kabupaten Brebes pada tahun 2017 tercatat 68.61, harapan lama sekolah (HLS) 11,69, dan rata-rata lama sekolah (RLS) 6,18.
Sejumlah alasan untuk memisahkan diri dari kabupaten induk ini telah meyakinkan DPRD dan Bupati Brebes. Pemkab setempat telah menyetujui pemekaran daerah ini menjadi dua kabupaten.
Meski sudah mengantongi keputusan DPRD Kabupaten Brebes dan mendapat persetujuan Bupati Brebes Idza Priyanti, masyarakat di enam kecamatan itu masih harus menunggu putusan dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.
Kini, mereka masih menunggu persetujuan dari DPRD Provinsi Jateng dan Gubernur Jateng. Setelah itu, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah, harus ada rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri.
TI Dimaksimalkan
Sambil menanti keputusan mengenai pemekaran daerah tersebut, seyogianya pemerintah lebih memaksimalkan penggunaan teknologi informasi (TI) dalam pelayanan publik. Masalahnya, alasan memisahkan diri dari kabupaten induk, antara lain, faktor geografis dan pembangunan yang belum merata.
Tidak hanya sebatas memberikan informasi dan pelayanan bagi warganya, tetapi juga sebagai media komunikasi antara eksekutif, legislatif, dan masyarakat mengenai kebijakan pemerintahan.
Apalagi, ketika menyusun Rancangan Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Raperda APBD), misalnya, Pemerintah Kabupaten Brebes perlu menyerap aspirasi masyarakat di 17 kecamatan.
Melalui teknologi informasi ini, ada umpan balik antara komunikator dan komunikan dalam penyusunan Raperda APBD Kabupaten Brebes. Apalagi, kata pakar teknologi informasi Doktor Pratama Persadha, penggunaan teknologi di lingkungan pemerintah merupakan solusi pembangunan sekaligus meminimalkan usulan daerah otonomi baru.
Teknologi, utamanya electronics government (e-government), sebaiknya dimaksimalkan untuk membantu kerja birokrasi sehingga masyarakat merasakan hasil kerja pemerintah, kata Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi CISSReC Pratama Persadha.
Dengan begitu, kata Pratama yang pernah menjadi Wakil Ketua Tim Lemsaneg (sekarang BSSN) Pengamanan Pesawat Kepresidenan RI, akan menekan keinginan membentuk daerah otonomi baru karena ketidakpuasan akan ketimpangan di daerah.
Bila ada 30 dari 318 usulan pembentukan DOB disetujui, misalnya, hal ini akan sangat membebani anggaran pemerintah pusat. Bila anggaran yang ada dialokasikan untuk pembenahan birokrasi yang serba digital dan terbuka, menurut Pratama, akan lebih baik.
Pratama lantas mencontohkan Uganda, Pakistan, dan India yang pelayanan kesehatan dan pendidikan di negara tersebut meningkat 25 persen hanya karena pemerintahnya menggunakan presensi lewat aplikasi mobile.
Ternyata di negara lain, teknologi meningkatkan kinerja birokrasi. Bahkan, secara langsung kinerja tersebut dirasakan masyarakat.
Menurut dia, kegagalan DOB antara lain karena kapasitas manajemen pemerintah yang tidak memadai, kualitas sumber daya manusia aparat pemerintah daerah dan DPRD rendah, sarana dan prasarana pemerintahan minim, munculnya konflik perbatasan/lokasi ibu kota, pelayanan publik yang tetap buruk, kesejahteraan masyarakat tidak meningkat, dan demokrasi lokal yang tak kunjung membaik.
Kasus kegagalan DOB tersebut, kata Pratama, seharusnya menjadi pelajaran bagi pemerintah pusat dalam meluluskan tuntutan pemekaran. Apalagi, dengan adanya kemajuan teknologi membuat birokrasi seharusnya berbenah.
Bagi masyarakat yang belum tersentuh anggaran daerah, katanya lagi, bisa mengajukan untuk daerahnya. Karena alasan utama pengajuan DOB adalah tidak meratanya anggaran dikucurkan. Misalnya, daerah pusat kota selalu dipercantik setiap tahun, bahkan banyak yang setiap 6 bulan, sedangkan daerah pinggiran jarang mendapat perhatian.
Dengan keterbukaan yang diiringi teknologi, menurut Pratama, seharusnya penataan anggaran menjadi lebih terbuka dan mendapatkan umpan balik (feedback) langsung dari masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat bisa ikut mengontrol anggaran dan ikut mengajukan.
Pemerataan kuncinya adalah pada persebaran anggaran, masyarakat harus benar-benar diberikan akses untuk ikut mengusulkan lewat teknologi yang ada. Jangan sampai kasus jembatan rusak bertahun-tahun tidak tersentuh anggaran, membuat masyarakat cenderung menjadikan DOB sebagai solusi.