Semarang (Antaranews Jateng) - Genteng berbahan "styrofoam" karya sekelompok mahasiswa Universitas Diponegoro Semarang menyabet emas dalam ajang yang berlangsung di Jerman, 1-4 November 2018.
"Gagasan ini terinspirasi dari kegelisahan kami melihat banyaknya limbah styrofoam yang tidak terpakai. Jadi, kami manfaatkan," kata Yunnia Rahmadanni selaku ketua tim, di Semarang, Senin.
Bersama keempat kawannya, yakni Laitufa Nidia, Nurul Halwiyah, Ibadurrahman, dan Rufqi Rudwi Rafita, Yunnia mengikuti International Trade Fair of Ideas, Inventions and New Products (The iENA), di Nurenberg, Jerman.
Even yang digelar lembaga internasional AFAC itu diikuti 800 peneliti muda dari 30 negara yang ikut berpartisipasi, dan peserta dari Indonesia ada 2 tim, salah satunya dari Undip.
Menurut Yunnia, styrofoam selama ini dikenal sebagai produk yang tidak ramah lingkungan karena tidak dapat diurai sehingga muncullah ide untuk memanfaatkan keberadaan limbah yang berlimpah itu.
"Ini (styrofoam, red.) kami dapat di tempat pembuangan akhir (TPA) di kampus. Kami beberapa kali uji coba, campur dengan semen dan pasir. Ya, memang tidak mudah," kata Yunnia mahasiswa Fakultas Sains dan Matematika Undip itu.
Dari beberapa kali uji coba, akhirnya mereka menemukan formula yang pas antara semen, pasir, dan styrofoam untuk menghasilkan produk genting yang lebih ringan dan tahan lama.
Ukuran styrofoam yang dibutuhkan, kata dia, sekitar 2-3 persen dari berat total per genting dan harus dalam hitungan yang tepat agar bisa menjadi genteng yang diinginkan.
Jika genting biasanya memakai bahan tanah liat, mereka justru tidak memilihnya karena pengeringannya dibakar, sementara styrofoam justru tidak bagus jika dibakar karena mencemari.
"Dibandingkan genteng biasa yang beratnya 3-4 kilogram, ini lebih ringan 15-20 persen. Kami akan terus perbaiki produk ini agar nanti bisa lebih ringan lagi," katanya.
Dengan berat yang ringan, Yunnia mengatakan bisa meminimalisasi dampak cidera ketika terjadi bencana alam, seperti gempa bumi yang menyebabkan genteng runtuh.
Sementara itu, dosen pembimbing delegasi Undip itu, M Nur Sholeh mengaku bangga hasil inovasi anak bimbingannya mampu meraih medali emas mengalahkan delegasi dari negara-negara lainnya.
"Penambahan 'styrofoam' ini dilakukan dengan komposisi tertentu agar dihasilkan genting yang relatif ringan dan memiliki kelentingan optimal sebagaimana yang diinginkan," katanya.
Penggunaan genting tersebut, kata pengajar Mekanika Rekayasa Struktur Bangunan Tahan Gempa Sekolah Vokasi Undip itu, bisa meminimalisasi korban jiwa jika terjadi gempa Bumi.
"Gagasan ini terinspirasi dari kegelisahan kami melihat banyaknya limbah styrofoam yang tidak terpakai. Jadi, kami manfaatkan," kata Yunnia Rahmadanni selaku ketua tim, di Semarang, Senin.
Bersama keempat kawannya, yakni Laitufa Nidia, Nurul Halwiyah, Ibadurrahman, dan Rufqi Rudwi Rafita, Yunnia mengikuti International Trade Fair of Ideas, Inventions and New Products (The iENA), di Nurenberg, Jerman.
Even yang digelar lembaga internasional AFAC itu diikuti 800 peneliti muda dari 30 negara yang ikut berpartisipasi, dan peserta dari Indonesia ada 2 tim, salah satunya dari Undip.
Menurut Yunnia, styrofoam selama ini dikenal sebagai produk yang tidak ramah lingkungan karena tidak dapat diurai sehingga muncullah ide untuk memanfaatkan keberadaan limbah yang berlimpah itu.
"Ini (styrofoam, red.) kami dapat di tempat pembuangan akhir (TPA) di kampus. Kami beberapa kali uji coba, campur dengan semen dan pasir. Ya, memang tidak mudah," kata Yunnia mahasiswa Fakultas Sains dan Matematika Undip itu.
Dari beberapa kali uji coba, akhirnya mereka menemukan formula yang pas antara semen, pasir, dan styrofoam untuk menghasilkan produk genting yang lebih ringan dan tahan lama.
Ukuran styrofoam yang dibutuhkan, kata dia, sekitar 2-3 persen dari berat total per genting dan harus dalam hitungan yang tepat agar bisa menjadi genteng yang diinginkan.
Jika genting biasanya memakai bahan tanah liat, mereka justru tidak memilihnya karena pengeringannya dibakar, sementara styrofoam justru tidak bagus jika dibakar karena mencemari.
"Dibandingkan genteng biasa yang beratnya 3-4 kilogram, ini lebih ringan 15-20 persen. Kami akan terus perbaiki produk ini agar nanti bisa lebih ringan lagi," katanya.
Dengan berat yang ringan, Yunnia mengatakan bisa meminimalisasi dampak cidera ketika terjadi bencana alam, seperti gempa bumi yang menyebabkan genteng runtuh.
Sementara itu, dosen pembimbing delegasi Undip itu, M Nur Sholeh mengaku bangga hasil inovasi anak bimbingannya mampu meraih medali emas mengalahkan delegasi dari negara-negara lainnya.
"Penambahan 'styrofoam' ini dilakukan dengan komposisi tertentu agar dihasilkan genting yang relatif ringan dan memiliki kelentingan optimal sebagaimana yang diinginkan," katanya.
Penggunaan genting tersebut, kata pengajar Mekanika Rekayasa Struktur Bangunan Tahan Gempa Sekolah Vokasi Undip itu, bisa meminimalisasi korban jiwa jika terjadi gempa Bumi.