Semarang (Antaranews Jateng) - Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Islam Swasta (BKS-PTIS) menegaskan tidak boleh ada politik praktis di kampus, termasuk di kalangan kampus Islam swasta.
"Jangan sampai ada keberpihakan. Walaupun hati ada keberpihakan, secara institusi, lembaga, tetap netral," kata Ketua Umum BKS-PTIS, Prof Masrurah Mokhtar di Semarang, Kamis.
Hal tersebut diungkapkan Rektor Universitas Muslim Indonesia (UMI) itu di sela Rapat Kerja Nasional (Rakernas) BKS PTIS di Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, 20-21 September 2018.
Masrurah menegaskan, imbauan tersebut penting disampaikannya seiring penyelenggaraan pesta rakyat, yakni Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2019.
"Kampus sebagai perguruan tinggi wajib menjaga keutuhan bangsa dan negara. Makanya, jangan turut serta dalam perpolitikan praktis. Apa jadinya kalau sampai ada keberpihakan politik di kampus?" katanya.
Politik praktis yang terjadi di kampus, kata dia, bisa membuat civitas akademika saling berseteru dan berkonflik yang imbasnya juga terhadap mahasiswa yang akan ikut-ikutan berseteru.
Apabila memang ada kalangan kampus mau berpolitik praktis, Masrurah mempersilakan sepanjang tidak dilakukan dan dibawa di dalam kampus, termasuk yang diterapkannya di UMI Makassar.
"Apa jadinya kalau masing-masing di PTIS memberikan dukungan, saling mengunggulkan, bisa berkelahi mahasiswa kami. Makanya, mahasiswa ini harus dijaga. Kampus harus netral," katanya.
Sebelumnya, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir juga menyampaikan penegasannya bahwa perguruan tinggi tidak boleh dimanfaatkan untuk berpolitik praktis, baik negeri maupun swasta.
"Kampus tidak boleh untuk bermain politik praktis. Kampus dilarang berpolitik praktis. Kalau orang ingin berpolitik praktis, ke luar dari kampus. Silakan di luar," kata Guru Besar Universitas Diponegoro Semarang itu.
Baik perguruan tinggi negeri maupun swasta, lanjut Nasir, sama-sama tidak boleh menjadi ajang untuk berpolitik praktis karena kampus untuk pengembangan akademik yang lebih berkualitas.
"Jangan sampai ada keberpihakan. Walaupun hati ada keberpihakan, secara institusi, lembaga, tetap netral," kata Ketua Umum BKS-PTIS, Prof Masrurah Mokhtar di Semarang, Kamis.
Hal tersebut diungkapkan Rektor Universitas Muslim Indonesia (UMI) itu di sela Rapat Kerja Nasional (Rakernas) BKS PTIS di Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, 20-21 September 2018.
Masrurah menegaskan, imbauan tersebut penting disampaikannya seiring penyelenggaraan pesta rakyat, yakni Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2019.
"Kampus sebagai perguruan tinggi wajib menjaga keutuhan bangsa dan negara. Makanya, jangan turut serta dalam perpolitikan praktis. Apa jadinya kalau sampai ada keberpihakan politik di kampus?" katanya.
Politik praktis yang terjadi di kampus, kata dia, bisa membuat civitas akademika saling berseteru dan berkonflik yang imbasnya juga terhadap mahasiswa yang akan ikut-ikutan berseteru.
Apabila memang ada kalangan kampus mau berpolitik praktis, Masrurah mempersilakan sepanjang tidak dilakukan dan dibawa di dalam kampus, termasuk yang diterapkannya di UMI Makassar.
"Apa jadinya kalau masing-masing di PTIS memberikan dukungan, saling mengunggulkan, bisa berkelahi mahasiswa kami. Makanya, mahasiswa ini harus dijaga. Kampus harus netral," katanya.
Sebelumnya, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir juga menyampaikan penegasannya bahwa perguruan tinggi tidak boleh dimanfaatkan untuk berpolitik praktis, baik negeri maupun swasta.
"Kampus tidak boleh untuk bermain politik praktis. Kampus dilarang berpolitik praktis. Kalau orang ingin berpolitik praktis, ke luar dari kampus. Silakan di luar," kata Guru Besar Universitas Diponegoro Semarang itu.
Baik perguruan tinggi negeri maupun swasta, lanjut Nasir, sama-sama tidak boleh menjadi ajang untuk berpolitik praktis karena kampus untuk pengembangan akademik yang lebih berkualitas.