Borobudur (Antaranews Jateng) - Perupa dari Yogyakarta Bonaventura Gunawan pameran tunggal 36 karya seni grafis (printmaking) bertajuk "Speak Up" di Limanjawi Art House, kawasan Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah selama 8 September hingga 8 Oktober 2018.
"Pameran tunggal itu untuk keempat kalinya, pameran bersama juga sering ikut. Yang saya pamerkan karya tahun 2016-2018," kata Gunawan dalam konferensi pers di Borobudur, Kamis.
Ia menyebut karya seni grafis dengan teknik cetak tinggi sebagai hasil kontemplasi dan penyerapan terhadap segala sesuatu yang terjadi di masyarakat.
Ia menyebut karyanya bernuansa kritis, seperti tentang hidup yang sehati, konflik batin, dan hakikat manusia.
Sejumlah karya dengan media papan "hardboard" berbagai ukuran yang dibuat dengan cara cukil , antara lain berjudul "Sindrom Hipokondria", "Demi Anak", "Maestro Cukil Reduksi", dan "Antara Nafsu dan Cinta".
Karya paling kecil yang dipamerkan berukuran 40x40 sentimeter, sedangkan paling besar 210x120 centimeter. Pembukaan pameran oleh kolektor seni rupa Oei Hong Djien, sedangkan kurator Kuss Indarto dan penulis Willy Siswanto.
Selain itu, kata dia, sembilan karya lainnya bercerita tentang latar belakang dunia pewayangan yang merefleksikan perjalanan hidup, sepertii kelahiran, masa anak-anak, eksistensi, konflik, dan perutusan.
Gunawan yang pada kesempatan itu didampingi pemilik Limanjawi Art House Borobudur Umar Chusaeni tersebut, menyebut karya-karyanya dibuat paling cepat dua hari dan paling lama 10 hari.
Pada kesempatan itu, ia juga menjelaskan tentang sejarah seni grafis sejak zaman manusia purba, masa penjajahan, tentang pasang surut dan perkembangan seni rupa grafis hingga saat ini.
"Seni grafis (printmaking) tidak semata-mata estetika tetapi juga teknis dan logika terbalik seperti cap, baik pewarnaan dan menggambar harus dibalik. Seni grafia harus total, rentan salah, saat mencukil itu kecil-kecil, kalau cukilan salah tidak bisa diperbaiki, sehingga butuh fokus, konsentrasi, dan daya ingat. Fisik 'nyukil' (mencukil, red.) dengan tenaga tangan dan pinggang. Banyak orang grafis nyerah (menyerah, red.)," ucap dia.
Umar menyebut pameran mendatang di Limanjawi Art House Borobudur sebagai berbeda karena biasanya tempat itu untuk pameran lukisan, patung, atau instalasi seni.
"Tetapi ini seni grafis, karya unik, tentang bagaimana membuat karya yang sulit. Pameran ini memberi warna berbeda Borobudur yang menjadi pusat seni budaya dunia. Pada hari terakhir pameran juga akan dilakukan 'workshop' (lokakarya, red.) seni grafis," katanya.
"Pameran tunggal itu untuk keempat kalinya, pameran bersama juga sering ikut. Yang saya pamerkan karya tahun 2016-2018," kata Gunawan dalam konferensi pers di Borobudur, Kamis.
Ia menyebut karya seni grafis dengan teknik cetak tinggi sebagai hasil kontemplasi dan penyerapan terhadap segala sesuatu yang terjadi di masyarakat.
Ia menyebut karyanya bernuansa kritis, seperti tentang hidup yang sehati, konflik batin, dan hakikat manusia.
Sejumlah karya dengan media papan "hardboard" berbagai ukuran yang dibuat dengan cara cukil , antara lain berjudul "Sindrom Hipokondria", "Demi Anak", "Maestro Cukil Reduksi", dan "Antara Nafsu dan Cinta".
Karya paling kecil yang dipamerkan berukuran 40x40 sentimeter, sedangkan paling besar 210x120 centimeter. Pembukaan pameran oleh kolektor seni rupa Oei Hong Djien, sedangkan kurator Kuss Indarto dan penulis Willy Siswanto.
Selain itu, kata dia, sembilan karya lainnya bercerita tentang latar belakang dunia pewayangan yang merefleksikan perjalanan hidup, sepertii kelahiran, masa anak-anak, eksistensi, konflik, dan perutusan.
Gunawan yang pada kesempatan itu didampingi pemilik Limanjawi Art House Borobudur Umar Chusaeni tersebut, menyebut karya-karyanya dibuat paling cepat dua hari dan paling lama 10 hari.
Pada kesempatan itu, ia juga menjelaskan tentang sejarah seni grafis sejak zaman manusia purba, masa penjajahan, tentang pasang surut dan perkembangan seni rupa grafis hingga saat ini.
"Seni grafis (printmaking) tidak semata-mata estetika tetapi juga teknis dan logika terbalik seperti cap, baik pewarnaan dan menggambar harus dibalik. Seni grafia harus total, rentan salah, saat mencukil itu kecil-kecil, kalau cukilan salah tidak bisa diperbaiki, sehingga butuh fokus, konsentrasi, dan daya ingat. Fisik 'nyukil' (mencukil, red.) dengan tenaga tangan dan pinggang. Banyak orang grafis nyerah (menyerah, red.)," ucap dia.
Umar menyebut pameran mendatang di Limanjawi Art House Borobudur sebagai berbeda karena biasanya tempat itu untuk pameran lukisan, patung, atau instalasi seni.
"Tetapi ini seni grafis, karya unik, tentang bagaimana membuat karya yang sulit. Pameran ini memberi warna berbeda Borobudur yang menjadi pusat seni budaya dunia. Pada hari terakhir pameran juga akan dilakukan 'workshop' (lokakarya, red.) seni grafis," katanya.