Solo, 4/4 (Antaranews Jateng) - Bank Indonesia (BI) Kantor Perwakilan Surakarta menyatakan tahun politik tidak mempengaruhi peredaran uang palsu atau upal di masyarakat.
"Sebagian besar motif peredaran uang palsu lebih ke ekonomi, bukan politik. Ini didorong keinginan agar memperoleh penghasilan yang lebih banyak," kata Kepala BI Kanwil Surakarta Bandoe Widiarto di Solo, Rabu.
Menurut dia, untuk memastikan masyarakat terhindar dari peredaran uang palsu tersebut, BI melaksanakan upaya prefentif dan represif. Ia mengatakan untuk upaya prefentif yaitu BI melakukan edukasi.
"Edukasi kepada masyarakat, kami minta mereka agar lebih hati-hati ketika menerima uang baru. Terapkan 3D, yaitu dilihat, diraba, diterawang," katanya.
Selain itu, pihaknya juga meminta perbankan untuk membantu mendeteksi keaslian uang melalui kelengkapan alat, seperti alat pendeteksi yang dilengkapi dengan lampu ultraviolet.
"Sedangkan upaya represifnya yaitu kami melakukan kerja sama dengan penegak hukum. Jadi ketika ada temuan uang palsu, BI dihadirkan. Di negara ini yang punya hak menentukan ini uang palsu atau tidak adalah BI," katanya.
Meski demikian, untuk memberikan keterangan mengenai keaslian uang tidak setiap pegawai BI, melainkan pegawai yang bersertifikat ahli uang.
"Di sini kami akan kawal itu mulai dari proses penyelidikan hingga penuntutan. Petugas BI biasanya akan menjadi saksi ahli mulai dari kepolisian hingga kejaksaan. Tujuannya adalah agar ahli hukum ini menerapkan UU mata uang sehingga ada unsur jera bagi para pelakunya (pengedar uang palsu, red)," katanya.
Sementara itu, ia mengatakan untuk temuan uang palsu di wilayah Surakarta pada tahun lalu mengalami penurunan. Jika pada tahun 2016 ditemukan sebanyak 7.000 lembar, tahun 2017 turun menjadi 5.000 lembar.
"Harapan kami tahun ini kembali ada penurunan yang signifikan atau bahkan tidak ada lagi," katanya.
"Sebagian besar motif peredaran uang palsu lebih ke ekonomi, bukan politik. Ini didorong keinginan agar memperoleh penghasilan yang lebih banyak," kata Kepala BI Kanwil Surakarta Bandoe Widiarto di Solo, Rabu.
Menurut dia, untuk memastikan masyarakat terhindar dari peredaran uang palsu tersebut, BI melaksanakan upaya prefentif dan represif. Ia mengatakan untuk upaya prefentif yaitu BI melakukan edukasi.
"Edukasi kepada masyarakat, kami minta mereka agar lebih hati-hati ketika menerima uang baru. Terapkan 3D, yaitu dilihat, diraba, diterawang," katanya.
Selain itu, pihaknya juga meminta perbankan untuk membantu mendeteksi keaslian uang melalui kelengkapan alat, seperti alat pendeteksi yang dilengkapi dengan lampu ultraviolet.
"Sedangkan upaya represifnya yaitu kami melakukan kerja sama dengan penegak hukum. Jadi ketika ada temuan uang palsu, BI dihadirkan. Di negara ini yang punya hak menentukan ini uang palsu atau tidak adalah BI," katanya.
Meski demikian, untuk memberikan keterangan mengenai keaslian uang tidak setiap pegawai BI, melainkan pegawai yang bersertifikat ahli uang.
"Di sini kami akan kawal itu mulai dari proses penyelidikan hingga penuntutan. Petugas BI biasanya akan menjadi saksi ahli mulai dari kepolisian hingga kejaksaan. Tujuannya adalah agar ahli hukum ini menerapkan UU mata uang sehingga ada unsur jera bagi para pelakunya (pengedar uang palsu, red)," katanya.
Sementara itu, ia mengatakan untuk temuan uang palsu di wilayah Surakarta pada tahun lalu mengalami penurunan. Jika pada tahun 2016 ditemukan sebanyak 7.000 lembar, tahun 2017 turun menjadi 5.000 lembar.
"Harapan kami tahun ini kembali ada penurunan yang signifikan atau bahkan tidak ada lagi," katanya.