Semarang, Antara Jateng - Pakar keamanan siber Pratama Persadha memandang perlu ada prosedur operasi standar atau standard operating procedure (SOP) menghadapi ransomware wannacry yang ganas.
Pratama mengemukakan hal itu melalui surat elektroniknya kepada Antara di Semarang, Selasa malam, ketika menyampaikan catatan akhir tahun terkait dengan keamanan siber di Tanah Air sepanjang 2017.
Menurut dia, pada tahun ini menjadi pertanda bagi semua pihak, khususnya pemerintah untuk lebih serius memperhatikan isu keamanan siber.
Sepanjang tahun ini, kata Pratama yang juga Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi (CISSReC), tercatat banyak peristiwa yang luar biasa terkait dengan keamanan siber di Tanah Air.
Indonesia Security Incident Response Team on Internet Infrastructure/Coordinator Center (Id-SIRTII/CC) mencatat hingga November 2017, Indonesia mendapat sebanyak 205.502.159 serangan.
Ia mencontohkan kasus yang terjadi di awal Februari 2017 yang sempat mengagetkan dengan adanya usaha peretasan terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) saat penghitungan suara Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta putaran pertama.
Tidak kalah menghebohkan, lanjut dia, adalah peretasan pada website Telkomsel dan kejaksaan yang cukup merepotkan.
Selanjutnya, pada bulan Mei 2017, seluruh dunia termasuk di Indonesia mengalami serangan ransomware wannacry. Selang beberapa bulan, ransomware dengan model yang hampir sama bernama nopetya juga ikut menyerang.
Menurut Pratama, salah satu yang patut dilihat adalah fenomena keamanan siber ini telah berdampak pada pengguna individu. Di sinilah peran pemerintah untuk masuk dan mengedukasi masyarakat.
Isu pornografi WhatsApp, pemblokiran Telegram, dan juga registrasi SIM card, misalnya, adalah bukti bahwa isu keamanan siber ini sudah menyentuh langsung individu masyarakat.
"Tinggal sekarang PR (pekerjaan rumah) besarnya sejauh dan sedalam apa negara bisa masuk serta mengedukasi masyarakat," katanya.
Menurut dia, tanpa keterlibatan dan kesadaran masyarakat, sulit menciptakan keamanan siber yang kuat dan paripurna.
Pratama mengemukakan hal itu melalui surat elektroniknya kepada Antara di Semarang, Selasa malam, ketika menyampaikan catatan akhir tahun terkait dengan keamanan siber di Tanah Air sepanjang 2017.
Menurut dia, pada tahun ini menjadi pertanda bagi semua pihak, khususnya pemerintah untuk lebih serius memperhatikan isu keamanan siber.
Sepanjang tahun ini, kata Pratama yang juga Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi (CISSReC), tercatat banyak peristiwa yang luar biasa terkait dengan keamanan siber di Tanah Air.
Indonesia Security Incident Response Team on Internet Infrastructure/Coordinator Center (Id-SIRTII/CC) mencatat hingga November 2017, Indonesia mendapat sebanyak 205.502.159 serangan.
Ia mencontohkan kasus yang terjadi di awal Februari 2017 yang sempat mengagetkan dengan adanya usaha peretasan terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) saat penghitungan suara Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta putaran pertama.
Tidak kalah menghebohkan, lanjut dia, adalah peretasan pada website Telkomsel dan kejaksaan yang cukup merepotkan.
Selanjutnya, pada bulan Mei 2017, seluruh dunia termasuk di Indonesia mengalami serangan ransomware wannacry. Selang beberapa bulan, ransomware dengan model yang hampir sama bernama nopetya juga ikut menyerang.
Menurut Pratama, salah satu yang patut dilihat adalah fenomena keamanan siber ini telah berdampak pada pengguna individu. Di sinilah peran pemerintah untuk masuk dan mengedukasi masyarakat.
Isu pornografi WhatsApp, pemblokiran Telegram, dan juga registrasi SIM card, misalnya, adalah bukti bahwa isu keamanan siber ini sudah menyentuh langsung individu masyarakat.
"Tinggal sekarang PR (pekerjaan rumah) besarnya sejauh dan sedalam apa negara bisa masuk serta mengedukasi masyarakat," katanya.
Menurut dia, tanpa keterlibatan dan kesadaran masyarakat, sulit menciptakan keamanan siber yang kuat dan paripurna.