Magelang, ANTARA JATENG- Para seniman dari Studio Taksu, Plesungan, Kota Solo, Jawa Tengah mementaskan performa tarian berjudul "Burung-Burung Prenjak" di Bentara Budaya Yogyakarta untuk mengingatkan kepada publik tentang pentingnya ruang terbuka hijau.

"Burung Prenjak yang hilang dari habitatnya adalah suatu masalah yang tidak bisa disederhanakan. Banyak hal yang harus dipikirkan dan dicerna dari permasalahan tersebut," kata Pimpinan Studio Taksu, Plesungan, Kota Solo Djarot Budi Dharsono dalam keterangan yang diterima di Magelang, Rabu.

Para penari yang akan mementaskan karya itu di Bentara Budaya Yogyakarta pada Kamis (14/12) malam tersebut, adalah Yashinta Desy Natalia, Rena Yudha Mahanani, Fajar Prastiyani, Fitria Trisna Murti, Sri Hastuti, Sianita Arighi, Djarot Budi Dharsono, dan Hery Suwanto.

Ia menjelaskan tentang karya yang mengungkapkan tentang nilai keberadaan burung kecil yang selalu berloncatan di dahan pohon dan di kebun pekarangan rumah. Burung prenjak hadir berpasangan dan bersahut-sahutan jika bersiul.

Sebagian masyarakat Jawa, ujarnya, mempunyai kepercayaan tentang keberadaan burung itu. Jika pasangan burung tersebut bersiul bergantian selama beberapa waktu di suatu tempat sekitar rumah, menjadi pertanda atau firasat yang bisa bersifat baik atau buruk.

Ia juga mengemukakan tentang ketajaman manusia dalam berpikir dan merasakan pertanda alam yang bahkan sering dianggap sebagai mitos. Kedekatan personal manusia dengan alam, akan mampu menciptakan prediksi-prediksi terhadap rasa hidup bersama dan semangat tenggang rasa.

Ia juga mengemukakan tentang makin langka terlihat aktivitas burung prenjak karena perkembangan penduduk yang mengubah area tertentu sebagai taman atau ruang terbuka hijau, menjadi pemukiman. Kerimbunan pepohonan yang makin berkurang, indikasi awal makin berkurangnya ruang publik dalam wujud taman atau hutan kota.

"Mungkin dari sana ada bentuk `budaya` yang tercabut, terabaikan. Salah satu yang menyebabkan ekosistem yang tidak berjalan sewajarnya dan persoalan-persoalan lain yang muncul dan menjadi besar karena rasa meremehkan. Banyak hal yang sebenarnya harus dimaknai dari persoalan-persoalan burung prenjak yang kecil dan tidak berarti tersebut menjadi sesuatu yang berarti," tuturnya.

Ia menjelaskan bahwa karya itu bercerita tentang laki-laki yang seorang priyayi tua hidup seorang diri di rumah tua berupa bangunan pendopo.

Ia menjelaskan lelaki itu mencoba mengatasi kesepiannya, meskipun dia memiliki sanak famili. Teman satu-satunya adalah beberapa pasang burung prenjak yang selalu beterbangan di pohon tua di kebun belakang rumah tersebut.

"Ketika burung-burung itu bersiul, dipahami sebagai memberi kabar dan harapan kepada si orang tua itu, bahwa seseorang akan datang untuk menjenguk. Harapan adalah kemauan, keinginan yang tertahan yang sekaligus menjadi daya dan kekuatan untuk bertahan," ujarnya.

Djarot juga menjelaskan bahwa desain besar pertunjukan tersebut terkait dengan upaya berbicara persoalan waktu dan ruang secara imajinasi, serta waktu dan ruang secara nyata dalam tatanan artistik.

"Susunan gerak menjadi bentuk-bentuk ekspresi gerak dengan totalitas rasa yang menyertai, dimensi bunyi yang menciptakan jarak dan ruang, yang semuanya menjadi ide-ide `pancatan` (pijakan, red.) garapan yang diharapkan mampu menciptakan suasana lewat adegan-adegan menjadi keutuhan garapan," katanya.

Pewarta : M. Hari Atmoko
Editor :
Copyright © ANTARA 2024