Semarang, ANTARA JATENG - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengakui masih ada 170 kabupaten/kota yang menjadi pekerjaan rumah untuk mewujudkan daerah layak anak.

"Saat ini, sudah ada 346 kabupaten/kota yang komit layak anak," kata Deputi Menteri PPPA Bidang Tumbuh Kembang Anak Lenny N Rosalin di Semarang, Senin.

Hal tersebut diungkapkannya usai pencanangan Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak di Semarang yang berlangsung di Gedung Gradhika Jawa Tengah, Semarang.

Seharusnya, kata dia, seluruhnya, yakni 516 kabupaten/kota berkomitmen mewujudkan daerahnya layak anak sehingga masih menyisakan PR sebanyak 170 kabupaten/kota.

Menurut dia, Kementerian PPPA terus melakukan pelatihan, sosialisasi, pendampingan, dan fasilitasi di kabupaten/kota agar target Indonesia Layak Anak pada 2030 tercapai.

Ia menjelaskan ada beberapa ciri terwujudnya kabupaten/kota layak anak, yakni tidak adanya perkawinan anak, tidak ada anak yang putus sekolah, dan setiap anak memiliki akta kelahiran.

"Kalaupun ada korban, sudah tertangani dengan baik sehingga itulah potret gambaran yang harus diberikan kepada anak-anak Indonesia di masa depan," katanya.

Diakuinya, perkawinan anak memang memberikan dampak yang kompleks dalam berbagai sektor, mulai pendidikan, kesehatan, ekonomi, tingkat kemiskinan, hingga daya saing sumber daya manusia (SDM) Indonesia.

Target Indonesia Layak Anak, kata dia, memang ditetapkan pada 2030, tetapi akan lebih baik diwujudkan sebelumnya dengan berbagai upaya dan langkah bersama pemerintah dan seluruh komponen bangsa.

"Perkawinan anak merupakan salah satu indikator kabupaten/kota sudah layak anak atau belum. Ada 87 anak Indonesia yang masa depannya harus dipenuhi dan hak-haknya harus dilindungi dari segala bentuk kekerasan, diskriminasi, dan perlakuan salah," pungkas Lenny.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal KPI Dian Kartika Sari menjelaskan pemerintah berperan mendekatkan akses pendidikan kepada anak-anak di daerah.

Ia mengatakan idealnya dalam satu desa ada minimal satu sekolah menengah pertama (SMP) untuk mencegah anak putus sekolah selepas SD, tetapi kenyataannya sarana pendidikan di pedesaan juga tidak memadai.

"Seperti di Rembang, anak-anak bisa bernegosiasi dengan orang tuanya untuk tidak dikawinkan dulu untuk meneruskan SMP. Ya, karena SMP-nya dekat dan memang tidak berbiaya karena wajih belajar 9 tahun," katanya.

Berbeda, kata dia, dengan daerah lain yang lokasi SMP-nya melingkupi 4-5 desa yang menjadikan orang tua enggan melanjutkan pendidikan anaknya dan memilih menikahkan muda.

"Beberapa daerah dengan kultur pendidikan tinggi ternyata menunjukkan angka perkawinan anaknya jauh lebih sedikit. Artinya, faktor keberadaan fasilitas pendidikan turut membantu penundaan perkawinan anak," katanya.

Pewarta : Zuhdiar Laeis
Editor :
Copyright © ANTARA 2024