Kudus, ANTARA JATENG - Pedagang beras di pasar tradisional Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, hingga kini belum menerapkan kebijakan pemerintah soal ketetapan harga eceran tertinggi beras karena belum ada sosialisasi soal kebijakan tersebut.

Kusmiyatun, salah seorang pedagang beras grosir di pusat kulakan beras di Pasar Baru Kudus, Senin, mengakui hingga kini belum mengetahui adanya kebijakan dari pemerintah soal HET beras.

"Entah sudah pernah disosialisasikan atau belum, sejauh ini memang belum pernah mengetahui ada petugas yang menginformasikan soal HET beras tersebut," ujarnya.

Menurut dia, HET beras tidak mudah diterapkan, ketika pasokan beras di pasaran belum stabil.

Pasalnya, kata dia, pada musim-musim tertentu, pasokan beras di pasaran cenderung sulit, terutama setelah melewati musim panen kedua.

Karena stok beras di pasaran terbatas, kata dia, harga beras cenderung terdongkrak naik, sehingga harga jualnya juga disesuikan dengan harga kulakan.

"Jika harga beli beras jenis medium sudah melampaui HET pemerintah, tentunya kami tidak bisa menjualnya sesuai HET karena jelas akan menderita kerugian," ujarnya.

Agar penerapan HET bisa efektif, kata dia, pemerintah juga perlu campur tangan dalam menyediakan pasokan beras di pasaran, sehingga ketika tidak ada panen tanaman padi pasokan beras tetap diterima dengan lancar.

Harga jual di pasaran, kata dia, tentu akan tetap stabil, sehingga bisa mengikuti HET yang ditetapkan pemerintah.

Yusma, pedagang beras lainnya membenarkan, bahwa HET beras yang ditetapkan pemerintah sulit diterapkan pada saat pasokan beras sulit diperoleh di pasaran, terutama setelah melewati musim panen.

Ia menganggap, harga jual beras di pasar tradisional selama ini justru lebih tinggi dibandingkan dengan HET beras medium yang ditetapkan sebesar Rp9.450 per kilogram, sedangkan kelas premium yang ditetapkan sebesar Rp12.800/kg justru tidak ada di pasaran.

"Jika beras premium yang dimaksudkan jenis beras bramo yang biasa dijual Rp10.000/kg, tentu lebih murah dibandingkan HET pemerintah," ujarnya.

Kondisi berbeda, kata dia, terjadi pada beras jenis medium jika yang dimaksudkan merupakan jenis beras super ss tentu harganya lebih mahal dibandingkan dengan HET pemerintah karena dijual Rp9.500/kg.

Ia berharap, penerapan HET beras tidak dipaksakan, karena banyak kendala yang dihadapi pedagang beras di lapangan.

"Pemerintah tentu memiliki tujuan yang baik, namun untuk saat ini belum memungkinkan diterapkan karena pasokan beras juga tidak selalu tersedia, terutama setelah musim panen kedua stok beras di pasaran biasanya langka," ujarnya.

Selain itu, kata dia, untuk menempelkan label HET di setiap kemasan juga membutuhkan biaya tambahan, sedangkan keuntungan yang diperoleh pedagang juga tidak besar.

Pewarta : Akhmad Nazaruddin Lathif
Editor :
Copyright © ANTARA 2024