Purwokerto, ANTARA JATENG - Generasi muda termasuk kalangan mahasiswa berpotensi terpengaruh paham-paham radikal, kata Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigadir Jenderal Polisi Hamli.

"Oleh karena itu sebelum mereka kena, kita lakukan `imunisasi` terhadap anak-anak ini," kata Hamli di sela Seminar Bidang Akademik Pencegahan Terorisme Berbasis Komunitas di Aula Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Rabu.

Dia menyambut baik langkah Unsoed yang telah beberapa kali menggandeng BNPT untuk menggelar kegiatan dalam rangka pencegahan radikalisme, terorisme dan sebagainya bagi mahasiswa.

Sebagai bagian dari kelompok yang belum terkena paham radikal, kata dia, mahasiswa perlu diberi bekal dan pemahaman mengenai radikalisme maupun terorisme termasuk bagaimana cara mencegah agar kelompok-kelompok yang sudah terkena paham tersebut tidak melakukan infiltrasi terhadap kalangan yang belum terpengaruh.

Dengan demikian, kalangan mahasiswa yang belum terkena pengaruh paham radikal maupun terorisme dapat meningkatkan daya tangkal mereka terhadap paham-paham tersebut.

"Kemudian, mereka juga bisa memberikan informasi ini kepada saudara, kerabat, tetangganya supaya daya tangkal ini dimiliki oleh seluruh lapisan masyarakat untuk melawan paham-paham yang sekarang muncul," jelasnya.

Sementara bagi orang-orang yang sudah terkena paham-paham radikal, kata dia, akan ditangkap sebagai salah satu upaya pencegahan jika sudah cukup buktinya.

Selanjutnya, akan dilakukan pendekatan terhadap orang-orang yang telah ditangkap itu agar bisa kembali ke masyarakat seperti saat mereka belum terpengaruh paham-paham radikal.

Bagi orang-orang yang sudah terpengaruh paham radikal dan ingin kembali ke masyarakat namun belum memiliki pekerjaan, BNPT telah bersinergi dengan sejumlah kementerian dan lembaga swadaya masyarakat untuk membantu mereka.

Lebih lanjut, Hamli mengatakan berdasarkan pantauan, paham ekstrem atau radikal kanan saat sekarang cukup mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Menurut dia, hal itu karena secara sejarah kejadiannya beruntun dan situasi global seperti saat sekarang turut memperluas jangkauannya.

Dalam hal ini, dia mencontohkan paham-paham radikal tersebut disebarluaskan melalui media sosial dan jejaring lainnya.

"Ini yang sangat membahayakan. Oleh karena itu, yang enggak `gaptek` (gagap teknologi) adalah anak-anak muda sehingga mereka harus diberi tahu jangan berkawan di medsos dengan orang-orang yang tipenya begini, begini, begini," katanya.

Ia mengatakan berdasarkan pantauan BNPT secara statistik, usia 15-30 tahun banyak yang terkena paham radikal tersebut dan mereka merupakan pemuda, anak-anak sekolah menengah atas, maupun mahasiswa.

"Orang tua ada, tetapi enggak banyak," jelasnya.

Ia mengatakan semua agama tidak ada yang mengajarkan umatnya untuk membunuh.

Akan tetapi hampir semua agama, kata dia, ada penganut atau umatnya yang ekstrem sehingga jangan salahkan agamanya namun salahkan pelakunya.

Oleh karena itu, lanjut dia, tokoh-tokoh agama memiliki peran penting untuk meluruskan paham-paham tersebut, sedangkan pihak-pihak lain termasuk akademisi perlu ikut meningkatkan rasa nasionalisme terhadap mereka.

Sementara untuk paham radikal kiri seperti komunisme, Hamli mengatakan komunis telah dilarang berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI).

"Kalau ada (komunis) ya tinggal ditangkap saja," tegasnya.

Kendati demikian, dia mengatakan penangkapan tersebut dapat dilakukan jika sudah ada buktinya.

Akan tetapi kalau baru sekadar isu dan tidak ada bukti atau belum diimplementasikan dalam gerakan-gerakan, kata dia, aparat tidak bisa menangkap orang-orang itu.

Pewarta : Sumarwoto
Editor :
Copyright © ANTARA 2024