Washington, ANTARA JATENG - Komisi Intelijen Senat meminta perusahaan
teknologi Google, Facebook dan Twitter untuk memberikan kesaksian
mengenai campur tangan Rusia dalam politik Amerika Serikat (AS), menurut
konfirmasi seorang ajudan Senat, Rabu (27/09).
Ketiga
raksasa internet dan jejaring sosial tersebut diharapkan hadir pada 1
November mendatang, dalam persidangan terbuka sehubungan dengan
mencuatnya bukti bahwa mereka secara diam-diam dimanipulasi dalam
kampanye untuk membantu Donald Trump memenangkan pemilihan presiden,
seperti yang diberitakan AFP.
Sebelum itu,
mereka juga mungkin akan diminta bersaksi di Komisi Intelijen DPR.
Anggota DPR AS Mike Conaway dan Adam Schiff, yang memimpin penyelidikan
Rusia, mengumumkan mereka juga telah mengundang perwakilan dari
perusahaan teknologi itu untuk bersaksi tentang manipulasi Rusia.
“Kongres dan rakyat Amerika perlu mendengar informasi penting itu langsung dari perusahaan-perusahaan ini,†kata mereka.
Facebook baru-baru ini mengungkapkan bahwa hanya dengan 100.000 dolar AS (sekitar
Rp1,35
miliar), pembeli yang diduga terkait dengan Rusia memasang sekitar
3.000 iklan di lamannya tahun lalu, diperkirakan bertujuan untuk
memengaruhi pemilu.
Facebook sudah menyerahkan
informasi rinci mengenai iklan tersebut kepada penyidik. Menurut lapora,
iklan tersebut bertujuan untuk kandidat dari Partai Demokrat, Hillary
Clinton, sekaligus untuk mempengaruhi calon pemilih yang akan berakibat
pada kerusakan di suara untuk Clinton.
“Sebagian
besar iklan yang dibuat akun ini tidak secara spesifik merujuk kepada
pilpres AS, suara atau kandidat tertentu,†kata pimpinan keamanan
Facebook, Alex Stamos, awal bulan ini.
Akun-akun
tersebut membuat iklan yang mengangkat isu sosial maupun politik yang
dapat memecah belah pendapat, seperti topik mengenai LGBT, masalah
imigrasi hingga hak kepemilikan senjata.
Google, unit dari Alphabet, mengatakan mereka tidak digunakan dalam dugaan kampanye Rusia untuk mengusik pemilu AS.
Tetapi,
menurut Buzzfeed, sistem iklan mereka secara otomatis mengarahkan
pengiklan ke orang-orang yang melakukan pencarian mengenai isu rasisme
dan anti-Semit.
Twitter terbukti menjadi sarang akun palsu dan berita yang memungkinkan
terduga operator Rusia mengunggah cuitan yang memecah belah secara politis dan anti-Clinton.