Kemeriahan dibangun Komunitas Lima Gunung saat syukuran atas tradisi khitanan yang dijalani anak laki-laki satu-satunya pemimpin dari gabungan sejumlah kelompok seniman petani kawasan Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah itu.

Peristiwa kebudayaan siang itu, bukan sekadar ramai-ramai syukuran atas khitanan melalui sejumlah pementasan kesenian, kirab budaya, dan pidato kebudayaan, termasuk oleh inspirator utama dan budayawan Komunitas Lima Gunung Sutanto Mendut.

Namun, kemeriahan terasa komplet oleh karena peristiwa tersebut juga bertaburkan pemaknaan mendalam secara islami atas tradisi khitanan yang disampaikan kepada para hadirin oleh dua kiai, yakni K.H. Nuruddin dan K.H. Muhammad Yusuf Chudhori.

Ahmad Widiantoro (11), anak lelaki Ketua Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang Supadi Haryanto menjalani tradisi khitanan pada Selasa (19/8) pagi di salah satu tempat khitan di Salatiga, tak jauh dari tempat tinggalnya.

Setelah tiba kembali di tempat tinggalnya di kawasan Gunung Andong Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, dia menjalani kirab budaya dimulai dari jalan aspal di ujung dusun menuju rumahnya yang megah tersebut.

Tenda-tenda tamu didirikan memanjang di sebagian ruas jalan dusun di depan rumahnya dan kursi-kursi tamu untuk 1.600 orang digelar di bawah tenda itu. Sementara itu, panggung ukuran kecil dengan karpet warna merah dipasang tepat di depan pintu masuk rumah Supadi yang juga seorang juragan sayuran di kawasan Gunung Andong.

Di atas meja-meja tamu telah berjajar ratusan toples dan piring berisi aneka macam camilan. Tentunya ikut menyertai sajian acara hajatan itu, adalah minuman teh hangat untuk para tamu yang datang dari berbagai desa dan relasi sang pemilik hajatan serta Komunitas Lima Gunung.

Sejumlah orang mengenakan pakaian Jawa mengusung anak kelas V Sekolah Dasar di desa itu yang menjalani khitanan dengan tandu berhiaskan roncean janur kuning, berjalan kaki menuju panggung acara.

Sejumlah grup kesenian, seperti tarian Goh Muko, Soreng, Jaran Kepang, dan anak-anak yang mengenakan pakaian Jawa bermotif lurik, mengiringi kirab dengan tabuhan musik sejumlah perangkat gamelan.

Dalang wayang Komunitas Lima Gunung Sih Agung Prasetyo selain bertindak sebagai pengatur rangkaian kemeriahan acara, juga melantunkan irama tembang Jawa yang isinya tentang pesan harapan terhadap Ahmad Widiantoro bahwa setelah menjalani khitan kelak menjadi anak yang berbakti kepada orang tua dan berguna bagi masyarakat, bangsa, dan negara.

Selain pementasan tarian Mayong dan Tarian Dadali Campernik oleh sejumlah penari, seniman kondang dari Solo, Endah Laras, bersama grupnya "Brayat Endah Laras" juga memeriahkan suasana syukuran dengan membawakan sejumlah tembang berjudul "Pring Gapuk", "Kaendahan", "Jaranan", "Ilir-Ilir", dan "Padhang Bulan".

Seorang tokoh masyarakat setempat, Sujadi, yang didaulat mewakili orang tua anak itu, pasangan suami istri, Supadi Haryanto dan Sutiyah, menyampaikan ungkapan terima kasih pihak keluarga karena kedatangan banyak orang pada acara syukuran tersebut.

Kehadiran banyak orang menjadi pertanda dukungan doa kepada pemilik hajatan dan terutama untuk si anak agar kelak tumbuh dan berkembang menjadi dewasa dan mandiri.

Yang dikhitan masih tetap duduk di tandu yang telah diletakkan di panggung acara dengan tampak sesekali wajahnya meringis. Mungkin sedikit terasa kesakitan karena baru saja khitanan.

"`Pak Supadi netepi kewajiban tiyang sepuh, ngitanaken putranipun, ngislamaken Ahmad Widiantoro. Mugi ical papacintraka, rahayu lan bagyo ingkang tinemu`," begitu pidatonya dalam bahasa Jawa oleh Sujadi, yang kira-kira maksudnya bahwa kedua orang tua memenuhi kewajiban mengkhitankan anaknya dengan harapan hilang sukerta dan kelak kehidupannya beroleh keberuntungan serta kebahagiaan.

Khitanan disebut Sitras Anjilin, pengelola Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor di kawasan Gunung Merapi Desa Sumber, Kecamatan Dukun, yang juga salah satu pemimpin Komunitas Lima Gunung, sebagai tradisi masyarakat Jawa yang dirintis pada masa lampau oleh Sunan Kalijogo, salah satu penyebar Islam di Jawa.

Disebutnya bahwa tradisi khitanan sebagai tanda penyucian bagi seseorang untuk kelayakan menjadi pemeluk Islam.

Pengemasan syukuran secara kontemporer desa dan semeriah mungkin untuk pelaksanaan tradisi yang dijalani anak seorang pemimpin komunitas seniman petani tersebut, diungkapkannya sebagai wujud keguyuban dan kerukunan para pelaku seni budaya yang tergabung dalam Komunitas Lima Gunung.

Kerukunan dan keguyuban menjadi modal untuk usaha-usaha memekarkan kebudayaan. Kebudayaan yang berkembang dan lestari dipercaya bakal meninggikan martabat manusia. Melalui kebudayaan, orang bisa berkumpul dan merasakan kebahagiaan.

Melalui tausyiah, Gus Yusuf (K.H. Muhammad Yusuf Chudlori) yang juga pemimpin spiritual Komunitas Lima Gunung menjelaskan secara mendalam tentang tradisi khitanan dalam Islam sebagai erat kaitannya dengan kesempurnaan kaum muslim dalam melaksanakan kewajiban salat lima waktu.

"Karena di tempat yang terkena najis itu dihilangkan menjadi bersih dan suci. Anak menjadi sempurna ibadah dan salatnya sehingga khitanan disebut sebagai `ngislamaken` (mengislamkan, red.) anak," ungkapnya.

Tugas orang tua pun tidak cukup hanya sampai kepada mengkhitankan anaknya karena ia harus terus membimbing agar si anak disiplin dalam melaksanakan salat lima waktu setiap hari.

Jika anak rajin salat diyakininya akan membawa pada kesadaran tentang pentingnya menaati perintah-perintah Allah Swt., sedangkan nilai-nilai ibadah itu pula mengantarnya menjadi sosok yang hormat kepada orang tua, memiliki kesalehan yang kuat, dan kelak menjadi orang dewasa yang karakter kebaikan, serta berguna bagi orang lain, lingkungan masyarakat, bangsa, dan negara.

"Akan tetapi, masih harus terus `ngoprak-oprak` (mendorong, red.) anaknya untuk salat, rajin mengaji, dan belajar ilmu pengetahuan," ucap Gus Yusuf yang juga pemimpin Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo Kabupaten Magelang itu.

Syukuran khitanan anak gunung dengan berbagai taburan petuah yang intinya tidak lepas dari penanaman nilai-nilai pendidikan karakter kepada anak itu, dipandang budayawan Sutanto Mendut sebagai catatan pentingnya atas perkembangan komunitas yang dirintis sejak sedikitnya 16 tahun lalu itu.

Peristiwa kebudayaan yang kental akan nilai kearifan lokal itu disebut sebagai tambahan tabungannya atas catatan kebudayaan yang bersumber dari masyarakat petani gunung-gunung di daerah setempat.

Catatan dari peristiwa seorang anak petani. Ini catatan petani, catatan tentang pesta desa. Banyak hal dari aspek ini bahwa desa adalah harapan, katanya.

Dirangkumnya tentang makna peristiwa kebudayaan berupa pesta khitanan anak gunung siang itu bahwa sesuatu yang disebut kesempatan selalu melekat kepada anak-anak desa.

Pewarta : M. Hari Atmoko
Editor :
Copyright © ANTARA 2024