Jakarta, ANTARA JATENG - Chief Technology Office Symantec untuk wilayah
Asia, Matthias Yeo mengungkapkan bahwa serangan siber kepada perusahaan
meningkat dibandingkan tahun lalu.
Selama enam bulan pertama tahun ini, perusahaan menyumbang 42 persen dari total infeksi serangan ransomware, naik 30 persen dari tahun 2016 dan 29 persen pada tahun 2015. Peningkatan ini terutama diakibatkan oleh WannaCry dan Petya.
"Tahun lalu, persentase serangan ransomware 70 persen konsumen dan 30 persen perusahaan. Tahun ini perusahaan meningkat. Hal ini dikarenakan dulu konsumen tidak melengkapi diri dengan keamanan. Sekarang, perusahaan meningkat artinya ransomware kini semakin canggih," ujar Yeo.
"Perusahaan tidak hanya bergantung pada keamanan tradisional agar memastikan malware tidak datang karena kini bisa saja menyerang cloud. Dan, trennya ransomware akan terus meningkat," lanjut dia.
Lebih lanjut, Laporan Internet Security Threat Report (ISTR) tahunan dari Symantec mengungkap fakta bahwa 1 dari 156 email di I56 email di Indonesia menyimpan serangan malware.
Tidak hanya itu, Indonesia bahkan menempati peringkat ke-14 dalam hal infeksi ransomware dari mesin khusus dan urutan ke-4 di wilayah Asia Pasifik.
Meski demikian, Yeo melihat perusahaan-perusahaan Indonesia, terutama yang berskala besar, telah sangat mempersiapkan diri mereka terhadap serangan siber.
Yeo menjelaskan bahwa potensi kerugian yang diakibatkan oleh serangan siber sangat besar bisa jutaan bahkan adanya miliaran dolar AS. Tidak hanya secara material, kerugian yang paling parah yang dapat dialami perusahaan akibat serangan siber adalah hilangnya kepercayaan pelanggan.
"Bayangkan jika Anda menggunakan sebuah aplikasi, lalu mengetahui bahwa terdapat celah keamanan dalam aplikasi tersebut, Anda pasti akan berhenti menggunakannya. Ini yang menjadi kerugian terbesar perusahaan," kata Yeo.
Laporan Symantec tersebut juga menyebutkan bahwa terdapat lebih dari 40.000 serangan ransomware terdeteksi setiap bulannya.
Selama enam bulan pertama tahun ini, perusahaan menyumbang 42 persen dari total infeksi serangan ransomware, naik 30 persen dari tahun 2016 dan 29 persen pada tahun 2015. Peningkatan ini terutama diakibatkan oleh WannaCry dan Petya.
"Tahun lalu, persentase serangan ransomware 70 persen konsumen dan 30 persen perusahaan. Tahun ini perusahaan meningkat. Hal ini dikarenakan dulu konsumen tidak melengkapi diri dengan keamanan. Sekarang, perusahaan meningkat artinya ransomware kini semakin canggih," ujar Yeo.
"Perusahaan tidak hanya bergantung pada keamanan tradisional agar memastikan malware tidak datang karena kini bisa saja menyerang cloud. Dan, trennya ransomware akan terus meningkat," lanjut dia.
Lebih lanjut, Laporan Internet Security Threat Report (ISTR) tahunan dari Symantec mengungkap fakta bahwa 1 dari 156 email di I56 email di Indonesia menyimpan serangan malware.
Tidak hanya itu, Indonesia bahkan menempati peringkat ke-14 dalam hal infeksi ransomware dari mesin khusus dan urutan ke-4 di wilayah Asia Pasifik.
Meski demikian, Yeo melihat perusahaan-perusahaan Indonesia, terutama yang berskala besar, telah sangat mempersiapkan diri mereka terhadap serangan siber.
Yeo menjelaskan bahwa potensi kerugian yang diakibatkan oleh serangan siber sangat besar bisa jutaan bahkan adanya miliaran dolar AS. Tidak hanya secara material, kerugian yang paling parah yang dapat dialami perusahaan akibat serangan siber adalah hilangnya kepercayaan pelanggan.
"Bayangkan jika Anda menggunakan sebuah aplikasi, lalu mengetahui bahwa terdapat celah keamanan dalam aplikasi tersebut, Anda pasti akan berhenti menggunakannya. Ini yang menjadi kerugian terbesar perusahaan," kata Yeo.
Laporan Symantec tersebut juga menyebutkan bahwa terdapat lebih dari 40.000 serangan ransomware terdeteksi setiap bulannya.