Purwokerto, ANTARA JATENG - Sebagai negara agraris, pemerintah menargetkan Indonesia akan mencapai swasembada pangan, khususnya beras, pada tahun 2017 sehingga tidak perlu lagi impor kebutuhan pokok masyarakat itu dari luar negeri.

Berbagai upaya pun dilakukan pemerintah untuk mencapai swasembada beras, salah satunya dengan mencetak sawah baru, terutama di luar Jawa.

Kementerian Pertanian pada Tahun 2016 mencanangkan pencetakan sawah baru seluas 134.000 hektare, namun hanya terealisasi seluas 129.000 hektare, sedangkan pada Tahun 2017 ditargetkan seluas 80.000 hektare.

Berdasarkan data Kementerian Pertanian, hingga saat ini terdapat 11,68 juta hektare lahan tidur yang masih dapat dioptimalkan untuk mencetak sawah baru maupun lahan pertanian lainnya.

Sementara luasan sawah hingga saat ini sekitar 8,11 juta hektare yang mampu memproduksi padi hingga 75 juta ton.

Akan tetapi, upaya pencetakan sawah baru itu justru dikritisi oleh Keluarga Alumni Fakultas Pertanian (Kafaperta) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Jawa Tengah.

Dalam rumusan sementara "Pesan Putra Soedirman bagi Kebijakan Pembangunan Pertanian Indonesia" yang dihasilkan saat Sarehan Alumni Fakultas Pertanian dengan tema "Quo Vadis Arah Kebijakan Pembangunan Pertanian Indonesia: Swasembada Pangan atau Kesejahteraan Petani" di Auditorium Faperta Unsoed Purwokerto, Sabtu (5/8), Kafaperta meminta agar cetak sawah dan cetak lahan padi ladang dihentikan.

Saat membacakan rumusan sementara "Pesan Putra Soedirman Bagi Kebijakan Pembangunan Pertanian Indonesia", Ketua Kafaperta Unsoed Rudi Purwadi mengatakan kebijakan pembangunan pertanian Indonesia harus berorientasi pada kesejahteraan petani.

"Yang pertama, kebijakan pembangunan pertanian perlu dilakukan secara konsisten, taat asas, dan terpadu. Yang kedua, subsidi harga, `output`, dan insentif luas tanam menjadi prioritas di dalam usaha pertanian," katanya.

Sementara pesan ketiga, kata dia, kembangkan "market demand technology development" (pengembangan teknologi untuk memenuhi permintaan pasar) berupa teknologi yang dihasilkan dari riset berorientasi pada kebutuhan pasar yang bersifat dari bawah ke atas, bukan dari atas ke bawah, sehingga teknologi benar-benar mampu memecahkan permasalahan di masyarakat.

Ia mengatakan pesan keempat, hentikan cetak sawah dan cetak lahan padi ladang untuk menjaga swasembada pangan.

"Yang kelima, perubahan `mindset` yang berorientasi pada modernisasi dengan tetap berbasis pada kearifan lokal," katanya.

Menurut dia, pihaknya akan terus mendorong alumni Unsoed khususnya Kafaperta untuk selalu mengkritisi memberikan solusi terhadap setiap kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah.

Sementara itu, Ketua Umum Keluarga Alumni Unsoed (Kaunsoed) Haiban Hadjid�mengatakan pihaknya bukan hanya memberikan saran, tetapi juga solusi.

"Seperti tadi soal pertanian, kami memberikan solusi yang berbeda dengan arahan pemerintah tentang pencetakan sawah. Kita punya ladang banyak yang menganggur, di satu sisi bisa kita manfaatkan dan satu kelebihan lagi, Unsoed punya produk yang siap ditanam di situ," katanya.

Dalam kesempatan terpisah, Guru Besar Pemuliaan Tanaman Unsoed Prof. Totok Agung Dwi Haryanto mengatakan peningkatan produksi padi di Indonesia sudah tidak zamannya lagi bertumpu pada padi sawah.

"Alih fungsi sawah di Jawa makin menghebat. Tidak kurang dari 100 hektare per tahun sawah mengalami konversi, tak mampu diimbangi oleh laju pencetakan sawah baru yang hanya sekitar 60 hektare setiap tahunnya," katanya.

Ia mengatakan satu-satunya jalan yang bisa ditempuh adalah mengoptimalkan lahan-lahan kering yang tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia, terutama di luar Jawa yang sebagian besar merupakan perkebunan untuk mendukung peningkatan produksi padi dengan penanaman padi gogo.

Sistem tersebut tidak memerlukan biaya tinggi untuk penyiapan infrastruktur irigasi pada pencetakan sawah dan tidak mengubah secara frontal keseimbangan ekologi.

"Maluku Utara merupakan salah satu daerah sentra kelapa di Indonesia selain Riau dan Sulawesi Utara. Pohon-pohon kelapa di daerah tersebut telah menurun tajam produktivitasnya karena telah melewati masa produktifnya, lebih dari 25 tahun," katanya saat melaksanakan panen perdana padi gogo aromatik Inpago Unsoed 1 yang ditanam di Kelurahan Akelamo, Kecamatan Oba Tengah, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara, Sabtu (19/8).

Dia mengatakan peremajaan perlu dilakukan melalui penanaman bibit kelapa varietas unggul.

Menurut dia, penanaman padi gogo di antara tegakan kelapa saat kebunnya diremajakan akan menjadi sumber bahan pangan utama yang selama ini diperoleh dari daerah lain.

Bahkan, kata dia, hasil penjualannya akan menjadi tambahan pendapatan bagi petani.

"Penanaman padi secara terintegrasi di bawah tegakan kelapa akan meningkatkan produksi padi sekaligus kelapa, karena petani akan semakin intensif merawat kebunnya. Pupuk yang diberikan kepada tanaman padi gogo juga akan semakin mendukung perkembangan dan hasil pohon kelapa," katanya.

Inpago Unsoed 1 yang dirakit oleh dua pemulia tanaman Unsoed, yakni Prof. Suwarto dan Prof. Totok Agung Dwi Haryanto merupakan varietas unggul padi gogo hasil persilangan padi gogo dan mentikwangi yang memiliki daya hasil tinggi di lahan kering dengan potensi hasil 7,42 ton per hektare dan lebih tinggi jika ditanam secara organik, umurnya genjah atau pendek sekitar 117 hari setelah tanam seperti IR 64, serta memiliki keistimewaan kualitas hasil, yaitu teksturnya pulen dan wangi/aromatik.


Lahan Salin

Upaya pakar pertanian Unsoed dalam mendukung pencapaian swasembada beras tidak hanya dengan pengembangan tanaman padi gogo ladang atau pada sawah tadah hujan, tetapi juga terhadap lahan marginal lainnya seperti lahan salin yang memiliki kadar garam tinggi karena berlokasi di dekat pantai.

Dosen dan pemulia tanaman Faperta Unsoed Suprayogi mengatakan salah satu upaya peningkatan produksi padi adalah melalui pemanfaatan lahan-lahan marginal seperti lahan salin.

"Pada musim kemarau, lahan salin tersebar di sepanjang pantai utara dan selatan Pulau Jawa, pantai timur Pulau Sumatra, dan pantai selatan Kalimantan, dengan luas kurang lebih 39,4 juta hektare. Masalah utama yang dihadapi dalam pengembangan areal pertanian lahan salin, yakni tingginya kandungan NaCl atau garam yang dapat menyebabkan rusaknya struktur tanah, sehingga aerasi dan permeabilitas tanah tersebut menjadi sangat rendah," katanya.

Terkait dengan hal itu, dia bersama pemulia tanaman Faperta Unsoed lainnya, Noor Farid melakukan penelitian untuk menghasilkan varietas padi unggul toleran salin.

Setelah melakukan penelitian dan perakitan selama tiga tahun, Suprayogi dan Noor Farid menghasilkan padi Inpari Unsoed 79 Agritan spesifik lahan salin yang telah dilepas sebagai varietas berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomot 1251/KPTS/SR.120/12/2014 tanggal 5 Desember 2014.

Pada lahan salin, produktivitas varietas tersebut berkisar 4-4,5 ton per hektare gabah kering panen, sedangkan pada lahan normal mencapai 8 ton per hektare.

Varietas padi hasil persilangan Atomita-2 dan Cisadane itu mempunyai mutu giling yang baik, tidak pera, dan agak pulen.

Kendati secara teori produktivitas padi Inpari Unsoed 79 Agritan pada lahan salin berkisar 4-4,5 ton GKP per hektare, berdasarkan hasil panen ubinan pada lahan seluas 100 hektare di Desa Nyamplungsari, Kecamatan Petarukan, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, rata-rata mencapai 8 hektare.

"Ini suatu potensi bagi pemerintah sebagai satu sumber daya lahan yang bisa dimanfaatkan untuk membantu program pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk menuju Indonesia yang berswasembada beras," kata Suprayogi usai panen perdana padi Inpari Unsoed 79 Agritan di Desa Nyamplungsari, Selasa (25/8).

Pewarta : Sumarwoto
Editor :
Copyright © ANTARA 2024