Menjelang tengah malam, pemuda sederhana kawasan Gunung Merbabu Kabupaten Magelang, Jawa Tengah itu, hampir tak mampu mengungkapkan bangganya yang selangit karena bersama budayawan Emha Ainun Najib berdiri di atas Panggung Garuda Festival Lima Gunung XVI/2017.

Parmadi Ma`arif (27), pemuda Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, di kawasan Gunung Merbabu tersebut, beroleh kesempatan berdua bersama Cak Nun naik tangga hingga bagian tertinggi panggung festival di desanya yang berupa instalasi burung garuda ukuran raksasa.

Sebelum mengakhiri sarasehan budaya, dalam rangkaian pergelaran hari pertama puncak festival, Jumat (28/7) malam, inspirator dan budayawan Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang Sutanto Mendut, memperkenalkan Parmadi kepada Emha Ainun Najib (Cak Nun).

"Selain para tokoh (Komunitas, red.) Lima Gunung, ada orang-orang yang hebat pula di belakangnya, salah satunya dalam festival ini adalah nama Parmadi," ucapnya.

Pada kesempatan itu, Sutanto bagaikan hendak mengatakan bahwa di Komunitas Lima Gunung selain berkumpul para pemimpin sosial dan budaya yang tangguh, ulet, dan pekerja keras, juga ada sosok-sosok lain dengan kecerdasan alam karena diterpa oleh keragaman kekayaan alam dan kearifan desa.

Parmadi, yang selama 3,5 tahun menjadi santri di Pondok Pesantren Al-Mubtadiin Desa Giyanti, Kecamatan Candi Mulyo, Kabupaten Magelang, berperan cerdas dalam festival tersebut karena menjadi perancang instalasi Panggung Garuda dengan berbagai bahan alam, seperti jerami, bambu, bonggol jagung, kelobot jagung, sisa pohon jagung, bunga pinus, dan ranting cabai.

Bersama warga setempat yang berjumlah sekitar 140 keluarga meliputi delapan rukun tetangga di daerah berudara dingin dengan ketinggian sekitar 800 meter dari permukaan air laut tersebut, selama sebulan lebih, mereka mengerjakan secara gotong royong instlasi panggung yang luasnya 120 meter persegi itu.

Mereka juga memasang puluhan instalasi gunungan di tepi jalan-jalan dusun itu. Tanggung jawab instalasi desa diserahkan kepada seorang warga lainnya, Suparman (28).

Kebutuhan bahan utama instalasi garuda, panggung festival, dan hiasan lainnya di dusun setempat sedikitnya 400 batang bambu dan sekitar satu ton jerami.

Secara keseluruhan, mereka menyiapkan diri atas berbagai keperluan sebagai tuan rumah festival sejak selama delapan bulan terakhir.

Parmadi yang pendidikan formalnya lulusan SMP pada 2003, berinisiatif merancang Panggung Garuda dengan tinggi tiga meter dan lebar sayap empat meter, serta menggoordinasikan pengerjaan instalasinya dengan warga.

Seorang warga lainnya, Edi Heriyanto (30), membuat instalasi berupa naga terbang ukuran raksasa dengan berbagai bahan alami juga. Instalasi itu ditempatkan di senderan tinggi lingkungan rumah seorang warga setempat lainnya, berhadapan dengan Panggung Garuda.

Selama seminggu sebelum jatuh hari festival, arena panggung tersebut menjadi ajang swafoto warga dan siapa saja yang datang ke Dusun Gejayan.

Hasil swafoto warga dengan latar belakang Panggung Garuda semarak beredar di media sosial, menjadi salah satu wahana penting menerbangkan promosi Festival Lima Gunung XVI, selama 28-30 Juli 2017.

Pada tahun ini, festival tanpa sponsor yang diprakarsai Komunitas Lima Gunung tersebut, diikuti sedikitnya 60 grup kesenian dari berbagai kelompok di komunitas maupun jejaringnya di beberapa kota di Indonesia.

Mereka antara lain mementaskan tarian tradisional dan kontemporer, musik, pameran lukisan dan batik, peluncuran buku, pidato kebudayaan, pengajian untuk peresmian masjid desa, dan kirab budaya.

Tema festival tahun ini adalah "Mari Goblok Bareng", sindiran secara kultural atas sejumlah persoalan memprihatinkan yang sedang dihadapi bangsa dan negara ini.

"Panggung Garuda ini untuk mengingatkan bahwa kita menjaga persatuan dan keberagaman," ucap Parmadi yang juga seniman petani Padepokan Warga Budaya Gejayan, pimpinan Riyadi. Kelompok tersebut bagian dari Komunitas Lima Gunung.

Inspirasinya tentang instalasi burung garuda, memang tidak lepas dari lambang negara, Garuda Pancasila, dengan semboyan penting bagi kesadaran bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, Bhineka Tunggal Ika.

Kehidupan bersama setiap hari dalam semangat persatuan selama ini memang dihidupi oleh warga, sedangkan keragaman hidup mereka terbangun secara kukuh oleh karena pengaruh kekayaan lingkungan alam Gunung Merbabu. Masyarakat setempat pada umumnya hidup dari olah pertanian hortikultura.

Melalui karya instalasi tersebut, ia hendak mengkritik tentang betapa tidak eloknya heboh negeri akhir-akhir ini karena bisa membuat perpecahan hidup berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

Kesempatan festival di dusunnya, juga momentum bagi dirinya untuk ikut mengingatkan tentang pentingnya semua warga bangsa memegang kesadaran bahwa hidup ini beragam sebagaimana alam dan lingkungan yang ragam hayati.

Selain nama Festival Lima Gunung yang memang sudah terkenal luas, bahkan hingga luar negeri, instalasi Panggung Garuda karya Parmadi menjadi daya pikat tersendiri bagi siapapun untuk hadir menyaksikan pergelaran seni budaya itu.

Cak Nun menyatakan siapapun akan bahagia dan penuh cinta hadir dalam Festival Lima Gunung karena akan belajar menjadi manusia dan memperkuat kesadaran tentang pentingnya "bebrayan" (semangat berkeluarga).

"Saya bisa terlibat bahagia dan penuh cinta malam ini. `Rapenting` (tidak penting, red.) sugih, tetapi yang penting bahagia," ujarnya saat sarasehan di tengah berbagai pementasan kesenian hingga selepas tengah malam itu, dengan massa yang memenuhi sekitar Panggung Garuda.

Orang desa disebutnya sudah pancasilais dengan kesadarannya bahwa Indonesia milik bersama sehingga harus dijaga persatuan dan kesatuannya.

Siapa saja berhak dan berkewajiban mengungkapkan implementasi kepancasilaannya dalam kehidupan sehari-hari.

Sosok desa yang sederhana, Parmadi, kiranya menangkap momentum penting Festival Lima Gunung tahun ini untuk dia berbicara mengenai keragaman dan persatuan yang menjadi bagian dari nilai-nilai Pancasila, melalui karya simbolisnya yang megah berupa Panggung Garuda.

Kalau soal kepolosannya sebagai orang desa, memang tak bisa ditutupi. Begitu mendengar Sutanto Mendut memanggil, ia yang selama sarasehan berdiri di bagian pojok arena festival, lalu bergegas naik panggung untuk mendekati Cak Nun. Mereka lalu menaiki tangga menuju puncak instalasi burung garuda.

"`Wah ora ngira e. Mareme pol (Tidak disangka dipanggil naik panggung. Marem sekali, red.)," ujarnya.

Itu adalah ungkapan sederhana dan polos tentang kebanggaan mendapat kesempatan yang dianggapnya istimewa karena malam itu secara khusus bersama Cak Nun berdiri di Panggung Garuda, karya kreatifnya.

Lambaian tangan Parmadi kepada massa penonton Festival Lima Gunung dari atas Panggung Garuda, boleh jadi bukan sekadar siratan kebanggaan atas karya instlasinya itu.

Dari atas Panggung Garuda Festival Lima Gunung, lambaian tangannya juga ungkapan mengajak sebagian kecil warga negara yang saat ini keblinger oleh ideologi impor tidak sesuai budaya bangsa, untuk kembali kepada nilai-nilai Pancasila.

Pewarta : M. Hari Atmoko
Editor :
Copyright © ANTARA 2025